Ibuku adalah Merpati
Wachid Hamdan Nur Jamal Senin, 18-9-2023 | - Dilihat: 87

Oleh: Wachid Hamdan Nur Jamal
Suasana subuh masik pekat menyelimuti rumah berpagarkan tanaman bonsai itu. Di belakang rumah, nampak sosok tua yang tengah menimba air di sumur yang sudah berlumut. Peluh satu, dua, luruh jatuh kedalam sumber air bagi keluarga sederhana itu.
Dari pohon trembesi sebelah kanan sumur, terdengar indah kicauan burung emprit dan kawannanya. Seolah menemani perempuan renta yang masih sibuk dengan tali timba yang ditarik melewati katrol penuh karat, pertanda usia dan berjuta jasa sudah diabdikannya berember-ember air untuk penghuni rumah.
“Aryo, Tolong kamu nyalakan tungku dapur. Ibu hendak membuat sarapan!”, perintah sang ibu pada Aryo yang baru saja bangun, saat hendak masuk kamar kecil.
“Baik, Bu!”.
Dengan wajah yang masih kusut, Aryo yang baru pulang dari pesantren itu segera menyalakan tungku. Selesai itu ia kembali ke sumur untuk mengambil wudlu. Diamatinya sang ibu yang dengan telaten mencuci kedelai bahan baku tempe. Sejak kecil ia dibesarkan sang ibu dengan pundi-pundi untung dari penjualan tempe. Tepat ketika ia selesai mengambil wudlu, ibunya juga sudah selesai mencuci kedelai tadi. Bersama mereka melangkah masuk rumah.
“Bukannya ibu sakit? Mengapa masih membuat tempe?”, heran Aryo.
“Alhamdulillah sudah membaik, Nang. Justru obat bagi ibu, ya membuat tempe”, balas ibu sambil memasukan kedelai kedalam panci.
Di antara semburat emas ufuk imur yang merambati sela-sela daun trembesi dan pohon nangka di samping dapur, ikut mengudara pula uap masakan ibu yang selalu menyambut pagi dengan senyum. Paduan suara burung merpati peliharaan ibu, juga ikut meracik suasana pagi itu. Meski tangan itu sudah berukir keriput, ibu tetap lincah mengupas bawang—sesekali tangannya memasukan daun kelapa kering ke dalam tungku—sambil mengecek nasi yang tengah ditanak.
***
Satu jam kemudian, ibu sudah menata berbagai hidangan di atas tikar pandan. Di dapur, berbagai alat masak sudah bersih. Biji-biji kedelai juga tampak sedang diangin-anginkan supaya dingin. Telur, sayur lodeh, dan sambal teri tertata manis di mangkuk-mangkuk. Sama sekali Tiada nampak lelah di wajah tua ibu.
“Wah, enak sekali sarapan pagi ini, Bu!”, tegur ayah yang langsung duduk di samping ibu. Tidak lama kemudian menyusul pula Aryo dan Santi dari kamar masing-masing.
“Sudah-sudah, silakan segera sarapan!” perintah ibu saat semua sudah berkumpul.
Cekatan sekali tangan ibu membagi semua sajian di atas tikar. Ayah, Aryo, dan Santi sudah memegang jatah masing-masing. Kepul uap tipis dari nasi dan sayur lodeh menyeruak memenuhi ruangan berdinding papan itu. Di atas ruangan nampak beberapa cicak yang memperhatikan. Mereka seolah juga ingin menikmati hidangan ibu. Di tengah menikmati hidangan, tiba-tiba Santi bertanya pada ibu.
“Lho, Ibu ndak sarapan?”, heran Santi mengetahui ibu tidak makan, karena lauk dan nasi di atas tikar sudah habis.
“Sudah tadi, Nduk! Segera kalian habiskan sarapannya. Ibu minta tolong hantarkan pesanan dari warga. Dan kamu Aryo, tolong belikan ibu kedelai di tempat Mbah Murdi!” jelas ibu panjang lebar.
“Baik, bu!”, serentak Aryo dan Santi menjawab.
Lima belas menit kemudian, keluarga itu segera menjalankan aktivitas masing-masing. Ayah dengan vespa jadulnya berangkat ke sekolah; Aryo dan Santi berjalan kaki menuju tugas yang diberikan ibu; Sedangkan ibu di dapur tengah mengadon bahan pembuatan tempe. Mulai dari memberi ragi, memijat, dan mengaduk rata beberapa campuran lain.
“Mas Aryo, kamu tadi melihat ibu sarapan?”, tanya Santi membuka obrolan.
“Tidak, Dek. Karena tadi setelah membantu ibu menyalakan tungku, aku lekas masuk kamar, menyelesaikan tugas dari pondok”, jawab Aryo sambil menikmati udara pagi.
“Mengapa ibu dari dulu jarang mengambil jatah sarapan ya, mas? Terus mengapa makanannya itu Cuma pas buat kita bertiga?”.
“Entahlah. Aku juga tidak paham. Mungkin ibu memang sudah makan”, ujar aryo sekenannya.
Setiba di pertigaan desa, Aryo dan Ssanti saling melambaikan tangan berpisah ke tujuan masing-masing. Sebenarnya mereka berdua juga belum mendapatkan jawaban pasti mengapa ibu jarang mengambil sarapan. Bahkan kalau malam pun, beliau hanya makan dari sisa-sisa hidangan, setelah membagi rata kepada Aryo, Santi, dan ayah. Beribu pertanyaan menjejali benak kedua anak penjual tempe itu.
***
Semburat merah sudah membara di ufuk barat. Beberapa orang nampak berjalan pulang menuju rumah. Ada yang dari ladang, kantor, dan sekolahan. Di atas langit tampak pula kawanan burung kuntul membentuk formasi hendak menuju sarang. Beberapa burung merpati juga menghiasi langit desa itu. Dengan cepat mereka mendarat di gupon masing-masing. Terdengar pula suara adzan maghrib mulai bersahutan dari corong-corong masjid.
Desa yang terletak di pinggiran kota Demak ini seperti bersolek memperlihatkannuansa asrinya. Apa lagi, dari kejauhan mulai terbentuk iringan-iringan jemaah. Baik tua, muda, dan anak-anak, bersama mereka bergerak menuju masjid. Bagai barisan malaikat rombongan berbaju putih itu menyemut menuju rumah Allah. Di antara rombongan itu, nampak Santi berjalan di samping ibunya. Bergandengan mereka bergerak memenuhi panggilan Illahi. Selesai menunaikan salat, para jemaah ada yang pulang, juga ada yang tetap duduk di masjid menunggu salat isya.
“Hari ini ibu masak apa?”, tanya Santi sambil berjalan pulang.
“Orek tempe dan ikan pindang, Nduk”.
Mendapat jawaban dari ibu, Santi semakin tidak sabar sampai rumah. Baginya tidak ada masakan paling enak, kecuali racikan dari ibunya. Sama sekali ibu tidak pernah gagal dalam mengawinkan bumbu dan bahan makanan. Setiap yang diolahnya pasti menjadi sajian nikmmat, meski sederhana. Beberapa tumbuhan seperti jambu, sawo, dan parit kecil menemani kedua insan itu menuju kehangatan keluarga mereka.
“Silakan, segera habiskan makanan masing-masing”, ucap ibu sambil menuangkan sisa nasi dan sayur tempe orek ke piringnya.
“Ibu tidak makan pindang?” tanya Aryo dan Santi kompak. Mereka nampak heran, sebap ibu hanya makan menggunakan sayur. Ayah yang duduk di samping ibu hanya tersenyum. Dengan lahap ia menyantap makanan olahan istrinya itu.
“ Sudah dimakan saja. Ibu lagi tidak ingin makan ikan pindang. Biar sisa pindang itu disimpan untuk sarapan esok!”, balas ibu santai.
“Oh, iya. Santi, ini uang SPP-mu, Nduk! Penjualan tempe hari ini sangat laris. Alhamdulillah akhirnya terkumpul juga uang SPP-nya”, tukas ibu sambil menyodorkan amplop.
***
Aryo yang memang sendari kecil terbiasa dengan sikap ibunya itu, malam ini ia putuskan untuk membuntuti ibunya. Saat dikira semua sudah tidur, ibu terlihat tengah menekuri sebuah buku. Aryo juga tersentak saat ibu menggumam kalau cincin nikahnya terpaksa digadaikan. Pesta ikan pindang itu ternyata sisa dari uang hasil menggadai cincin.
“Semoga kalian menjadi anak pintar”, lirih ibu sambil beranjak menuju tumpukan piring kotor.
Saat Aryo mengendap menuju dapur, ia kembali tercengang. Ternyata ibu tengah menghabiskan sisa-sisa nasi di piring Santi dan piringnya. Beberapa kali nasi itu ditempelkan pada duri-duri pindang. Seolah itu menjadi pengobat rasa, agar ibu juga ikut makan pindang. Selain itu, Di dapur juga tidak ada sisa pindang seperti apa yang ibu ungkapkan tadi saat makan malam.
Saat hendak kembali ke kamar, tidak sengaja Aryo melihat buku usang yang tadi dibaca ibu. Penasaran karena ibu juga tengah mencuci piring di sumur, akhirnya ia membuka buku itu. Saat ini Aryo tidak hanya tercengang. Bulir bening kini sudah membasahi kedua pipinya. Di atas kertas putih itu, tertulis daftar hutang ibu. Selain itu, juga tercatat tentang kerugian penjualan tempe karena saat berjualan banyak para pembeli yang menawar di bawah harga normal.
“Loh, Aryo! Mengapa kamu belum tidur? Dan itu kamu lagi baca apa?”, tegur ibu dari belakang. Aryo yang tadinya larut dalam perasaan sedih, terperanjat mendengar pertanyaan itu.
Kini jelas sudah semua sikap ibu yang selalu makan terakhir. Bahkan ia juga sering menunjukan senyuman tiada beban. Hanya dari buku lusuh itu saja, Aryo sudah mendapat bayangan beban yang harus ditanggung orang tuanya. Bahkan di lembar terakhir tadi, ibu sudah bersepakat dengan ayah kalau Vespa jadul itu akan dijual untuk biayanya di pondok.
Sambil membawa buku lusuh itu, Aryo mendatangi ibu. Dipeluknya perempuan yang sudah berhias keriput dimana-mana itu. Tangisnya tiada kuasa ia bendung. Jangkrik yang tadinya nyaring bernyanyi di bawah meja, kini terdiam. Seolah ikut larut dalam suasana di dapur itu. Ibu tidak menunjukan rau marah, saat tahu kalau Aryo membaca bukunya. Ia hanya mengelus kepala Aryo sambil membisikan kata-kata yang menenangkan.
***
“Ibu, izinkan Aryo berkerja saja! Nanti ngajinya cukup belajar dengan Kiai Matoya di masjid desa”, isak Aryo.
“Mengapa begitu, Nak? Bukannya kamu senang di pondok?”, tanya ibu lembut.
“Agar aku bisa meringankan beban ekonomi keluarga, bu”, balas aryo sambil mengusap ingus.
Ibu hanya tersenyum mendengar jawaban anaknya itu. Kini ibu membimbing Aryo duduk di kursi dekat tungku api. Ia tatap Aryo lembut. Diusapnya pula puncak kepala sambil melafadzkan doa kebaikan untuk putranya itu.
“Kamu tahu induk merpati, Nak?” tanya ibu yang dibalas Aryo dengan anggukan.
Melihat anggukan Aryo, ibu menjelaskan bahwa demi bisa memberikan kesempatan hidup pada anaknya, induk merpati rela terbang jauh mencari makan. Setelah dapat, ia tidak menelan makanan itu. Dibawanya pulang biji-biji itu dalam paruhnya. Ketika tiba di sarang, dengan lembut makanan yang ia dapatkan, langsung diberikan pada anak-anak merpati yang belum bisa terbang. Semua itu terus ia lakukan hingga merpati kecil sudah bisa mengepakan sayap membelah langit dan mencari makan sendiri.
“Kalau kamu lihat kemolekan merpati, indah bulu, dan romantisnya burung merpati, kesemuanya itu tidak terlepas dari didikan sang induk”, ujar ibu menjeda penjelasan.
“Maka dari itu, ibu dan ayah hanya belajar dari induk merpati untuk terus berusaha memberikan yang terbaik untukmu dan Sinta. Baru kelak kketika kalian sudah bisa terbang dan memiliki kemanfaatan, di situlah cita-cita kami tercapai. Jadi teruslah belajar di pondok. Biarkan ibu dan ayahmu menjalani peran sebagai orang tua yang belajar dari induk merpati”, ujar ibu menutup nasihatnya. Aryo yang mendengar penjelasan itu, langsung bersujud mencium kaki ibunya.
Sleman, 15 Agustus 2023.
- Artikel Terpuler -
Ibuku adalah Merpati
Wachid Hamdan Nur Jamal Senin, 18-9-2023 | - Dilihat: 87

Oleh: Wachid Hamdan Nur Jamal
Suasana subuh masik pekat menyelimuti rumah berpagarkan tanaman bonsai itu. Di belakang rumah, nampak sosok tua yang tengah menimba air di sumur yang sudah berlumut. Peluh satu, dua, luruh jatuh kedalam sumber air bagi keluarga sederhana itu.
Dari pohon trembesi sebelah kanan sumur, terdengar indah kicauan burung emprit dan kawannanya. Seolah menemani perempuan renta yang masih sibuk dengan tali timba yang ditarik melewati katrol penuh karat, pertanda usia dan berjuta jasa sudah diabdikannya berember-ember air untuk penghuni rumah.
“Aryo, Tolong kamu nyalakan tungku dapur. Ibu hendak membuat sarapan!”, perintah sang ibu pada Aryo yang baru saja bangun, saat hendak masuk kamar kecil.
“Baik, Bu!”.
Dengan wajah yang masih kusut, Aryo yang baru pulang dari pesantren itu segera menyalakan tungku. Selesai itu ia kembali ke sumur untuk mengambil wudlu. Diamatinya sang ibu yang dengan telaten mencuci kedelai bahan baku tempe. Sejak kecil ia dibesarkan sang ibu dengan pundi-pundi untung dari penjualan tempe. Tepat ketika ia selesai mengambil wudlu, ibunya juga sudah selesai mencuci kedelai tadi. Bersama mereka melangkah masuk rumah.
“Bukannya ibu sakit? Mengapa masih membuat tempe?”, heran Aryo.
“Alhamdulillah sudah membaik, Nang. Justru obat bagi ibu, ya membuat tempe”, balas ibu sambil memasukan kedelai kedalam panci.
Di antara semburat emas ufuk imur yang merambati sela-sela daun trembesi dan pohon nangka di samping dapur, ikut mengudara pula uap masakan ibu yang selalu menyambut pagi dengan senyum. Paduan suara burung merpati peliharaan ibu, juga ikut meracik suasana pagi itu. Meski tangan itu sudah berukir keriput, ibu tetap lincah mengupas bawang—sesekali tangannya memasukan daun kelapa kering ke dalam tungku—sambil mengecek nasi yang tengah ditanak.
***
Satu jam kemudian, ibu sudah menata berbagai hidangan di atas tikar pandan. Di dapur, berbagai alat masak sudah bersih. Biji-biji kedelai juga tampak sedang diangin-anginkan supaya dingin. Telur, sayur lodeh, dan sambal teri tertata manis di mangkuk-mangkuk. Sama sekali Tiada nampak lelah di wajah tua ibu.
“Wah, enak sekali sarapan pagi ini, Bu!”, tegur ayah yang langsung duduk di samping ibu. Tidak lama kemudian menyusul pula Aryo dan Santi dari kamar masing-masing.
“Sudah-sudah, silakan segera sarapan!” perintah ibu saat semua sudah berkumpul.
Cekatan sekali tangan ibu membagi semua sajian di atas tikar. Ayah, Aryo, dan Santi sudah memegang jatah masing-masing. Kepul uap tipis dari nasi dan sayur lodeh menyeruak memenuhi ruangan berdinding papan itu. Di atas ruangan nampak beberapa cicak yang memperhatikan. Mereka seolah juga ingin menikmati hidangan ibu. Di tengah menikmati hidangan, tiba-tiba Santi bertanya pada ibu.
“Lho, Ibu ndak sarapan?”, heran Santi mengetahui ibu tidak makan, karena lauk dan nasi di atas tikar sudah habis.
“Sudah tadi, Nduk! Segera kalian habiskan sarapannya. Ibu minta tolong hantarkan pesanan dari warga. Dan kamu Aryo, tolong belikan ibu kedelai di tempat Mbah Murdi!” jelas ibu panjang lebar.
“Baik, bu!”, serentak Aryo dan Santi menjawab.
Lima belas menit kemudian, keluarga itu segera menjalankan aktivitas masing-masing. Ayah dengan vespa jadulnya berangkat ke sekolah; Aryo dan Santi berjalan kaki menuju tugas yang diberikan ibu; Sedangkan ibu di dapur tengah mengadon bahan pembuatan tempe. Mulai dari memberi ragi, memijat, dan mengaduk rata beberapa campuran lain.
“Mas Aryo, kamu tadi melihat ibu sarapan?”, tanya Santi membuka obrolan.
“Tidak, Dek. Karena tadi setelah membantu ibu menyalakan tungku, aku lekas masuk kamar, menyelesaikan tugas dari pondok”, jawab Aryo sambil menikmati udara pagi.
“Mengapa ibu dari dulu jarang mengambil jatah sarapan ya, mas? Terus mengapa makanannya itu Cuma pas buat kita bertiga?”.
“Entahlah. Aku juga tidak paham. Mungkin ibu memang sudah makan”, ujar aryo sekenannya.
Setiba di pertigaan desa, Aryo dan Ssanti saling melambaikan tangan berpisah ke tujuan masing-masing. Sebenarnya mereka berdua juga belum mendapatkan jawaban pasti mengapa ibu jarang mengambil sarapan. Bahkan kalau malam pun, beliau hanya makan dari sisa-sisa hidangan, setelah membagi rata kepada Aryo, Santi, dan ayah. Beribu pertanyaan menjejali benak kedua anak penjual tempe itu.
***
Semburat merah sudah membara di ufuk barat. Beberapa orang nampak berjalan pulang menuju rumah. Ada yang dari ladang, kantor, dan sekolahan. Di atas langit tampak pula kawanan burung kuntul membentuk formasi hendak menuju sarang. Beberapa burung merpati juga menghiasi langit desa itu. Dengan cepat mereka mendarat di gupon masing-masing. Terdengar pula suara adzan maghrib mulai bersahutan dari corong-corong masjid.
Desa yang terletak di pinggiran kota Demak ini seperti bersolek memperlihatkannuansa asrinya. Apa lagi, dari kejauhan mulai terbentuk iringan-iringan jemaah. Baik tua, muda, dan anak-anak, bersama mereka bergerak menuju masjid. Bagai barisan malaikat rombongan berbaju putih itu menyemut menuju rumah Allah. Di antara rombongan itu, nampak Santi berjalan di samping ibunya. Bergandengan mereka bergerak memenuhi panggilan Illahi. Selesai menunaikan salat, para jemaah ada yang pulang, juga ada yang tetap duduk di masjid menunggu salat isya.
“Hari ini ibu masak apa?”, tanya Santi sambil berjalan pulang.
“Orek tempe dan ikan pindang, Nduk”.
Mendapat jawaban dari ibu, Santi semakin tidak sabar sampai rumah. Baginya tidak ada masakan paling enak, kecuali racikan dari ibunya. Sama sekali ibu tidak pernah gagal dalam mengawinkan bumbu dan bahan makanan. Setiap yang diolahnya pasti menjadi sajian nikmmat, meski sederhana. Beberapa tumbuhan seperti jambu, sawo, dan parit kecil menemani kedua insan itu menuju kehangatan keluarga mereka.
“Silakan, segera habiskan makanan masing-masing”, ucap ibu sambil menuangkan sisa nasi dan sayur tempe orek ke piringnya.
“Ibu tidak makan pindang?” tanya Aryo dan Santi kompak. Mereka nampak heran, sebap ibu hanya makan menggunakan sayur. Ayah yang duduk di samping ibu hanya tersenyum. Dengan lahap ia menyantap makanan olahan istrinya itu.
“ Sudah dimakan saja. Ibu lagi tidak ingin makan ikan pindang. Biar sisa pindang itu disimpan untuk sarapan esok!”, balas ibu santai.
“Oh, iya. Santi, ini uang SPP-mu, Nduk! Penjualan tempe hari ini sangat laris. Alhamdulillah akhirnya terkumpul juga uang SPP-nya”, tukas ibu sambil menyodorkan amplop.
***
Aryo yang memang sendari kecil terbiasa dengan sikap ibunya itu, malam ini ia putuskan untuk membuntuti ibunya. Saat dikira semua sudah tidur, ibu terlihat tengah menekuri sebuah buku. Aryo juga tersentak saat ibu menggumam kalau cincin nikahnya terpaksa digadaikan. Pesta ikan pindang itu ternyata sisa dari uang hasil menggadai cincin.
“Semoga kalian menjadi anak pintar”, lirih ibu sambil beranjak menuju tumpukan piring kotor.
Saat Aryo mengendap menuju dapur, ia kembali tercengang. Ternyata ibu tengah menghabiskan sisa-sisa nasi di piring Santi dan piringnya. Beberapa kali nasi itu ditempelkan pada duri-duri pindang. Seolah itu menjadi pengobat rasa, agar ibu juga ikut makan pindang. Selain itu, Di dapur juga tidak ada sisa pindang seperti apa yang ibu ungkapkan tadi saat makan malam.
Saat hendak kembali ke kamar, tidak sengaja Aryo melihat buku usang yang tadi dibaca ibu. Penasaran karena ibu juga tengah mencuci piring di sumur, akhirnya ia membuka buku itu. Saat ini Aryo tidak hanya tercengang. Bulir bening kini sudah membasahi kedua pipinya. Di atas kertas putih itu, tertulis daftar hutang ibu. Selain itu, juga tercatat tentang kerugian penjualan tempe karena saat berjualan banyak para pembeli yang menawar di bawah harga normal.
“Loh, Aryo! Mengapa kamu belum tidur? Dan itu kamu lagi baca apa?”, tegur ibu dari belakang. Aryo yang tadinya larut dalam perasaan sedih, terperanjat mendengar pertanyaan itu.
Kini jelas sudah semua sikap ibu yang selalu makan terakhir. Bahkan ia juga sering menunjukan senyuman tiada beban. Hanya dari buku lusuh itu saja, Aryo sudah mendapat bayangan beban yang harus ditanggung orang tuanya. Bahkan di lembar terakhir tadi, ibu sudah bersepakat dengan ayah kalau Vespa jadul itu akan dijual untuk biayanya di pondok.
Sambil membawa buku lusuh itu, Aryo mendatangi ibu. Dipeluknya perempuan yang sudah berhias keriput dimana-mana itu. Tangisnya tiada kuasa ia bendung. Jangkrik yang tadinya nyaring bernyanyi di bawah meja, kini terdiam. Seolah ikut larut dalam suasana di dapur itu. Ibu tidak menunjukan rau marah, saat tahu kalau Aryo membaca bukunya. Ia hanya mengelus kepala Aryo sambil membisikan kata-kata yang menenangkan.
***
“Ibu, izinkan Aryo berkerja saja! Nanti ngajinya cukup belajar dengan Kiai Matoya di masjid desa”, isak Aryo.
“Mengapa begitu, Nak? Bukannya kamu senang di pondok?”, tanya ibu lembut.
“Agar aku bisa meringankan beban ekonomi keluarga, bu”, balas aryo sambil mengusap ingus.
Ibu hanya tersenyum mendengar jawaban anaknya itu. Kini ibu membimbing Aryo duduk di kursi dekat tungku api. Ia tatap Aryo lembut. Diusapnya pula puncak kepala sambil melafadzkan doa kebaikan untuk putranya itu.
“Kamu tahu induk merpati, Nak?” tanya ibu yang dibalas Aryo dengan anggukan.
Melihat anggukan Aryo, ibu menjelaskan bahwa demi bisa memberikan kesempatan hidup pada anaknya, induk merpati rela terbang jauh mencari makan. Setelah dapat, ia tidak menelan makanan itu. Dibawanya pulang biji-biji itu dalam paruhnya. Ketika tiba di sarang, dengan lembut makanan yang ia dapatkan, langsung diberikan pada anak-anak merpati yang belum bisa terbang. Semua itu terus ia lakukan hingga merpati kecil sudah bisa mengepakan sayap membelah langit dan mencari makan sendiri.
“Kalau kamu lihat kemolekan merpati, indah bulu, dan romantisnya burung merpati, kesemuanya itu tidak terlepas dari didikan sang induk”, ujar ibu menjeda penjelasan.
“Maka dari itu, ibu dan ayah hanya belajar dari induk merpati untuk terus berusaha memberikan yang terbaik untukmu dan Sinta. Baru kelak kketika kalian sudah bisa terbang dan memiliki kemanfaatan, di situlah cita-cita kami tercapai. Jadi teruslah belajar di pondok. Biarkan ibu dan ayahmu menjalani peran sebagai orang tua yang belajar dari induk merpati”, ujar ibu menutup nasihatnya. Aryo yang mendengar penjelasan itu, langsung bersujud mencium kaki ibunya.
Sleman, 15 Agustus 2023.
13 Komentar

2023-09-19 11:02:26
Alvara Triagusta
Pada cerita disini kita petik hikmahnya. Bahwa seperti itulah pengorbanan Orangtua dalam mewujudkan cita-cita anak-anaknya. Maka, selaku anak jangan pernah sekali-kali mengabaikan pengorbanan Orangtua yang sangat besar tersebut. Tulisan yang ditulis oleh Sdr. Wachid Hamdan ini sangat menyentuh banyak orang untuk dijadikan bahan renungan dan muhasabah diri. Sudah seberapa kita dalam menghargai jasa orangtua kita? Apakah kita hanya bisa menjadi beban mereka dengan mengedepankan gengsi semata?

2024-11-29 17:23:49
Ghgaqf
eriacta involve - forzest satisfaction forzest envelope

2024-12-05 16:21:07
Zcksvw
purchase indinavir online - purchase voltaren gel cheap purchase emulgel for sale

2024-12-09 21:15:18
Vblvwz
valif suspicious - order sustiva 20mg generic sinemet pills

2024-12-11 21:57:37
Gywnju
purchase modafinil pills - buy duricef 500mg online cheap buy cheap generic combivir

2024-12-16 19:26:06
Ecidzy
ivermectin 12 mg tablets - ivermectin covid order tegretol pills

2024-12-18 16:56:59
Zuuixo
phenergan canada - promethazine 25mg us lincomycin 500 mg brand

2024-12-30 16:30:30
Wxsvmc
order deltasone 5mg - order nateglinide online captopril order online

2025-01-04 02:01:48
Ddjwfh
order prednisone 10mg online cheap - prednisone drug capoten 25 mg ca

2025-01-17 16:28:55
Ohuwdw
order accutane 10mg pills - order decadron 0,5 mg pill order generic zyvox 600mg

2025-01-18 09:56:55
Wjvncr
amoxil online - buy amoxicillin online buy combivent cheap

2025-01-31 13:44:56
Qqsowi
zithromax tablet - oral tindamax 300mg buy nebivolol 5mg pills

2025-02-02 14:54:47
Xywntn
brand prednisolone 5mg - cost prometrium 200mg progesterone without prescription
13 Komentar
2023-09-19 11:02:26
Alvara Triagusta
Pada cerita disini kita petik hikmahnya. Bahwa seperti itulah pengorbanan Orangtua dalam mewujudkan cita-cita anak-anaknya. Maka, selaku anak jangan pernah sekali-kali mengabaikan pengorbanan Orangtua yang sangat besar tersebut. Tulisan yang ditulis oleh Sdr. Wachid Hamdan ini sangat menyentuh banyak orang untuk dijadikan bahan renungan dan muhasabah diri. Sudah seberapa kita dalam menghargai jasa orangtua kita? Apakah kita hanya bisa menjadi beban mereka dengan mengedepankan gengsi semata?
2024-11-29 17:23:49
Ghgaqf
eriacta involve - forzest satisfaction forzest envelope
2024-12-05 16:21:07
Zcksvw
purchase indinavir online - purchase voltaren gel cheap purchase emulgel for sale
2024-12-09 21:15:18
Vblvwz
valif suspicious - order sustiva 20mg generic sinemet pills
2024-12-11 21:57:37
Gywnju
purchase modafinil pills - buy duricef 500mg online cheap buy cheap generic combivir
2024-12-16 19:26:06
Ecidzy
ivermectin 12 mg tablets - ivermectin covid order tegretol pills
2024-12-18 16:56:59
Zuuixo
phenergan canada - promethazine 25mg us lincomycin 500 mg brand
2024-12-30 16:30:30
Wxsvmc
order deltasone 5mg - order nateglinide online captopril order online
2025-01-04 02:01:48
Ddjwfh
order prednisone 10mg online cheap - prednisone drug capoten 25 mg ca
2025-01-17 16:28:55
Ohuwdw
order accutane 10mg pills - order decadron 0,5 mg pill order generic zyvox 600mg
2025-01-18 09:56:55
Wjvncr
amoxil online - buy amoxicillin online buy combivent cheap
2025-01-31 13:44:56
Qqsowi
zithromax tablet - oral tindamax 300mg buy nebivolol 5mg pills
2025-02-02 14:54:47
Xywntn
brand prednisolone 5mg - cost prometrium 200mg progesterone without prescription
Tinggalkan Pesan