“Urip Iku Urup” dalam Muhammadiyah
Dalam kehidupan, seringkali kata-kata dijadikan sebagai motivasi, bahkan pedoman manusia dalam menjalani kehidupan. Hal ini sangat wajar, pasalnya manusia membutuhkan dorongan motivasi dalam mencapai tujuan dan arah hidupnya.
Fenomena tersebut bahkan dikuatkan dengan salah satu tokoh Psikologi Barat, yaitu Mc Clealland. Ia merumuskan suatu teori yang menjelaskan bahwa manusia akan terpacu untuk bertindak lebih maksimal apabila terdapat dorongan motivasi yang melatar belakanginya.
Maka tidak heran jika banyak kata yang dikutip seseorang untuk memberikan semangat atau suntikan motivasi dalam menjalani kehidupan. Lebih dari itu, tidak sedikit penulis yang mengumpulkan kata-kata motivasi untuk dijadikan suatu karya tulis agar dapat dibaca oleh khalayak ramai.
Beberapa kata biasanya dikutip dari sumber yang dianggap kredibel seperti kitab suci agama (al-Quran, Bible, dll), hadis, dan perkataan tokoh terdahulu lagi terkenal. Selain itu, kata-kata tersebut juga biasanya berbasis lokal kendati maknanya dapat dipahami secara umum.
Di antara contohnya seperti kata mutiara Bahasa Arab atau dikenal dengan istilah mahfuẓāt, peribahasa Sunda, falsafah Jawa, dan lain-lain. Adapun yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah salah satu falsafah Jawa yang sarat akan makna, yaitu “urip iku urup” dan relasinya dengan spirit sosial Muhammadiyah.
Selayang Pandang tentang Falsafah Jawa “Urip iku Urup”
Falsafah Jawa “urip iku urup” yang secara harfiah berarti “hidup itu menyala” mengandung makna yang sangat mendalam tentang tujuan hidup manusia. Falsafah ini mengajak umat manusia untuk hidup bukan hanya sekadar ada, namun juga untuk memberikan manfaat bagi sesama dan lingkungan sekitar.
Konsep “nyala” di sini tidak hanya merujuk pada api secara fisik, tetapi lebih kepada cahaya penerangan yang mampu memberikan manfaat bagi banyak orang (David Aria Wijaya, 2023).
Dalam konteks masyarakat Jawa, falsafah ini telah menjadi pedoman hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Makna yang terkandung di dalamnya diharapkan mampu mendorong umat manusia untuk selalu berbuat baik, saling tolong menolong, dan berkontribusi positif bagi orang lain.
Ada beberapa nilai yang terkandung dari falsafah “urip iku urup“. Pertama, kemanusiaan, yaitu menempatkan sesama manusia sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat yang sama. Kedua, gotong royong, yaitu saling membantu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Ketiga, kerelawanan, yaitu bersedia memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan. Keempat, kesederhanaan, yaitu menjauhi sikap hedonisme dan selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki. Kelima, keharmonisan, yaitu menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun falsafah “urip iku urup” memiliki narasi yang cenderung singkat dan sederhana namun pemaknaan falsafah tersebut sangatlah mendalam.
Adapun narasi yang cenderung singkat dan sederhana ini tidaklah menggambarkan ketidak-mampuan pewaskita Jawa untuk menghadirkan falsafah yang detail dan ndakik-ndakik. Namun ihwal itu dilakukan agar falsafah tersebut lebih mudah dicerna dan dipahami tanpa harus mengerutkan dahi.
Landasan Spirit Sosial Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan masyarakat. Spirit sosial yang mendasari gerakan Muhammadiyah ini tidak lepas dari pengaruh pemahaman mendalam terhadap al-Quran, khususnya Q.s al-Ma’un, al-Asr, dan al-Insyirah.
Ketiga surat ini menjadi landasan teologis yang kuat bagi Muhammadiyah dalam menjalankan berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan (KRH. Hadjid, 2021). Gambaran singkat mengenai tiga teologi tersebut adalah sebagai berikut.
Al-Ma’un: Spirit Pengabdian Sosial
Q.s al-Ma’un dengan tegas mengkritik sikap orang-orang yang mengingkari hari akhirat dan melalaikan anak yatim serta orang miskin. Ayat ini menjadi inspirasi bagi KH. Ahmad Dahlan untuk mendirikan berbagai lembaga sosial seperti panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah. Semangat al-Ma’un mendorong Muhammadiyah untuk senantiasa peduli terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan (Labib, 2024).
Al-Asr: Spirit Kerja Keras dan Kualitas
Q.s al-Asr menekankan pentingnya iman, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam konteks Muhammadiyah, surat ini dimaknai sebagai dorongan untuk terus bekerja keras dan cerdas dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Spirit al-Asr tercermin dalam berbagai program pengembangan sumber daya manusia yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, seperti sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga pelatihan (Hilmi Rizkih Saputra, 2020).
Al-Insyirah: Spirit Optimisme dan Pengembangan Diri
Q.s al-Insyirah memberikan semangat optimisme dan dorongan untuk terus mengembangkan diri. Ayat ini menjadi inspirasi bagi Muhammadiyah untuk terus berinovasi dan melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang.
Spirit al-Insyirah juga mendorong Muhammadiyah untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan (Labib et al., n.d.).
Benang Merah “Urip iku Urup” dengan Spirit Sosial Muhammadiyah
Meskipun falsafah Jawa “urip iku urup” dan spirit sosial Muhammadiyah berasal dari latar belakang yang berbeda, kedua unsur tersebut memiliki berbagai kesamaan. Keduanya menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, gotong royong, tanggung jawab sosial, dan berbagai aktivitas lain yang bersubstansi kepada kebermanfaat umat manusia.
Berdasarkan pembacaan dan analisis penulis, setidaknya terdapat empat benang merah antara dua unsur tersebut, yaitu; Pertama, orientasi pada kemaslahatan umum, baik falsafah Jawa maupun Muhammadiyah sama-sama menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi.
Kedua, pentingnya tindakan nyata. Keduanya tidak hanya mengajarkan nilai-nilai luhur yang berhenti hanya sebatas pada narasi tanpa melakukan aksi. Lebih dari itu, keduanya mendorong umat manusia untuk melakukan tindakan nyata untuk menghadirkan kebermanfaatan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, transparansi, yaitu keterbukaan terhadap perbedaan. Falsafah Jawa maupun Muhammadiyah menjunjung tinggi nilai toleransi dan menghargai perbedaan. Sikap mulia ini akan berdampak pada berbagai aspek yang (baik secara langsung ataupun tidak) menghadirkan maslahah bagi umat manusia.
Keempat, pentingnya pendidikan. Keduanya menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pendidikan yang dimaksud sejatinya tidaklah terbatas materi-materi yang diajarkan di bangku sekolah. Lebih dari itu, maksud pendidikan di sini adalah segala aspek yang dapat membentuk karakter individu yang memanusiakan manusia.
____
Muhammad Alfreda Daib Insan Labib
Bagikan artikel ini :


Post Comment