Middle Class Labourers: Situasi Terhimpit yang Dipelihara Negara
Pengantar: ASN, stabilitas, dan ilusi kemapanan
Ibuku adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebagaimana yang pembaca budiman mungkin ketahui, pekerjaan ini sering didamba-dambakan banyak calon mertua. Ketika seseorang datang meminang, antusiasme calon mertua biasanya meningkat jika si pelamar bekerja sebagai ASN.
Sebagai contoh, bentuk-bentuknya beragam: guru, tenaga medis, hakim negeri, jaksa, polisi, dan sejumlah pekerjaan pelayanan publik lainnya.
Sebelum merantau, aku terbiasa memerhatikan aktivitas kerja ibuku saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku jarang diantar ibuku ke sekolah pada pagi hari. Paling sering, aku diantar Bapak yang bekerja di pabrik manufaktur swasta di bidang industri otomotif. Jika tidak, opsi paling mutakhir, efisien, dan anti ribet adalah naik becak motor langganan yang biasa mangkal di depan kompleks perumahan.
Setelah hari yang panjang, ibuku baru pulang saat matahari mulai terbenam. Biasanya, pada jam itu aku sudah harus pulang ke rumah setelah bermain bola bersama teman-teman di lapangan masjid.
Bagi sebagian orang, pekerjaan sebagai ASN adalah sesuatu yang diimpi-impikan. Karena itu, banyak orang bertekad mendapatkan posisi ini. Keuntungannya memang nyata. Mereka yang bekerja dalam payung birokrasi besar memiliki stabilitas gaji dan tunjangan yang relatif tinggi.
Ibuku barangkali termasuk di dalamnya. Namun, bertahun-tahun sebelum terus-menerus naik pangkat, ia menjalani kehidupan yang cenderung berat. Bayangkan saja jarak rumah kami dan tempat ia bekerja cukup jauh. Jika dianalogikan, jaraknya seperti tiga kali perjalanan dari Wirobrajan ke UIN Sunan Kalijaga. Bagi yang berdomisili di Jogja, tentu paham waktu yang habis untuk jarak semacam itu.
Selain itu, ia harus panas-panasan menaiki angkutan umum. Ia berpindah dari satu angkutan ke angkutan lain. Kami orang Makassar biasa menyebutnya “pete’-pete’”, angkutan umum berwarna biru yang umum di daerah kami.
Pekerja kerah putih di Indonesia: stabilitas yang menjerat
Aparatur Sipil Negara juga memiliki jenjang karier yang jelas. Tentu, jalurnya mengikuti kepentingan birokrasi. ASN akan sangat senang bila diberi kenaikan pangkat. Menolak kenaikan pangkat berarti menolak status kehidupan yang lebih mapan.
Namun, prosesnya tidak sederhana. Ada kepentingan banyak orang yang bisa memicu nepotisme yang tidak sehat.
Pekerja kerah putih: Analisis C. Wright Mills tentang kelas menengah baru
Di titik inilah konsep “pekerja kerah putih” menjadi relevan. C. Wright Mills adalah sosiolog Amerika. Ia dikenal sebagai ilmuwan sosial sekaligus kritikus yang berpengaruh. Ia bergabung di Fakultas Sosiologi Universitas Columbia setelah meraih Ph.D di Universitas Wisconsin.
Penelitiannya mencakup diferensiasi dampak kelas, status, dan kekuasaan dalam menjelaskan sistem stratifikasi politik. Karyanya cukup banyak, seperti The Power Elite, The New Men of Power, dan White Collar. Karya terakhir itulah yang mengulas kelas menengah Amerika.
Menurut Mills, kelas menengah ini merupakan produk kelas baru. Ia lahir seiring kemajuan teknologi, menguatnya organisasi birokrasi, dan kebutuhan memasarkan barang-barang industri dalam masyarakat modern. Pekerja kerah putih mengacu pada pekerjaan administrasi di kantor. Dalam bahasa harfiahnya: White Collar—pekerja dengan kewajiban dasi sebagai atribut kerja.
Baca juga tulisan lain di kategori Pandangan di AnakPanah.id.
Modernisasi, pembagian kerja, dan hierarki
Bagi Mills, perubahan sosial tidak dapat dihindari. Struktur masyarakat berubah seiring waktu. Ketika lembaga sosial masyarakat tradisional membesar, saling bergantung, dan tersentralisasi, masyarakat berangsur menjadi tipe modern. Pembagian kerja meningkat, aturan menjadi rasional, dan solidaritas pun bersifat organis.
Lebih lanjut, birokrasi menetapkan posisi individu secara hierarkis di tempat kerja. Individu di hierarki teratas memegang wewenang lebih besar. Sementara itu, mereka yang berada di hierarki menengah dan bawah menjalankan keputusan. Pergeseran menuju modernisasi ini memengaruhi semua individu, baik pengendali di atas maupun pekerja di bawahnya.
Ketergantungan, alienasi, dan pekerjaan teknis
Lebih jauh, Mills berpendapat bahwa pekerja menengah kerah putih mau tidak mau menghadapi situasi yang tidak terorganisir. Mereka bergantung pada aturan formal untuk kelangsungan hidup dan eksistensinya. Karena jumlah mereka kian masif, ketergantungan pada kebijakan elite pun makin besar. Akibatnya, kehidupan sosial masyarakat berubah.
Pekerjaan kerah putih dipecah menjadi tugas-tugas fungsional sederhana. Norma formal mengatur hampir seluruh proses kerja untuk meningkatkan produktivitas. Mereka diberi tugas yang “berat”. Namun, beratnya bukan karena tenaga, melainkan karena pekerjaan itu tidak melibatkan potensi produktivitas manusia secara utuh.
Dalam sistem seperti itu, mereka tidak benar-benar diizinkan menggunakan kemampuan kognitifnya. Mereka tidak diberi wewenang merumuskan kebijakan dan keputusan. Posisi itu hanya diperuntukkan bagi pemegang posisi kunci. Karena itu, mereka terasing dari kemampuan intelektualnya sendiri.
Di sisi lain, mereka sering tidak memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya. Mereka sudah terlanjur disibukkan oleh kerja teknis sehari-hari.
Ketimpangan dalam organisasi yang sama
Wewenang yang berpusat pada hierarki teratas melanggengkan jarak situasi antara dua kubu. Padahal, keduanya bekerja dalam organisasi yang sama. Bentuk jaraknya beragam: prestise, kuasa, dan pendapatan antara manajer dan staf umum.
Jangan lupa, para perumus kebijakan itulah yang banyak menentukan gaji seluruh posisi. Dinamika ini menyebabkan peningkatan kekuasaan segelintir orang. Sementara itu, produktivitas pekerja teknis justru cenderung menurun.
Relevansi di Indonesia: “dipelihara” sekaligus “terhimpit”
Hal yang sama, bolehlah dikata, terjadi di Indonesia. Para pekerja kita tidak begitu berbeda dengan studi Mills tentang kelas menengah Amerika. Mereka menggantungkan nasib pada kelancaran proses produksi perekonomian negeri. Mereka diimingi gaji tetap, pekerjaan mapan, dan sejumlah keuntungan lainnya.
Namun, stabilitas itu datang bersama disiplin. Negara, melalui hegemoninya, mendorong masyarakat mempelajari keterampilan teknis yang sesuai kebutuhan birokrasi. Tujuannya jelas: memperbesar kapital dan memastikan ketersediaan tenaga kerja di masa depan.
Vokasi sebagai pabrik tenaga kerja teknis
Meningkatnya pekerjaan kerah putih berdampak pada sistem pendidikan. Berkat industrialisasi, universitas akhirnya membuka kelas diploma yang berfokus pada keterampilan vokasional. Mahasiswa dilatih agar siap menjadi bagian birokrasi besar di masa depan.
Selain itu, kurikulum pelan-pelan tergantikan oleh pelatihan dasar untuk mematuhi aturan dan perintah atasan. Dalam kerangka Mills, elit berhasil memanipulasi sistem pendidikan. Mereka mengumpulkan lebih banyak generasi untuk mengakumulasi kekayaan dari jerih payah rakyat.
Baca: Sejarah pendidikan vokasi di Indonesia (tautan)
Referensi:
Mills, C. Wright (2002). White Collar: The American Middle Classes (edisi ulang tahun ke-50). New York: Oxford University Press
Durkheim, É. (1933). The division of labor in society. Free Press.
Ritzer, George, & Jeffrey Stepnisky. 2018. Sociological Theory (edisi kesepuluh). Los Angeles: Sage Publications.
Marx, Karl. Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Diterjemahkan oleh Martin Milligan. Mineola: Dover, 2007.
*Tulisan ini merupakan penugasan penulis untuk tugas kuliah Prodi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga pada mata kuliah Teori Sosiologi Modern yang diampu oleh Bernando J. Sujibto, S.Sos., M.A.. Tulisan ini boleh dikritisi, diberi saran, dan terbuka akan diskusi lebih lanjut.
Bagikan artikel ini :


Post Comment