Loading Now

Analisis Dramaturgi Erving Goffman: First & Second Account as an Example of Our Everyday Life

Analisis Dramaturgi Erving Goffman: First & Second Account as an Example of Our Everyday Life - AnakPanah.id

Siapa yang saat ini tidak aktif bermedia sosial? Penulis dapat dengan yakin memastikan bahwa pembaca yang budiman sedang berbohong saat mengaku tak punya satupun platform media sosial berbasis digital. Bentuknya dapat beragam: Instagram, Facebook, WhatsApp, X, Snapchat, dan sejumlah platform lainnya. Penggunanya pun tak kenal umur; menjangkau anak yang masih doyan permen hingga para orang tua yang sudah lama pensiun kerja.

Hingga saat ini, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melalui Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Penggunaan Internet 2025 melaporkan bahwa terdapat 229.428.417 jiwa dari 284.438.900 jiwa total populasi Penduduk Indonesia Tahun 2025 yang telah terhubung ke internet. Angka ini mewakili 80,66% tingkat penetrasi internet di Indonesia. Survei ini menggunakan metode wawancara yang dilakukan oleh enumerator terlatih dan dengan metode multistage random sampling, dengan Margin of Error (MoE) ±1.1% sebagai metode penentuan sampel. Angka yang cukup besar!

Ada yang ditawarkan akses internet bagi penggunanya yang belum pernah dijumpai sebelumnya: terhubung dengan orang-orang dengan jarak sejauh apapun! Akses ini memungkinkan penulis dan pembaca yang budiman untuk dapat berkomunikasi, meskipun boleh jadi penulis sedang mengetik paragraf-paragraf ini di benua dengan jarak tempuh berhari-hari dengan menggunakan kapal laut tercanggih sekalipun.

Bermedia sosial adalah aktivitas yang paling digemari oleh para pengguna internet. Pengguna media sosial aktif di Indonesia pada awal tahun 2024 mencapai 139 juta jiwa, 49,9% dari total populasi (We Are Social & Hootsuite, 2024). Melihat tren yang terus konsisten mengalami kenaikan angka, prediksi angka untuk tahun ini tentu akan terus-menerus naik. Internet, khususnya media sosial telah menjadi teman kita sehari-hari, menjadi alat kita untuk mengakses informasi dari petang hingga petang kembali.

Sejalan dengan perkembangannya, media sosial menjadi magnet yang menawarkan berbagai inovasi fitur yang memudahkan penggunanya berkomunikasi dengan cepat dan fleksibel. Salah satu media sosial yang paling digemari oleh para pengguna internet adalah Instagram. Menurut NapoleonCat—sebuah situs yang terus memperbaharui angka pengguna Instagram di Indonesia—pengguna Instagram untuk pertama kalinya menyentuh angka 100 juta pengguna aktif di bulan September 2025, tertinggi sepanjang masa. There were 100.804.400 Instagram users in Indonesia in September 2025, which accounted for 35.4% of its entire population. The majority of them were women – 53.4%. People aged 25 to 34 were the largest user group (44.100.000). The highest difference between men and women occurs within people aged 18 to 24, where women lead by 12.300.000, tulis NapoleonCat pada bagian deskripsi.

Instagram memiliki fitur switch account yang memungkinkan pengguna memiliki 2 bahkan lebih akun Instagram dalam satu waktu dan perangkat yang sama. Tidak ada salahnya, bukan? Hak setiap orang untuk memiliki 2 atau bahkan lebih akun Instagram. Meta Platforms Inc. sebagai pemilik Instagram pun tidak melarang hal itu. Namun sebagaimana yang akan kita lihat, memungkinkan satu orang untuk memiliki 2 akun media sosial sarat akan penelitian bersifat sosiologis.

Perhatian artikel ini akan tertuju pada fenomena first & second account yang tahun-tahun belakangan muncul dan menjadi topik hangat berbagai bidang studi. Penelitian terkait topik ini sudah terbilang cukup banyak. Penulis dengan segenap kerendahan hati hanya mengulas ulang topik ini dan menghubungkannya dengan teori Dramaturgi yang digagas oleh Erving Goffman sesuai dengan pengalaman yang penulis jumpai di lapangan. Sebagai mahasiswa, penulis banyak menjumpai teman-teman penulis (dalam hal ini berbasis komunitas pengguna Instagram di kalangan remaja) yang memiliki 2 bahkan lebih akun Instagram. Berikut adalah satu dari banyak wawancara penulis dengan salah seorang responden sebagai objek studi:

FF (Penulis): “Saya tahu bahwa Anda memiliki 2 akun Instagram pada saat yang bersamaan. Pertanyaan saya, mengapa?” tanya Penulis.

FA: “Saya bahkan memiliki 3 akun.”

FF: “Impresif! Apa fungsi masing-masing akun tersebut?”

FA: “Akun utama saya gunakan untuk mengunggah foto-foto yang saya kira layak untuk dipublikasikan ke khalayak umum. Misalnya, akun bisnis saya, konten personal branding, iklan desain, karena saya seorang desainer, dan foto-foto unggahan saat saya sedang liburan.”

FF: “Bagaimana dengan akun yang lain?”

FA: “Adapun yang lain saya khususkan untuk penonton-penonton tertentu. Tidak sembarang orang yang bisa mengakses. Sifatnya ekslusif. Biasanya saya unggah video lelucon, atau sisi-sisi keseharian saya yang spontan dan butuh rehat dari hingar-bingar publik.”

FF: “Itu artinya anda lebih jujur tidak di akun utama anda?”

FA: “Barangkali analoginya sama seperti saat saya bertemu dengan dosen saya. Tidak mungkin saya menyapanya seperti saat saya menyapa teman sebangku saya dengan bahasa gaul dan informal.”

Dalam potongan wawancara tersebut, mudah untuk menarik kesimpulan bahwa 2 akun dalam satu waktu yang dimiliki oleh FA memiliki fungsinya masing-masing. First account digunakan untuk membangun citra dan personal branding sebagai ekspektasi ideal publik. Sedangkan second account sebaliknya, berfungsi sebagai ruang privat untuk berekspresi secara lebih bebas dan jujur ekslusif hanya kepada lingkaran terdekat.

Fenomena ini sejalan dengan apa yang Erving Goffman sebut sebagai front stage & back stage. Erving Goffman (1922 – 1982) merupakan seorang Sosiolog berkebangsaan Amerika-Kanada. Ia pernah menjabat sebagai presiden ke-73 American Sociological Association (ASA). Ia disebut-sebut sebagai anggota aliran Chicago sebagai teoritis Interaksionisme Simbolik dengan pendekatan interpretatif. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya, George Herbert Mead.

Dalam karyanya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1959) ia memperkenalkan analisis Dramaturgi untuk menjelaskan bagaimana seseorang menampilkan dirinya secara sosial dengan menggunakan metafora panggung. Dalam keseharian kita, ada area di mana kita hendak menunjukkan citra diri dan mengelola kesan yang hendak dipersembehkan oleh audiens. Area ini ia sebut sebagai Front Stage. Front Stage memiliki 2 komponen utama, (1) front setting yang mengacu pada fasilitas fisik yang dibutuhkan aktor untuk bertindak, misalnya kamar operasi bagi dokter bedah, dan (2) front personal yang akan memperkuat citranya (lebih bersifat seperti aksesoris), seperti penampilan, gaya, dan peran yang diharapkan bagi aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu.

Area yang lain ia sebut sebagai Back Stage, saat di mana seseorang dapat bersantai dari “pertunjukan”. Di sinilah ia mampu berperilaku lebih santai dan menunjukkan sikap yang tidak ingin ia tampilkan untuk merusak pertunjukannya di depan para penonton. Di area inilah, seorang penampil sirkus melepas riasan dan hidung bulat merahnya dan rehat sejenak dari penampilan panggung.

Yang terjadi pada para pengguna Instagram yang memiliki first & second account sangat sesuai dengan analisis yang dibangun Goffman setengah abad yang lalu. First account diibaratkan sebagai front stage, tempat seseorang membangun citra yang dapat dikonsumsi oleh banyak orang. Adapun second account diperuntukkan sebagai media agar seseorang dapat mengunggah dan mengekspresikan dirinya secara lebih jujur. Fakta yang disembunyikan di front stage muncul di sini.

Ambil contoh FA yang sempat penulis wawancara. First account tidak akan mungkin digunakan sebagai tempat “menghapus riasan”. Bagi FA, akun tersebut akan digunakan sebagai tempat membangun bisnis yang sedang ia jalankan, atau mempromosikan keahliannya di bidang desain. Adapun second account, ia gunakan untuk memposting kesehariannya yang biasa disebut orang Jawa dengan istilah “ora ceto”, atau saat ia sedang ingin meledek teman dekatnya yang merupakan fans Liverpool, menimbang ia adalah seorang fans Manchester United yang loyal—untuk menghindari sebutan fanatik.

Kasus ini tidak boleh serta-merta dicap buruk, meskipun memang tidak baik juga bila berlebihan. Faktanya, tanpa media sosial sekalipun, kita butuh ruang pribadi untuk melepas penat dan meregangkan kaki sejenak. Dalam bermedia sosial, kita perlu bijak dalam bersikap. Meskipun ia dapat membantu memisahkan kehidupan profesional dan personal, penggunaannya yang berlebihan bisa menimbulkan masalah yang serius. Bayangkan saat rahasia second account Anda terbongkar, atau akun yang tidak Anda harapkan tampil untuk publik ditemukan oleh orang yang salah, bila Anda tidak mengaktifkan fitur private, siapa yang ribet? Pertimbangkan juga saat Anda memiliki semakin banyak akun media sosial: lebih banyak hidangan di meja makan berarti lebih banyak waktu untuk menyantapnya, bukan?

 

Wawancara-Tugas-UTS-Teori-Sosiologi-Modern--300x225 Analisis Dramaturgi Erving Goffman: First & Second Account as an Example of Our Everyday Life

Referensi:

Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburgh Social Sciences Research Centre

Ritzer, George dan Jeffrey Stepnisky (2018). Sociological Theory (Tenth Edition). California: SAGE Publications.

Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, ‘SURVEI PENETRASI INTERNET DAN PERILAKU PENGGUNAAN INTERNET’, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2025 <https://survei.apjii.or.id/>.

We Are Social & Hootsuite 2024. ‘Tren Data Pengguna Internet dan Media sosial di Indonesia Tahun 2024’.

NapoleonCat. “Instagram Users in Indonesia January 2025’. https://stats.napoleoncat.com/instagram-users-in-indonesia/2025/01/

*Penulis merupakan mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan penugasan penulis pada mata kuliah Teori Sosiologi Modern yang diampu oleh Bernando J. Sujibto, S.Sos., M.A.. Tulisan ini boleh dikritisi, diberi saran, dan terbuka akan diskusi lebih lanjut.

Bagikan artikel ini :

Post Comment