Loading Now

48 Tahun MUI di Tengah Isu Keindonesiaan

48 Tahun MUI di Tengah Isu Keindonesiaan - AnakPanah.id

Seiring dengan berkembanngnya kehidupan umat, berikut dengan teknologi, budaya, sosial dan ilmu pengetahuan meniscayakan akan berkembangnya fikih dalam Islam. Pemahaman secara tekstual akan Al-Qur’an dan Hadis, yang menjadi parameter serta sumber hukum dalam Islam tidak akan mampu menyelesaikan persoalan masyarakat yang komplek dan multikultural ini. Diperlukan pemahaman dan penalaran yang kontekstual agar syariat Islam tetap relevan fi kulli zamanin wa makanin (kapanpun dan di manapun).

Perkembangan hukum Islam di Indonesia ditandai dengan berdirinya Majlis Ulama Indonesia atau MUI, yang kini sudah memasuki usia 48 tahun sejak berdirinya pada tahun 1975. Peran umat Islam sendiri pada dasarnya sangat besar terhadap berdirinya bangsa ini, bahkan jauh sebelum Indonesia tegak sebagai negara.

Berkembangnya kehidupan bangsa pasca kemerdekaan mengharuskan adanya wadah untuk menjaga keharmonisan di tengah keberagaman umat dan golongan. MUI yang berisi para ulama dan zuama serta cendekiawan muslim dari berbagai ormas Islam merupakan kekayaan besar dalam membina dan mengayomi umat Islam di tengah dinamika perbedaan dan lintas madzhab.

Keberadaan MUI merupakan tanggung jawab ulama dalam menjawab persoalan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Jaih Mubarok mengatakan bahwa “MUI merupakan representasi umat Islam dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan dan keumatan”.

Hukum Islam yang bersifat dinamis yang didasari dari legal theory (madzhab) sebagai pondasi pemikiran terus mengalami modifikasi. Hal tersebut mengharuskan adanya perkembangan pemikiran hukum Islam yang bersifat kontinyu. Dan MUI memiliki posisi utama dalam menjaga ijtihad perkembangan hukum Islam tersebut.

MUI sebagai sebuah lembaga independen yang memberikan fatwa dan tuntunan kepada umat Islam harus memiliki terobosan-terobosan baru yang mendorong terwujudnya kemajuan bagi bangsa dan negara, berikut mewujudkan keharmonisan akan umat beragama.

MUI dalam Menjaga Marwah Bangsa

Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan adanya isu sara dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum ASN terhadap ormas Islam Muhammadiyah hanya karena permasalahan perbedaan hari raya. Hal semacam ini tidak sepatutnya terjadi apalagi dengan dibumbui intimidasi serta kekerasan verbal.

Dalam pisisi yang demikian, MUI sebagai penengah antar umat Islam harus mampu menjadi subjek untuk mengurai persoalan tersebut. Sebab, keadaan umat Islam hari ini sudah cukup lelah dengan banyaknya energi yang terkuras dalam lingkaran perdebatan khilafiyah yang tak tentu ujung pangkalnya.

MUI bukan hanya lembaga yang memiliki otoritas pemberi fatwa tapi juga sebuah lembaga yang mampu memberikan titik terang bagi keberagaman dan keberagamaan di tengah umat. Dalam ruang lingkup bangsa yang besar, mempererat ukhuwah menjadi sebuah tanda kemajuan bangsa.

Pertama, Ukhuwah Islamiyah, yakni mengokohkan hubungan antar umat Islam. Islam sebagai Agama terbesar yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia nyatanya masih banyak menyisakan persoalan, di antaranya munculnya sikap eksklusif yang tidak mengindahkan etika moral dan semangat Al-Qur’an, sehingga menimbulkan munculnya fenomena kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan atas nama agama.

Moderasi atau sikap wasatiyah dalam beragama semakin perlu di publikasikan dan diaplikasikan sebagai prinsip hidup, dengan mendorong beragama secara terbuka, insklusif serta mencari titik temu dari sebuah perbedaan. Hal semacam itulah yang akan melawan gerakan-gerakan radikal, ekstremis dan intoleran dalam beragama. Mungkin perlu kita renungkan terjemah dari ayat Al-Qur’an berikut “dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Maidah : 2).

Kedua, Ukhuwah Bashariyah, yakni persaudaraan atas nama kemanusiaan. Keberagamaan bukan hanya ibadah praktis yang dilakukan sebagai pemuas batin atas dasar perintah Allah. Lebih dari itu, keberagamaan harus ditransformasikan ke dalam kehidupan sosial yang lebih luas nilainya melewati sekat-sekat agama, suku ras, warna kulit dan lainnya.

Dalam sebuah kitab berjudul al-insaniyah qoblat tadayuun (kemanusiaan sebelum keberagamaan) karya Habib Ali al-Jufri yang berisi sebuah kritik terbuka yang menyentuh sisi kemanusiaan patut kita renungkan. Lebih dari itu, turunnya Al-Qur’an merupakan sebuah langkah revolusioner dalam membangun tatanan sosial masyarakat yang lebih baik, yang selama ini didukui oleh peradaban dan tradisi yang diskriminatif dan patriarkis.

Kita bersyukur bangsa Indonesia hari ini dengan silanya yang kedua memberikan efek positif dalam sisi kemanusiaan dan kerukunan hidup umat beragama. Hal tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negera-negara lain yang berpenduduk multiagama yang masih dalam posisi rawan dan mengkhawatirkan. Buya Syafii mengatakan “secara teologi kita tidak bisa disatukan, namun kita disatukan oleh kemanusiaan”.

Ketiga, Ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan). Pada dasarnya ukhuwah ini merupakaan konsep membangun peradaban yang lebih baik dalam kemajemukan. Hal itu bertujuan untuk mendorong agar negara semakin maju dan berkembang.

Kemerdekaan bangsa yang sudah berjalan cukup lama ini, keadaannya masih jalan di tempat dalam mencapai cita-cita tertinggi negara. Ketidakmajuan bangsa Indonesia disebabkan banyaknya golongan Al-Muthrafun. Sebuah istilah yang penulis ambil dari ungkapan bapak bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif.

Istilah Al-muthrafun diartikan dengan golongan pembawa bencana. Golongan inilah Buya Syafii menyebutnya kelompok pembawa onar dan bencana yang diungkapkan al-Quran dalam beberapa periode sejarah.

Lebih jelasnya kelompok ini adalah mereka yang sengaja mengambil keuntungan pribadi dalam pembangunan negara, menyalahgunakan keuangan, jabatan dan fasilitas yang dimiliki untuk hidup mewah bukan atas dasar membela kepentingan rakyat dan negara. Kelompok semacam ini apabila semakin bertambah jumlahnya justru akan mewariskan bencana-bencana baru yang akan dihadapi generasi bangsa di masa depan.

Dengan keberadaan MUI sebagai pelayan dan pembina umat dalam konteks membangun keberagaman, keberagamaan dan kebangsaan, kedepan MUI harus lebih tegas dalam mengambil langkah konkrit untuk membangun bangsa ini ke arah yang lebih cerah.

Ukhuwah Islamiyah sebagai upaya menjaga keharmonisan di tengah umat Islam, Ukhuwah Bashariyah menciptakan wajah baru Indonesia yang lebih ramah dan inklusif dalam keberagaman.

Ukhuwah wathoniyah mewujudkan negarawan yang 100 persen memperjuangkan bangsa dan kepentingan rakyat yang lebih luas. Selamat Ulang tahun MUI yang ke-48, semoga semakin berdaya dalam membangun umat.

_____

Inggit Prabowo, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech