Loading Now

Wirid Kebangsaan: Diskusi Buku Nyala Abadi Suluh Bangsa dan Guru Bangsa Penembus Batas

Wirid Kebangsaan: Diskusi Buku Nyala Abadi Suluh Bangsa dan Guru Bangsa Penembus Batas - AnakPanah.id

BANTUL, Anak Panah – Agenda terakhir dari rangkaian Wirid Kebangsaan diakhiri dengan diskusi buku yang sempat diluncurkan pada pembukaan tanggal 27 Mei silam. Buku obituari Buya Syafii berjudul “Nyala Abadi Suluh Bangsa” (Kompas, Mei 2023) dan “Guru Bangsa Penembus Batas” (IBtimes, Mei 2023). Meskipun acara terakhir, pameran masih berlangsung hingga 5 Juni.

Acara yang diselenggarakan di SaRanG Building 2 ini merupakan rangkaian acara dari Wirid Kebangsaan yang dimulai sejak 27 Mei lalu. Kerjasama MAARIF Institute, Anak Panah dan SaRanG Building ini berangkat dari semangat dan tujuan yang sama yaitu meneladani dan meneruskan pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif, yang tepat pada tanggal 27 Mei tahun lalu telah berpulang.

Line up yang diturunkan pada bedah buku kali ini adalah, sebagai pembicara, ada Wahyudin dan Abdullah Sumrahadi sebagai budayawan dan Devi Adriyani, dosen UAD. Bertindak sebagai moderator adalah Moh. Shofan, Direktur Program MAARIF Institute.

Memegang suluh, merawat ingat. Salah satu ungkapan dari Devi, pembicara diskusi buku yang merefleksikan lewat tokoh Buya Syafii. Suluh berarti obor yang senantiasa menyala apabila tetap dijaga dan disalurkan. Ibarat secercah cahaya kebaikan yang apabila tidak dipantulkan tidak akan dapat menyinari sesama.

Abi, sapaan akrab Abdullah Sumrahadi menyampaikan bahwa Buya mempunyai sifat criticism, yaitu ketika dirinya menyadari ada suatu yang tidak cocok, maka akan langsung memberontak. Namun tidak berhenti di situ, Buya memberikan sebuah keteladanan bahwa ada kerjaan lagi yang tidak selesai dengan hanya kajian, harus ada usaha rekonstruksi. Maka muncullah istilah yang dipopulerkan Muhammadiyah yaitu moderasi Islam.

Sedangkan Wahyudin berbicara mengenai buku secara teknis penulisan. Berangkat dari ungkapan Buya, “Peradaban di mulai dari titik dan koma”, Wahyudin melucuti buku dengan menggali gaya penulisan dan sudut pandang penulisan agar buku lebih matang ketika dibaca. Wahyudin juga bercerita tentang Buya sewaktu mengoreksi makalah mahasiswa dengan detail dan rinci di tengah kesibukan Buya.

Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dalam pengantar tulisan buku Guru Bangsa Menembus Batas meyampaikan pandangannya bahwa Buya mengintegrasikan antara kesalehan keagamaan (al-mutadayyin) dan kesalehan kewargaan (al-muwatin – al muwathanah). Buya tidak menafsirkan alquran sebagai teks kronologis, melainkan secara sistematis. Jadi alquran sebagai kitab wahyu dibaca melalui tantangan yang dihadapi masyarakat hari ini.

Gelar Guru Besar yang disematkan pada beliau bukan sebatas seremonial dan formalitas belaka. Buya dengan atau tanpa gelar itu, sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk bangsa Negara sehingga tak ada ragu dan bimbang jika gelar Guru Bangsa juga disematkan pada beliau, Buya Syafii. Walaupun Buya sendiri menolak sematan Guru Bangsa yang dinilai sebuah pertanggungjawaban yang amat besar.

Alfi, penyelenggara sekaligus pemilik SaRanG Building mengatakan acara ini bukan untuk mengkultuskan Buya Syafi sebagai tokoh, melainkan kesederhanaan hidup dan pemikiran lintas batas yang dinilai penting dan perlu dijaga, diteladani, dilestarikan serta diteruskan oleh generasi muda penerus bangsa. (syihadiba)

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech