Res Publika Indonesia: Mengkaji Letak Republik Kita
Negara Kesatuan Republik Indonesia; empat kata yang menghubungkan tiap pulau dari Sabang sampai Merauke, sebuah kalimat yang penuh darah dan air mata, bait indah yang merajut berbagai peristiwa. Republik Indonesia dua kata yang tidak pernah berubah sejak dicantumkan kedalam konstitusi kita yang pertama pada 18 Agustus 1945.
Sedangkan dua kalimat sebelumnya yakni ‘Negara Kesatuan’ pernah berubah menjadi sebuah Serikat yang meletakkan sistem pemerintahan negeri ini menjadi sebuah negara federal dengan beberapa negara bagian didalamnya. Namun menarik, bahwa kata Republik sendiri tidak pernah bergeser baik sebagai NKRI maupun sebagai RIS, Republik selalu menjadi kata pendahulu sebelum kata Indonesia.
Republik sendiri jika digali asal katanya sangat jelas berasal dari bahasa latin yakni Res Publica, dalam bahasa Indonesia berarti untuk publik. Republik yang merupakan antitesa dari monarki yang menerapkan ide adikodrati atau sebuah gagasan bahwa kekuasaan telah dikodratkan pada seorang individu atau pada sebuah dinasti keluarga saja dibantah oleh republik dengan pikiran bahwa hanya manusia yang bisa memberi legitimasi pada suatu pemerintahan manusia.
Kemunculan republik dalam khazanah kenegaraan Indonesia pertama kali muncul sebagai antitesa dari kolonialisme barat. Naar de republiek Indonesia karya Tan Malaka merupakan salah satu tulisan penting yang kemudian menyematkan gelar Sang Bapak Republik pada Bapak Bangsa kelahiran Minangkabau itu.
Republikanisme yang dibawa merupakan sebuah filsafat republikanisme yang progresif, yang kemudiannya menjadi pembeda mendasar antara republikanisme Eropa dan Indonesia. Republikanisme kita membedakan antara golongan republiken dan penjajah, golongan yang pro-kemerdekaan, dengan golongan yang ingin mengekalkan status quo kolonial.
Kemudiannya dalam perdebatan di sidang BPUPK para Bapak dan Ibu Bangsa pada dasarnya sepakat dengan konsep republikanisme namun sebagian berdebat soal diksi republik yang dianggap bahasa asing. Wongsonegoro menyoal perkataan republik yang dianggap bahasa asing.
Namun hal tersebut ditengahi oleh Ki Bagus Hadikusumo dengan kalimat yang mendapat sambutan tepuk tangan “gambarkan saja apa yang Tuan sukai yaitu dikepalai seorang yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat, dan negara itu perintahnya berdasarkan rakyat…apapun nama itu, ahli bahasa itu arti didalam Bahasa Indonesianya itu rupanya dengan singkat juga dapat, ialah “daulat rakyat”. Kalau tidak suka cari yang lain…” (Kusuma, 2004: 223).
Pandangan mengenai daulat rakyat yang disampaikan oleh Ki Bagus sangat identik dengan usulan Hatta. Kemudian pada akhirnya para Bapak dan Ibu Bangsa melakukan pengundian dengan “stem” dengan total 64 stem yang menghasilkan 55 stem untuk republik, 6 kerajaan, dan lain-lain 2. Maka dengan demikian sudahlah terang lagi bersuluh bahwa Indonesia Merdeka merupakan sebuah negara republik.
Kembali kepada gagasan republikanisme yang secara asasnya meletakkan urusan publik yang terpisah dengan urusan privat amat sangat penting digarisbawahi. Bahwa republik dalam konteks yang hakiki jika merujuk pada Aristoteles yang membagi dua realita manusia yakni yang publik dan yang privat, begitupun jika konteks republik diletakkan dalam kerangka yang diajukan Cicero (106-43 SM) bahwa re publica adalah ajaran yang menganjurkan agar pemerintahan dibentuk sedemikian rupa agar melayani prinsip-prinsip dan kepentingan warga (Held, 1996: 43).
Dalam tafsir yang lebih gamblang dari Cicero bahwa hanya rakyatlah satu-satunya dasar otoritas yang otentik, republikanisme Cicero juga memperkenalkan adagium res publica res populi, yang bermakna bahwa republik itu segala tindakannya harus terarah kepada satu-satunya otoritas yakni rakyat.
Dalam khazanah Indonesia nya pula hal ini identik dengan pernyataan Sukarno bahwa “Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat.” Hal ini menegaskan bahwa tidak ada otoritas lain dalam sebuah republik kecuali rakyat itu sendiri, dan pemerintahan yang sah merupakan perwujudan dari kehendak rakyat dan harus berorientasi pada apa yang disebut sebagai people’s affair.
Dan keutamaan pemerintahan republik bagi Cicero ialah pemerintahan yang prudentia atau bijaksana dalam menjalankan kepemerintahan milik publik dengan melepaskan segala kepentingan res privata, seperti pelayan publik yang tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan pribadi dari ororitas yang diberikan rakyat.
Hal kedua berkenaan keutamaan republik menurut Cicero ialah fortitudo atau keberanian, keberanian ini berkait rapat dengan apa yang dikenali sebagai patriotisme atau sifat rela berkorban. Hal ketiga yakni daecorum atau sikap moderat yang berarti pemerintah musti berdiri ditengah-tengah masyarakat tanpa melihat latar belakang masyarakat itu.
Hal terakhir keutamaannya ialah justicia atau keadilan, yang berarti bahwa pemerintahan harus melandaskan dirinya bukan hanya pada hukum positif saja, namun harus menyandarkan fondasi pengelolaan republik itu pada keadilan.
Namun begitu penulis hendak menekankan apakah Republik kita ini sudah diletakkan pada tempatnya atau belum pada dua hal keutamaan saja, yakni pada prudentia dan justicia, sikap bijaksana dan sikap adil.
Hal prudentia atau kebijaksanaan ini barangkali hal yang sangat jauh sekali sudah tertinggal dari mereka yang diserahi otoritas oleh rakyat, perilaku koruptif yang sudah mandarah daging didalam sistem pemerintahan kita, hal ini menandakan bahwa republik ini sudah menafikan satu keutamaan pemerintahan republikanisme itu sendiri.
Bahkan soal perilaku koruptif ini juga disinggung oleh Machiavelli sebagai penyakit utama dari republik, yakni ketika kepentingan privat yang bersifat individu atau golongan mendahului dan berada diatas kepentingan publik.
Hilangnya sikap prudentia para abdi rakyat ini tercermin dari bagaimana mereka yang diberkati kuasa oleh sang empunya otoritas malah acapkali bertindak seolah merekalah yang memiliki otoritas. Tindakan sewenang-wenang dan jelas berada diluar maksud kebijaksanaan yang dilakukan para abdi rakyat disegala lini, secara jelas telah mencemari keluhuran dan kemurnian dari republik.
Sikap mementingkan diri sendiri dan kelompok seringkali menjadi keutamaan bagi para abdi rakyat, hal ini bukan hanya dianggap perilaku koruptif dalam definisi Machiavelli namun lebih jauh ini merupakan bibit dari perpecahan, sebagaimana disinggung oleh Sukarno pada 1933 yang berkata:
“…sekarang ini saudara-saudara, kita terpecah belah. Bukan hanya oleh rasa suku, bukan oleh rasa kedaerahan. Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat dari rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit kepartaian…”
Jelas apa yang disampaikan Sukarno lebih dari delapan dekade lalu itu merupakan sebuah lonceng peringatan bagi “calon republik” yang sekarang sudah menjadi republik ini.
Penyakit kepartaian atau secara umum dapat dikontekskan di era sekarang sebagai penyakit elektoral dan merupakan perilaku yang secara dasar bertentangan dengan moral republikanisme. Yaitu yang dalam segala halnya menjadikan kepentingan publik sebagai keutamaan tunggal. Berkenaan dengan penyakit ini akan saya tuliskan dalam tulisan saya berikutnya secara lebih spesifik.
Berikutnya berkenaan dengan justicia yakni keutamaan keadilan, bahwa keadilan itu bukan hanya bisa diakses oleh semua orang saja, namun harus bisa menjangkau semua orang. Sebab dalam republik tidak ada satupun manusia yang dibedakan status aksesabilitasnya akan hukum dan tidak ada pula satu orang pun yang tidak bisa dijangkau hukum.
Lalu pertanyaannya hukum yang bagaimana yang dimaksudkan oleh sebuah republik? Dalam pengertiannya Harrington bahwa kebebasan masyarakat dari sebuah republik harus termanifestasikan dalam apa yang disebut sebagai “the empire of laws and not the men” dan pedoman inilah yang kemudian diyakini sebagai sokoguru republik modern (Harrington, 1992: 8).
Bagaimana dengan konteks Republik Indonesia? Bahwa jangankan bicara pada tingkatan penegakan hukum, pada tingkat beberapa produk hukumnya saja republik ini secara dasar sudah mengkhianati keutamaan keadilan. Undang-undang dengan pasal-pasal karet yang dapat menjerat siapa saja yang sedang “apes”.
Jika kemudian pada tingkat produk hukum yang secara mendasar sudah mencemari nilai keadilan, maka jangan heran jika kemudian penegakkan hukum akan sinonim dengan penegakkan ketidakadilan.
Hukum dalam republik harus menjadi manifestasi dari kehendak keseluruhan rakyat, sebab kembali pada prinsip republik yang paling dasar ialah rakyat merupakan otoritas tunggal yang berkuasa, dan hanya bisa tunduk oleh kehendak bersama. Lalu kemudian dalam konteks ke Indonesiaan maka hal ini tercermin dalam apa yang disebut sebagai lembaga perwakilan, meskipun kemudian adanya representasi rakyat ini dikritisi oleh Rousseau yang menyatakan bahwa “…pada saat rakyat menerapkan perwakilan mereka tidak lagi bebas” (Rousseau, 1968: 143). Namun begitu pada realita yang sudah menjadi “kesepakatan” para Bapak dan Ibu Bangsa maka daulat “kerakyatan” itu wajib dituntun oleh hikmat kebijaksanaan dalam sebuah lembaga formil kenegaraan yang disebut sebagai perwakilan.
Meski demikian, apakah kemudian para perwakilan ini benar-benar menjadikan rakyat itu sebagai pemimpin tertinggi, dan rakyat sebagai tuan atas mereka yang segala kepentingannya melebihi kepentingan mereka itu benar-benar dijalankan atau tidak, tentu sebagaimana dalam makna republik, biarlah kita semua yang menjawabnya.
Berkenaan lebih jauh soal keadilan, republik ini sudah kadung tersesat dalam lembah formalitas hukum yang secara perlahan menggeser keutamaan keadilan menjadi keutamaan pasal-pasal. Jika kemudian mengutip pada Thurgood Marshall (1908-1993) ia menyatakan bahwa “keadilan tidak selalu berarti mengikuti hukum yang ada, tetapi kadang-kadang menciptakan hukum yang baru” hal ini menegaskan bahwa dalam sebuah “empire of laws” keadilan menjadi keutamaan mutlak dalam sebuah republik.
Jika kembali mengacu pada konteks Indonesia maka kita dapat mengutip Iwa Kusuma Sumantri (1889-1971) yakni “hukum adalah sesuatu yang harus bersangkutan dengan rasa keadilan rakyat, karena seluruh rakyat berhak atas keadilan itu” pernyataan ini semakin menegaskan bahwa hukum haruslah berkait rapat bukan hanya pada keadilan namun lebih tinggi dari itu dengan rasa keadilan rakyat sebagai pemilik dan otoritas tertinggi dan tunggal dari sebuah republik.
Akhir kata, apakah kemudian republik ini sudah diletakkan di tempat yang benar atau tidak tentu jawabannya hanya ada pada pemilik tunggal republik ini yakni kita semua sebagai rakyat. Jawaban kita sebagai pemilik sah dan tunggal bukan hanya pada menyalahkan siapa dan meratapi nasib, namun dikarenakan kitalah yang memiliki republik ini, maka satu-satunya jalan hanya kita jua lah yang memperbaikinya. Pada akhirnya republik ini bergantung pada kedaulatan kita sebagai publik itu sendiri.
Dirgahayu Republikku. Merdeka!
Post Comment