• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Filsafat Stoisisme dan Kehidupan Kini

Luthfi Fahmi Senin, 23-1-2023 | - Dilihat: 87

banner

Oleh: Luthfi Fahmi

Pernahkah kalian merasa sangat tertekan, stres, gelisah, mencemaskan masa depan, menyesalkan masa lalu, dan banyak emosi negatif lainnya? Atau mungkin Kalian sedang mengalaminya saat ini?  Dalam skenario ini, suka atau tidak, kita harus terus menjalani hidup kita. Meski sulit diterima, filosofi Stoisisme bisa mengajarkan kalian untuk menerima kenyataan. Bagaimana cara  kita meikhlaskan, membentuk pandangan kita untuk bangkit terhadap hal-hal yang mengecewakan kita.

Stoisisme telah menjadi pola pikir populer selama ratusan tahun dan merupakan aliran filsafat yang paling umum diakui. Alasannya adalah banyak orang menganggap filosofi hidup ini banyak berpengeruh dan berguna di dalam kehidupan sehari hari karena meminta kita untuk tetap tenang dalam menghadapi situasi pelik yang tidak terduga.

Filsafat ini juga membantu kita untuk berpikir logis, menjernihkan pikiran, dan membuat keputusan yang tepat. Stoicisme berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk hidup selaras dengan alam. Alam didefinisikan sebagai seluruh alam semesta, termasuk sesama manusia.

Aliran filsafat stoisisme berasal dari 301 SM atau abad ke-3 SM. Zeno, seorang filsuf Yunani Kuno dari Athena, adalah orang yang pertama kali mencetuskan aliran ini yang pemikirannya dipengaruhi oleh Socrates. Filsafat Stoisisme sebenarnya diambil dari 2 kata dari Bahasa Yunani yaitu “Stoa” yang artinya beranda rumah dan “Stoik” yang artinya merujuk kepada orang orang yang sedang belajar di beranda rumah.

Sejarahnya, kegiatan belajar kaum Stoa tidak hanya dilakukan didalam kelas saja namun juga berada di luar kelas, seperti beranda atau teras rumah. Kemudian muncul para pemikir Stoa, termasuk Chrisippus, Cicero, Epictetus (dijuluki Budak Pengajaran Stoa), Marcus Aurelius (Kaisar Romawi), dan Seneca (dijuluki negarawan dan filsuf Stoa). Stoisisme, saat ini masih terus berkembang dan relevan bagi manusia modern bahkan di abad kedua puluh satu.

Dari sekian banyak Filsuf Stoik yang sudah dijabarkan diatas, ada dua tokoh yang paling menonjol untuk dijadikan panduan yang kita bahas pada tulisan kali ini. Pertama adalah seorang politisi Romawi, penulis dan penasehat Kaisar Nero yaitu Seneca. Kedua yaitu Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang menuliskan sebuah buku terkenal berjudul the Meditations.

Karya-karya mereka masih mudah ditemukan dan dibaca pada waktu santai terutama ketika malam hari saat kecemasan dan segala kegelisahan muncul atau lebih kita kenal dengan Overthingking. Ajaran Stoik dapat membantu kita mengatasi tiga masalah.

Pertama menyangkut Emosi. Hampir setiap hari kita dikeluhkan akan suatu hal, entah itu teman yang tidak menepati janji, anak yang susah diatur, politisi yang menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan di masyarakat hingga membuat marah. Kemarahan tercipta karena ketidaktahuan akan satu hal, yaitu pandangan yang menyimpang dari realitas.

Kemarahan adalah reaksi emosional yang muncul sebagai akibat dari perasaan tidak menyenangkan terhadap lingkungan sekitar dan ketidaksukaan dalam kontak sosial (Ani Mustafidah, 2014). Emosi disebabkan oleh pergolakan berupa gelombang otak, yang menyebabkan individu mengalami perubahan perasaan sebagai respon terhadap suatu situasi atau peristiwa yang sedang dihadapi.

Akibatnya, individu harus beradaptasi terhadap lingkungannya dan memutuskan bagaimana menanggapi situasi tersebut, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Emosi disimpan di otak dan dipicu oleh rangsangan. Pengalaman sehari-hari seseorang dalam menghadapi sesuatu rangsangan akan meningkatkan kepekaan dan ketepatan emosinya dalam mengartikulasikan emosi yang dimilikinya.

Orang yang memiliki banyak pengalaman yang menyenangkan akan memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dibandingkan dengan orang yang memiliki banyak pengalaman tidak menyenangkan (Sundari, 2005). Hal ini disebabkan oleh kebiasaan merekam otak ataupun keputusan yang sering dibuat oleh memori. Menurut filosofi Stoic, kemarahan adalah hasil dari benturan keras antara harapan dan kenyataan yang tidak tepat.

Untuk mengatasi hal tersebut, kita harus belajar untuk mengurangi harapan atas apa pun yang terjadi dalam kehidupan. Orang bijak, dia harus berjuang untuk mencapai keadaan di mana pikiran dan jiwanya terus-menerus tenang. Emosi negatif, menurut kaum Stoa, muncul dari penalaran yang cacat, bukan karena kejadian eksternal.

"Jika kamu merasa sedih karena hal-hal eksternal, masalahnya bukan berasal dari objek itu, tetapi dari pendapat kamu sendiri mengenai hal tersebut,"  kata seorang kaisar Roma sekaligus filsuf Stoa, Marcus Aurelius.

Emosi negatif, menurut kaum Stoa, muncul dari penalaran yang cacat daripada kejadian eksternal. "Jika Anda merasa sedih karena hal-hal eksternal, masalahnya bukan berasal dari objek itu, tetapi dari pendapat kamu sendiri tentangnya," kata Marcus Aurelius, seorang kaisar dan filsuf Stoa.

Kamu memiliki pilihan  untuk berubah pikiran kapan saja. Kekayaan, reputasi, tahta, dan faktor eksternal lainnya dipertaruhkan. Menurut stoisisme, pendapat yang kita utarakan disimpan di otak yang kemudian hanya bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri. Maka sebenarnya kita memiliki pilihan untuk berubah pikiran kita kapan saja.

Kedua adalah tentang seringnya kita menyalahkan kenyataan. Kita sangat mudah sekali untuk mengutuk hidup kita sendiri, hingga kita sering bertanya-tanya mengapa begitu banyak hal buruk menimpa kita, kita terus-menerus dibombardir dengan masalah dan rasa sakit dalam menjalani hidup.

Kaum Stoik percaya bahwa rasa pahit dalam hidup disebabkan oleh ketidakmampuan kita membedakan kondisi mana kondisi yang bisa kita ubah dan mana kondisi yang tidak bisa kita ubah. Misalnya, jika kita ingin bepergian ke pulau Bali menggunakan kapal laut, tetapi di tengah jalan ternyata kita tidak bisa menyebrang menggunakan kapal dikarenakan ombak laut sedang deras derasnnya sehingga membuat perjalanan kita terlambat. Kemudian kita kesal karena perjalanan terhambat dan menyalahkan pihak Pelabuhan atas hal tersebut, bahkan lebih parahnya  kita berani untuk mengutuk Tuhan.

Bagi filsuf Stoik, protes yang kita lontarkan nantinya juga sia- sia karena tidak dapat mengubah keadaan apapun. Penilaian atau persepsi kita tentang suatu peristiwalah yang membangkitkan emosi kita, bukan peristiwa itu sendiri.

Contoh lain ketika kita sedang terburu buru masuk ke kelas, namun roda motor kita mengenai paku hingga akhirnya harus ditambal, seringkali kita merasa tegang karena menunggu roda ditambal menghabiskan waktu kita, merasa kurang produktif, khawatir terlambat masuk kelas, dan hingga ke faktor lainnya. Padahal kita tidak tahu bahwa ada paku dijalanan yang kita lewati.

Di sisi lain ketika kita mempunyai interpretasi positif atau pikiran positif, maka waktu menunggu roda yang ditambal bisa dijadikan untuk membaca buku, sarapan terlebih dahulu, atau melakukan kegiatan positif lainnya. Dari contoh tersebut secara tidak langsung kita diajarkan bagaimana mengalola emosi yang negative yang saat itu muncul.

Menurut kaum Stoa, kita harus membiasakan diri untuk mengenali pendapat atau interpretasi yang kita miliki tentang hal-hal yang tidak rasional. Seperti perkataan Epictetus didalam buku filosofi teras, bahwa “ beberapa hal yang berada dibawah kendali tergantung pada kita, dan bebrapa hal yang tidak dibawah kendali atau tidaknya , maka itu tergantung pada kita”.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita terus dibanjiri dengan masalah dan kesengsaraan. Orang Stoa percaya bahwa rasa pahit dalam hidup diciptakan oleh ketidakmampuan kita untuk mengidentifikasi kondisi mana yang bisa dan tidak bisa kita ubah.

ketiga, kehilangan Perspektif. Kita cenderung membesar-besarkan masalah kecil. Kita biasanya disibukkan dengan satu masalah kecil. Akibatnya, kita menjadi khawatir dan panik untuk mendapatkan kembali ketenangan kita. Menurut Stoa, kita harus menjaga jarak dari kejadian itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa masalah yang kita hadapi tidak lebih besar dari kehidupan itu sendiri.

Stoa menasihati kita untuk memperhatikan di mana kita berada dan siapa kita sebenarnya. Seneca pernah mengatakan “ Manusia kehilangan siang hari karena mengharapkan malam, dan kehilangan malam hari karena takut akan fajar”.

Banyak manusia pada era modern, terutama anak muda yang mengalami pikiran dan perasaaan yang berlebih. Banyak dari kita meng- overthingking kan segala hal yang belum terjadi, entah itu tentang setelah kuliah nanti kerja dimana, nanti menikah dengan siapa, punya anak berapa. Bahkan hal-hal yang sudah terjadi difikirkan secara terus menerus. Sehingga muncul perasaan gelisah yang akhirnya menghilangkan esensi kehidupan di waktu sekarang.

Dalam poin yang ketiga ini mengajarkan bahwa kehidupan kita masih berjalan di detik ini dan masa ini, bukan masa depan atau masa lampau yang masih bisa diubah dan tidak bisa diubah. Berhenti mengkhawatirkan sesuatu yang pasti, seperti kematian. Salah satu upaya manusia untuk merasa bahagia adalah dengan menikmati hidup dengan memaknai setiap momen berharga.

Dari tiga poin yang dapat kita tangkap dari filsafat kaum Stoa bahwa hidup adalah apa yang ada didalam diri kita. Konsep konsep ajaran stoisisme mudah jika digambarkan namun tidak mudah dilakukan didalam konteks kehidupan kita. Belajar dari filsuf pertama sebagai pencetus stoisisme bahwa ia harus kehilangan segalannya karena kapal yang ia pakai untuk berlayar karam ditengah lautan, sebelum akhirnya ia sampai akan kebijaksanaan.

Bijaksana dalam mengontrol diri sendiri baik itu pikiran maupun perbuatan. Bijaksana dalam menciptakan jarak emosi terkait apapun yang ada disekitar kita, karena apa yang kita miliki bisa hilang kapan saja. Bijaksana bahwa kehidupan didunia tidak ada yang kekal, apa yang kita miliki pasti akan hilang ditelan waktu, tak terkecuali jabatan, orang terkasih, atau kekayaan. Bijaksana dalam menghargai dan memaksimalkan apa yang ada saat ini. Hanya orang bijak yang bisa berbuat seperti itu, karena dia bisa menguasai perasaan dan pikirannya sepenuhnya.

Dari ajaran tersebut ditarik kesimpulan bahwa kita harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal dalam hidup yang akan mengecewakan kita. Stoisisme juga mengajarkan kita untuk tidak menempatkan kebahagiaan kita di tangan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan., yang berujung kepada kita untuk terus menghadapi keadaan yang berada di luar kendali dan jangkauan kita dengan menggunakan kebijaksanaan, seperti membuat keputusan berdasarkan penalaran dan membuat keputusan yang tepat.

______

 

Referensi

Ani Mustafidah. (2014). Hubungan Antara Kontrol Emosi dan Islam. Buku Kecil STOI K ISME. (n.d.). https://spoti.fi/3INPoPt

Filsafat Stoikisme dan Cara Pandang Kebahagiaan Ibnu Sina - 10-13-2022. (n.d.). https://alif.id

Filsafat Teras* (Stois[-k]isme): Filosofi hidup anti galau? (n.d.). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.32398.23367

Henry Manampiring. (2019). Filosofi Teras. PT Kompas Media Nusantara. Muhamamad Hatta. (1986). Alam Pikiran Yunani. Universitas Indonesia (UI-Press). Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Rineka Cipta .

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Filsafat Stoisisme dan Kehidupan Kini

Luthfi Fahmi Senin, 23-1-2023 | - Dilihat: 87

banner

Oleh: Luthfi Fahmi

Pernahkah kalian merasa sangat tertekan, stres, gelisah, mencemaskan masa depan, menyesalkan masa lalu, dan banyak emosi negatif lainnya? Atau mungkin Kalian sedang mengalaminya saat ini?  Dalam skenario ini, suka atau tidak, kita harus terus menjalani hidup kita. Meski sulit diterima, filosofi Stoisisme bisa mengajarkan kalian untuk menerima kenyataan. Bagaimana cara  kita meikhlaskan, membentuk pandangan kita untuk bangkit terhadap hal-hal yang mengecewakan kita.

Stoisisme telah menjadi pola pikir populer selama ratusan tahun dan merupakan aliran filsafat yang paling umum diakui. Alasannya adalah banyak orang menganggap filosofi hidup ini banyak berpengeruh dan berguna di dalam kehidupan sehari hari karena meminta kita untuk tetap tenang dalam menghadapi situasi pelik yang tidak terduga.

Filsafat ini juga membantu kita untuk berpikir logis, menjernihkan pikiran, dan membuat keputusan yang tepat. Stoicisme berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk hidup selaras dengan alam. Alam didefinisikan sebagai seluruh alam semesta, termasuk sesama manusia.

Aliran filsafat stoisisme berasal dari 301 SM atau abad ke-3 SM. Zeno, seorang filsuf Yunani Kuno dari Athena, adalah orang yang pertama kali mencetuskan aliran ini yang pemikirannya dipengaruhi oleh Socrates. Filsafat Stoisisme sebenarnya diambil dari 2 kata dari Bahasa Yunani yaitu “Stoa” yang artinya beranda rumah dan “Stoik” yang artinya merujuk kepada orang orang yang sedang belajar di beranda rumah.

Sejarahnya, kegiatan belajar kaum Stoa tidak hanya dilakukan didalam kelas saja namun juga berada di luar kelas, seperti beranda atau teras rumah. Kemudian muncul para pemikir Stoa, termasuk Chrisippus, Cicero, Epictetus (dijuluki Budak Pengajaran Stoa), Marcus Aurelius (Kaisar Romawi), dan Seneca (dijuluki negarawan dan filsuf Stoa). Stoisisme, saat ini masih terus berkembang dan relevan bagi manusia modern bahkan di abad kedua puluh satu.

Dari sekian banyak Filsuf Stoik yang sudah dijabarkan diatas, ada dua tokoh yang paling menonjol untuk dijadikan panduan yang kita bahas pada tulisan kali ini. Pertama adalah seorang politisi Romawi, penulis dan penasehat Kaisar Nero yaitu Seneca. Kedua yaitu Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang menuliskan sebuah buku terkenal berjudul the Meditations.

Karya-karya mereka masih mudah ditemukan dan dibaca pada waktu santai terutama ketika malam hari saat kecemasan dan segala kegelisahan muncul atau lebih kita kenal dengan Overthingking. Ajaran Stoik dapat membantu kita mengatasi tiga masalah.

Pertama menyangkut Emosi. Hampir setiap hari kita dikeluhkan akan suatu hal, entah itu teman yang tidak menepati janji, anak yang susah diatur, politisi yang menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan di masyarakat hingga membuat marah. Kemarahan tercipta karena ketidaktahuan akan satu hal, yaitu pandangan yang menyimpang dari realitas.

Kemarahan adalah reaksi emosional yang muncul sebagai akibat dari perasaan tidak menyenangkan terhadap lingkungan sekitar dan ketidaksukaan dalam kontak sosial (Ani Mustafidah, 2014). Emosi disebabkan oleh pergolakan berupa gelombang otak, yang menyebabkan individu mengalami perubahan perasaan sebagai respon terhadap suatu situasi atau peristiwa yang sedang dihadapi.

Akibatnya, individu harus beradaptasi terhadap lingkungannya dan memutuskan bagaimana menanggapi situasi tersebut, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Emosi disimpan di otak dan dipicu oleh rangsangan. Pengalaman sehari-hari seseorang dalam menghadapi sesuatu rangsangan akan meningkatkan kepekaan dan ketepatan emosinya dalam mengartikulasikan emosi yang dimilikinya.

Orang yang memiliki banyak pengalaman yang menyenangkan akan memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dibandingkan dengan orang yang memiliki banyak pengalaman tidak menyenangkan (Sundari, 2005). Hal ini disebabkan oleh kebiasaan merekam otak ataupun keputusan yang sering dibuat oleh memori. Menurut filosofi Stoic, kemarahan adalah hasil dari benturan keras antara harapan dan kenyataan yang tidak tepat.

Untuk mengatasi hal tersebut, kita harus belajar untuk mengurangi harapan atas apa pun yang terjadi dalam kehidupan. Orang bijak, dia harus berjuang untuk mencapai keadaan di mana pikiran dan jiwanya terus-menerus tenang. Emosi negatif, menurut kaum Stoa, muncul dari penalaran yang cacat, bukan karena kejadian eksternal.

"Jika kamu merasa sedih karena hal-hal eksternal, masalahnya bukan berasal dari objek itu, tetapi dari pendapat kamu sendiri mengenai hal tersebut,"  kata seorang kaisar Roma sekaligus filsuf Stoa, Marcus Aurelius.

Emosi negatif, menurut kaum Stoa, muncul dari penalaran yang cacat daripada kejadian eksternal. "Jika Anda merasa sedih karena hal-hal eksternal, masalahnya bukan berasal dari objek itu, tetapi dari pendapat kamu sendiri tentangnya," kata Marcus Aurelius, seorang kaisar dan filsuf Stoa.

Kamu memiliki pilihan  untuk berubah pikiran kapan saja. Kekayaan, reputasi, tahta, dan faktor eksternal lainnya dipertaruhkan. Menurut stoisisme, pendapat yang kita utarakan disimpan di otak yang kemudian hanya bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri. Maka sebenarnya kita memiliki pilihan untuk berubah pikiran kita kapan saja.

Kedua adalah tentang seringnya kita menyalahkan kenyataan. Kita sangat mudah sekali untuk mengutuk hidup kita sendiri, hingga kita sering bertanya-tanya mengapa begitu banyak hal buruk menimpa kita, kita terus-menerus dibombardir dengan masalah dan rasa sakit dalam menjalani hidup.

Kaum Stoik percaya bahwa rasa pahit dalam hidup disebabkan oleh ketidakmampuan kita membedakan kondisi mana kondisi yang bisa kita ubah dan mana kondisi yang tidak bisa kita ubah. Misalnya, jika kita ingin bepergian ke pulau Bali menggunakan kapal laut, tetapi di tengah jalan ternyata kita tidak bisa menyebrang menggunakan kapal dikarenakan ombak laut sedang deras derasnnya sehingga membuat perjalanan kita terlambat. Kemudian kita kesal karena perjalanan terhambat dan menyalahkan pihak Pelabuhan atas hal tersebut, bahkan lebih parahnya  kita berani untuk mengutuk Tuhan.

Bagi filsuf Stoik, protes yang kita lontarkan nantinya juga sia- sia karena tidak dapat mengubah keadaan apapun. Penilaian atau persepsi kita tentang suatu peristiwalah yang membangkitkan emosi kita, bukan peristiwa itu sendiri.

Contoh lain ketika kita sedang terburu buru masuk ke kelas, namun roda motor kita mengenai paku hingga akhirnya harus ditambal, seringkali kita merasa tegang karena menunggu roda ditambal menghabiskan waktu kita, merasa kurang produktif, khawatir terlambat masuk kelas, dan hingga ke faktor lainnya. Padahal kita tidak tahu bahwa ada paku dijalanan yang kita lewati.

Di sisi lain ketika kita mempunyai interpretasi positif atau pikiran positif, maka waktu menunggu roda yang ditambal bisa dijadikan untuk membaca buku, sarapan terlebih dahulu, atau melakukan kegiatan positif lainnya. Dari contoh tersebut secara tidak langsung kita diajarkan bagaimana mengalola emosi yang negative yang saat itu muncul.

Menurut kaum Stoa, kita harus membiasakan diri untuk mengenali pendapat atau interpretasi yang kita miliki tentang hal-hal yang tidak rasional. Seperti perkataan Epictetus didalam buku filosofi teras, bahwa “ beberapa hal yang berada dibawah kendali tergantung pada kita, dan bebrapa hal yang tidak dibawah kendali atau tidaknya , maka itu tergantung pada kita”.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita terus dibanjiri dengan masalah dan kesengsaraan. Orang Stoa percaya bahwa rasa pahit dalam hidup diciptakan oleh ketidakmampuan kita untuk mengidentifikasi kondisi mana yang bisa dan tidak bisa kita ubah.

ketiga, kehilangan Perspektif. Kita cenderung membesar-besarkan masalah kecil. Kita biasanya disibukkan dengan satu masalah kecil. Akibatnya, kita menjadi khawatir dan panik untuk mendapatkan kembali ketenangan kita. Menurut Stoa, kita harus menjaga jarak dari kejadian itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa masalah yang kita hadapi tidak lebih besar dari kehidupan itu sendiri.

Stoa menasihati kita untuk memperhatikan di mana kita berada dan siapa kita sebenarnya. Seneca pernah mengatakan “ Manusia kehilangan siang hari karena mengharapkan malam, dan kehilangan malam hari karena takut akan fajar”.

Banyak manusia pada era modern, terutama anak muda yang mengalami pikiran dan perasaaan yang berlebih. Banyak dari kita meng- overthingking kan segala hal yang belum terjadi, entah itu tentang setelah kuliah nanti kerja dimana, nanti menikah dengan siapa, punya anak berapa. Bahkan hal-hal yang sudah terjadi difikirkan secara terus menerus. Sehingga muncul perasaan gelisah yang akhirnya menghilangkan esensi kehidupan di waktu sekarang.

Dalam poin yang ketiga ini mengajarkan bahwa kehidupan kita masih berjalan di detik ini dan masa ini, bukan masa depan atau masa lampau yang masih bisa diubah dan tidak bisa diubah. Berhenti mengkhawatirkan sesuatu yang pasti, seperti kematian. Salah satu upaya manusia untuk merasa bahagia adalah dengan menikmati hidup dengan memaknai setiap momen berharga.

Dari tiga poin yang dapat kita tangkap dari filsafat kaum Stoa bahwa hidup adalah apa yang ada didalam diri kita. Konsep konsep ajaran stoisisme mudah jika digambarkan namun tidak mudah dilakukan didalam konteks kehidupan kita. Belajar dari filsuf pertama sebagai pencetus stoisisme bahwa ia harus kehilangan segalannya karena kapal yang ia pakai untuk berlayar karam ditengah lautan, sebelum akhirnya ia sampai akan kebijaksanaan.

Bijaksana dalam mengontrol diri sendiri baik itu pikiran maupun perbuatan. Bijaksana dalam menciptakan jarak emosi terkait apapun yang ada disekitar kita, karena apa yang kita miliki bisa hilang kapan saja. Bijaksana bahwa kehidupan didunia tidak ada yang kekal, apa yang kita miliki pasti akan hilang ditelan waktu, tak terkecuali jabatan, orang terkasih, atau kekayaan. Bijaksana dalam menghargai dan memaksimalkan apa yang ada saat ini. Hanya orang bijak yang bisa berbuat seperti itu, karena dia bisa menguasai perasaan dan pikirannya sepenuhnya.

Dari ajaran tersebut ditarik kesimpulan bahwa kita harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal dalam hidup yang akan mengecewakan kita. Stoisisme juga mengajarkan kita untuk tidak menempatkan kebahagiaan kita di tangan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan., yang berujung kepada kita untuk terus menghadapi keadaan yang berada di luar kendali dan jangkauan kita dengan menggunakan kebijaksanaan, seperti membuat keputusan berdasarkan penalaran dan membuat keputusan yang tepat.

______

 

Referensi

Ani Mustafidah. (2014). Hubungan Antara Kontrol Emosi dan Islam. Buku Kecil STOI K ISME. (n.d.). https://spoti.fi/3INPoPt

Filsafat Stoikisme dan Cara Pandang Kebahagiaan Ibnu Sina - 10-13-2022. (n.d.). https://alif.id

Filsafat Teras* (Stois[-k]isme): Filosofi hidup anti galau? (n.d.). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.32398.23367

Henry Manampiring. (2019). Filosofi Teras. PT Kompas Media Nusantara. Muhamamad Hatta. (1986). Alam Pikiran Yunani. Universitas Indonesia (UI-Press). Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Rineka Cipta .

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech