Buya Syafii dan Proposal yang Tak Dibaca
Safwannur Ahad, 5-6-2022 | - Dilihat: 192

Oleh: Safwannur
Sore itu, Sabtu, 12 September 2015, selepas Asar, sesuai rencana kami mau berkunjung ke rumah Buya Syafii Maarif. Maksud kunjungan itu untuk silaturahmi sekaligus mengajukan proposal kegiatan, walau kami tak yakin bisa bersua langsung dengan Buya sebab kesibukan. Belum lagi sejumlah tamu penting sering menyambangi kediaman beliau.
Kami berangkat menuju rumah Buya di perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman dari asrama Unires UMY. Tak begitu sulit menemukan rumah beliau, sekalipun berada di area perumahan yang cukup luas. Hanya sekali saja menanyakan pada warga sekitar, sampailah di rumah Buya.
Begitu sampai di depan rumah Buya, terlihat beliau membuka jendela kamar saat mendengar suara motor berhenti di depan gerbang rumahnya. Lantas beliau bertanya, “Siapa? Dari mana?”.
Lalu kami memperkenalkan diri dengan menyebutkan thalabah PUTM. Tak berselang lama beliau keluar dengan kostum santai: kaos berkerah dilapisi jaket dengan bawahan celana training.
Buya membuka sendiri gerbang rumah sembari mempersilahkan kami masuk. Dari situ kami belajar, betapa Buya sangat menghargai tamu yang datang berkunjung sekalipun belum beliau kenali tanpa rasa curiga.
Sampai di dalam dan dipersilahkan duduk di sofa tempat Buya biasa menerima tamu, terlebih dahulu kami menanyakan keadaan beliau. Sembari tersenyum beliau menjawab, “Alhamdulillah, saya sehat, ya beginilah sehat-sehatnya orang tua”.
“Anda dari Aceh ya?”, tanya buya setelah mendengar gaya bicara saya.
“Betul buya”, jawab saya.
“Kelihatan dari dari logat Anda”, sambung buya lagi.
Setelah ngobrol sejenak, kami menyampaikan maksud kedatangan seraya menyodorkan satu berkas proposal kegiatan yang akan kami laksanakan kepada beliau.
Buya merespon, "tidak perlu saya baca, saya percaya pada Anda". Kemudian beliau mengeluarkan beberapa lembar rupiah sebagai donasi untuk kegiatan kami.
Tak berapa lama kemudian, kami pamit undur diri seraya berterima kasih kepada beliau. Buya mengaku senang apabila dikunjungi kader-kader muda Muhammadiyah.
Tak lupa saya meminta izin untuk foto bersama beliau, walau dengan mengandalkan kamera tablet Asus Fonepad 7 dengan resolusi kamera 5 Megapixel. Saya berpikir ini kesempatan langka, belum tentu dapat kesempatan lain untuk berfoto bersama beliau.
Guru Bangsa itu Telah Tiada
Pagi menjelang siang, sejumlah grup WA yang saya ikuti, terutama yang berafiliasi dengan Muhammadiyah serentak mewartakan kabar yang sama, Buya telah tiada. Narasi duka itu bersumber dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. Kemudian dengan cepat kabar itu tersebar di dunia maya.
Selamat jalan Buya Syafii, kader Muhammadiyah militan asal Ranah Minang. Semoga kami bisa melanjutkan perjuanganmu dalam berdakwah di bawah payung Persyarikatan.
_____
Safwannur, Alumnus Ponpes Ihyaaussunnah Lhokseumawe dan PUTM Yogyakarta
- Artikel Teropuler -
Buya Syafii dan Proposal yang Tak Dibaca
Safwannur Ahad, 5-6-2022 | - Dilihat: 192

Oleh: Safwannur
Sore itu, Sabtu, 12 September 2015, selepas Asar, sesuai rencana kami mau berkunjung ke rumah Buya Syafii Maarif. Maksud kunjungan itu untuk silaturahmi sekaligus mengajukan proposal kegiatan, walau kami tak yakin bisa bersua langsung dengan Buya sebab kesibukan. Belum lagi sejumlah tamu penting sering menyambangi kediaman beliau.
Kami berangkat menuju rumah Buya di perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman dari asrama Unires UMY. Tak begitu sulit menemukan rumah beliau, sekalipun berada di area perumahan yang cukup luas. Hanya sekali saja menanyakan pada warga sekitar, sampailah di rumah Buya.
Begitu sampai di depan rumah Buya, terlihat beliau membuka jendela kamar saat mendengar suara motor berhenti di depan gerbang rumahnya. Lantas beliau bertanya, “Siapa? Dari mana?”.
Lalu kami memperkenalkan diri dengan menyebutkan thalabah PUTM. Tak berselang lama beliau keluar dengan kostum santai: kaos berkerah dilapisi jaket dengan bawahan celana training.
Buya membuka sendiri gerbang rumah sembari mempersilahkan kami masuk. Dari situ kami belajar, betapa Buya sangat menghargai tamu yang datang berkunjung sekalipun belum beliau kenali tanpa rasa curiga.
Sampai di dalam dan dipersilahkan duduk di sofa tempat Buya biasa menerima tamu, terlebih dahulu kami menanyakan keadaan beliau. Sembari tersenyum beliau menjawab, “Alhamdulillah, saya sehat, ya beginilah sehat-sehatnya orang tua”.
“Anda dari Aceh ya?”, tanya buya setelah mendengar gaya bicara saya.
“Betul buya”, jawab saya.
“Kelihatan dari dari logat Anda”, sambung buya lagi.
Setelah ngobrol sejenak, kami menyampaikan maksud kedatangan seraya menyodorkan satu berkas proposal kegiatan yang akan kami laksanakan kepada beliau.
Buya merespon, "tidak perlu saya baca, saya percaya pada Anda". Kemudian beliau mengeluarkan beberapa lembar rupiah sebagai donasi untuk kegiatan kami.
Tak berapa lama kemudian, kami pamit undur diri seraya berterima kasih kepada beliau. Buya mengaku senang apabila dikunjungi kader-kader muda Muhammadiyah.
Tak lupa saya meminta izin untuk foto bersama beliau, walau dengan mengandalkan kamera tablet Asus Fonepad 7 dengan resolusi kamera 5 Megapixel. Saya berpikir ini kesempatan langka, belum tentu dapat kesempatan lain untuk berfoto bersama beliau.
Guru Bangsa itu Telah Tiada
Pagi menjelang siang, sejumlah grup WA yang saya ikuti, terutama yang berafiliasi dengan Muhammadiyah serentak mewartakan kabar yang sama, Buya telah tiada. Narasi duka itu bersumber dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. Kemudian dengan cepat kabar itu tersebar di dunia maya.
Selamat jalan Buya Syafii, kader Muhammadiyah militan asal Ranah Minang. Semoga kami bisa melanjutkan perjuanganmu dalam berdakwah di bawah payung Persyarikatan.
_____
Safwannur, Alumnus Ponpes Ihyaaussunnah Lhokseumawe dan PUTM Yogyakarta
0 Komentar
Tinggalkan Pesan