Loading Now

Pengalaman Seorang Anak Panah

Pengalaman Seorang Anak Panah - AnakPanah.id

“Kenangan sebagai anak panah takkan terlupakan seumur hidup!”

Di era saya, sistem pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta hanya berlangsung lima tahun setelah tamat SD (saat itu masih bernama Sekolah Rakyat). Saya datang ke Yogyakarta pada tahun 1953 dengan membawa ijazah kelas 3 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Balai Tangah, kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Maksud hati hendak melanjutkan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Tetapi apa daya madrasah ini belum bisa menerima saya karena kabarnya ruang kelas sudah penuh. Selain alasan itu, salah seorang guru mengatakan bahwa kualitas pendidikan di Sumatra berada di bawah Yogyakarta.

Tentu saja saya meradang, padahal sebelumnya saya berkali-kali jadi juara kelas. Peradangan ini memaksa saya putar haluan dengan memasuki kursus montir mobil di Jl. Ngabean (sekarang Jl. Ahmad Dahlan). Untuk praktiknya berlokasi di sebuah bengkel di Wirobrajan. Dalam masa praktik ini, saya harus bergumul dengan mesin mobil bekas.

Perkara pakaian kumuh oleh olie dan tanah, bukan masalah, karena demikian itulah dunia montir. Saya pada akhirnya dalam beberapa bulan bisa merampungkan kursus montir ini dengan sertifikat. Tetapi di mana hilangnya sertifikat kebanggaan itu, saya tidak tahu lagi.

Selanjutnya sebagai seorang tamatan kursus montir ingin pula rasanya berprofesi sebagai sopir. Namun retak tangan mengatakan lain. Atas saran abang sesuku saya M. Sanusi Latief, lebih baik angan-angan untuk jadi sopir tidak diwujudkan. Harus kembali ke Mu’allimin yang sudah bersedia membuka pintu untuk montir yang satu ini. Hanya perlu berkorban beberapa bulan mengulangi kelas tiga.

Apa boleh buat, semuanya saya jalani. Ternyata untuk naik ke kelas 4, saya tidak mengalami kesulitan sampai tamat kelas 5 untuk kemudian ditugaskan sebagai anak panah Persyarikatan di Batuyang, Pohgading, Lombok Timur yang saya jalani selama setahun (1956-1957).

Mengapa harus ke Lombok? Ceritanya begini. Adalah konsul Muhammadiyah NTB Tuan Guru Haji Harist, alumnus Darul Hadist Makkah, mencari guru tamatan Mu’allimin Yogyakarta. Syaratnya mesti berasal dari Sumatera Barat. Hebat, kan?

Ketika itu di madrasah hanya ada dua orang yang berasal dari Minangkabau. Yang satu sudah ditetapkan untuk dikirim ke daerah lain. Maka adalah bagian saya untuk bertugas di Lombok.

Usia saya ketika itu 21 tahun, karena akibat revolusi kemerdekaan pernah “luntang-luntung” selama tiga tahun sampai meneruskan sekolah ke Balai Tangah tahun 1950. Tamat tahun 1953 untuk kemudian ke Yogyakarta seperti cerita di atas.

Oleh pengurus Muhammadiyah Batuyang dan Pohgading, di samping mengajar di PGA Muhammadiyah, saya juga jadi muballigh dengan bekal ilmu seadanya. Di antara tugas saya adalah jadi khatib Jum’at pada dua masjid di sana. Tentu untuk sekadar berkhutbah, tidaklah terlalu canggung, karena sedikit sudah dilatih di masjid Mu’allimin Yogyakarta.

Saya tidak tahu bagaimana penilaian masyarakat terhadap khutbah yang saya sampaikan. Yang jelas selama di Lombok, saya telah berkhutbah dan bertabligh berkali-kali. Terasa hubungan dengan anggota masyarakat setempat cukup akrab, penuh rasa persaudaraan.

Akhirnya, baik juga direkamkan sekilas tentang “ma’isyah” sehari-hari saya di desa kecil itu. Tampaknya untuk keperluan harian saya dipungut dari iuran sukarela dari warga Muhammadiyah setempat.

Saya tinggal di samping rumah Tuan Guru Haris yang pakar hadis itu. Ketua ranting ketika itu adalah Pak Subki, adik kandung konsul Muhammadiyah. Masakan Lombok yang serba pedas sesuai dengan lidah Minang saya. Kenangan sebagai anak panah takkan terlupakan seumur hidup!

(Repost Anak Panah 2020)

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech