Menikah di Usia Ideal
Sepasang pengantin datang untuk mendaftarkan pernikahannya. Berkas telah melalui pemeriksaan. Namun oleh KUA pengantin tersebut ditolak karena calon pengantin perempuan masih berusia di bawah 19 tahun. Pernikahan tetap dapat dilaksanakan setelah calon pengantin tersebut mendapatkan penetapan dispensasi umur dari Pengadilan Agama.
Di waktu yang lain, datang sepasang pengantin yang sudah berkepala empat, dengan status belum kawin dan janda. Tidak hanya sekali. Di KUA, saya menemukan calon pengantin dengan dimensi usia yang beragam. Mulai dari belasan, hingga seorang kakek berusia 100 tahun yang menikah untuk kedua kalinya, karena ditinggal wafat isteri pertamanya.
Dari sekian usia tersebut, di usia berapa seseorang dikatakan ideal untuk menikah?
****
Konstitusi kita mengatur usia minimal menikah adalah 19 tahun, di bawah itu diizinkan dengan dispensasi dari Pengadilan Agama. BKKBN mengatur usia ideal menikah adalah 21 bagi perempuan, dan 25 bagi laki-laki. Di usia tersebut umumnya seseorang dianggap telah siap secara fisik dan mental. Program dari BKKBN ini dinamakan Pendewasaan Usia Perkawinan.
Tapi, apakah pernikahan di usia tersebut adalah yang paling ideal? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Karena bicara tentang idealitas, akan berkelindan dengan kesiapan. Dan tentang kesiapan ini pun sifatnya relatif. Sedangkan menikah bukan menunggu siap, tapi disiapkan!
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang memiliki tujuan jelas. Bagi saya, tujuan paling mendasar dari pernikahan adalah supaya kita dan pasangan kita bisa lebih dekat sama Allah SWT. Tujuan selanjutnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan kita.
Jadi, untuk menuju ke tujuan tersebut rasanya akan sulit untuk menentukan berapa usia yang ideal, semua kembali kepada pribadi masing-masing. Karena kebahagiaan dengan pasangan dan kesadaran diri untuk dekat dengan Allah akan sulit ditakar dengan usia.
Seorang anak yang besar di pedesaan, jika dibandingkan dengan anak yang setiap hari menghirup asap knalpot di lingkungan industri perkotaan, akan kita dapati perbedaan dalam banyak hal. Mulai dari cara memandang kehidupan, tata krama dalam bermasyarakat, termasuk dalam penentuan kapan waktunya menikah.
Hiruk pikuk perkotaan seringkali menciptakan manusia yang gila kerja. Akibatnya, karir dan puncak kesuksesan menjadi prioritas tertinggi dalam hierarki kehidupan pribadinya. Pernikahan menjadi nomor sekian. Banyak sekali faktornya. Salah satunya karena kekhawatiran kesuksesan karir yang sudah dirintis perlahan mulai terkikis. Atau melihat pasangan suami istri yang menikah, dengan segala keruwetan masalah yang akhirnya membuat meraka harus berpisah.
Lain cerita dengan kisah beberapa pemuda di pedesaan. Mereka yang masih aktif menggarap sawah dengan orangtuanya setelah lepas sekolah. Yang lain merantau ke luar kota demi menyambung hidup dengan bekal ijazah SD, SMP, dan restu dari ibu bapaknya di kampung.
Setelah cukup mengumpulkan bekal materi, atau orangtua sudah meminta segera menikah, maka sebagian besar akan menurut sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan. Tentang kesiapan mental dan pengetahuan pasca menikah? Bisa dilakukan sambil berjalan.
Jika boleh saya kerucutkan, maka orang-orang yang belum menikah pasti memiliki alasan dan pertimbangan tersendiri, terlepas berapapun usia mereka saat ini. Begitu pula yang memutuskan untuk menikah di usia yang masih belia. Mereka punya satu juta alasan yang tidak bisa kita hakimi dengan kacamata tunggal dari diri kita.
Kata Nabi SAW, “Wahai pemuda, apabila kamu telah sanggup dan siap untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan kehormatan. Barangsiapa yang belum sanggup dan siap menikah, ia perbanyak puasa, karena puasa itu ibarat perisai dari kemaksiatan.”
Hadits ini menguatkan kita bagi siapa yang sudah ingin menikah, dan merasa sudah mampu, maka siapkan dirimu untuk menjemput pernikahan. Daripada terjerumus ke liang dosa, selama keyakinan sudah tertancap, dan sudah menemukan pasangan yang kamu rasa tepat untuk mendampingi, menikahlah dengan segera, di usia berapapun kamu.
Apakah kemudian saya merekomendasikan pernikahan dini? Tentu saja tidak. Dengan tidak adanya batas usia ideal ini bukan berarti saya merekomendasikan pernikahan dini. Karena menikah muda boleh saja, selama bekal sudah cukup. Dan salah satu bekal utama adalah tentang kesiapan fisik dan mental. Berupa pengetahuan dan kemampuan mengelola emosi.
Tapi, bukankah tujuan menikah juga untuk melanjutkan keturunan, dan kehamilan itu juga ada rentang usia terbaiknya?
Sepakat. Secara medis, kehamilan ada usia idealnya, tidak terlalu dini dan tidak terlalu lanjut. Kalo menikah karena ingin cepat hamil, maka menikahlah di usia yang ideal untuk hamil. Tapi perlu diingat, kehamilan adalah urusan langit. Kita manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Allah yang paling tahu kapan kita siap untuk menjadi orangtua.
Kalo kita terdoktrin usia nikah adalah sekian, dan di usia itu kita belum bisa menyiapkan, akhirnya kita menikah karena tekanan lingkungan sekitar, maka pernikahan itu berpotensi menjadi madharat untuk kita dan pasangan kita. Bahkan pernikahan yang tidak berlandaskan tujuan agar bahagia dengan pasangan, serta sebagai upaya lebih dekat dengan Allah adalah pernikahan yang sia-sia belaka.
Jadi, tetaplah bersabar dalam segala proses, menanti dengan ikhtiar dan doa yang tak putus, dan paling penting siapkan semua bekal untuk menuju ke sana. Dengan semua itu, InsyaAllah, Allah SWT Dzat yang Maha mencintai, sudah menyiapkan kejutan berupa takdir yang terbaik.
Bagi yang sudah menikah, memahami pasangan adalah kunci. Bukan begitu? Karena ya menikah itu bukan menjadi orang lain, tapi menjadi diri kita dengan versi yang lebih baik dari sebelumnya. Lebih baik dari hari ke hari, pekan ke pekan, tahun demi tahun, hingga ajal memisahkan.
****
Dengan pergerakan dunia yang semakin cepat dan seringkali berada di luar jangkauan kita, menentukan target capaian kehidupan menjadi cukup penting untuk dilakukan. Termasuk urusan menikah, mengatur target akan memicu langkah kita dalam persiapan menuju pelaminan. Jika tercapai kita bersyukur. Jika meleset, jangan putus arah dan hilang harapan.
Dan bagi manusia yang tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sudah kepala tiga, empat, lima, kok belum menikah?” atau “Masih bocil, sekolah aja belum lulus kok malah nikah. Mau dikasih makan apa?” Saya sarankan untuk dapat menahannya. Karena saat ini, model pertanyaan begitu adalah jenis pertanyaan amoral. Dan mencampuri urusan orang lain sama dengan membuka peluang sifat hasad dan dengki merasuki diri.
_____
Mohammad Wildan Kurniawan, penulis tinggal di Kroya Cilacap.
Post Comment