Membudayakan Untuk Tidak Menilai dari Sampulnya
Ketika pertama kali bekerja di lembaga kepenjaraan saya merasa sangat bingung dan khawatir. Sama seperti sebagian orang, saya pun awalnya sering menganggap narapidana penghuni penjara itu seram. Mereka cenderung memiliki wajah yang garang serta tatto di badan, sehingga menambah kesan sangar bagi orang-orang yang melihat.
Belum lagi kasus pidana yang telah mereka lakukan, membuat orang-orang, termasuk saya (ketika belum bekerja di lembaga kepenjaraan), cukup menjaga jarak dengan mereka. Tetapi setelah saya sering berinteraksi dengan mereka kesan sangar, seram, dan kejam malah tidak saya temui.
Entah karena sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang selalu bertemu para Narapidana atau memang kondisi di dalam penjara yang membuat mereka tampak lebih kalem dan santuy. Tetapi bisa juga karakter Narapidana memang ada yang tidak seperti bayangan kita selama ini.
Pernah suatu waktu saya mengurusi kasus pembunuhan. Kalau melihat kronologi perkaranya bisa membuat bulu kuduk merinding. Tidak terbayang kok bisa seorang manusia bisa melakukan hal seperti itu. Tetapi yang membuat saya lebih terheran-heran karena pelakunya tidak seperti tokoh-tokoh kriminal yang sering digambarkan dalam film-film.
Orangnya memiliki fisik yang tidak besar, perawakannya kurus dan kalem (cenderung pendiam) . Lalu usianya juga sudah cukup tua. Benar-benar tidak tampak seperti orang yang akan melakukan pembunuhan.
Di waktu lain saya juga pernah menangani Narapidana dengan kondisi fisik yang merepresentasikan dari tokoh kriminal yang sering ada di benak saya. Badannya gede, tatto-an, ada luka di wajahnya, benar-benar paket lengkap. Tetapi ternyata orangnya tidak seseram seperti bayangan saya. Bahkan tergolong ramah dan lucu.
Ketika bertemu dengan saya sikapnya sopan dan santun, entah karena saya berseragam atau memang kepribadiannya seperti itu. Begitu pula dengan kasusnya, tidak sesangar Napi yang saya ceritakan sebelumnya. Kasusnya terkait dengan uang palsu. Bukan meremehkan, tetapi kalau di Penjara tipe kasus seperti ini termasuk golongan yang berada di level bawah tingkat kesangarannya. Memang yah yang palsu-palsu itu sering membuat nelangsa.
Kembali lagi ke poin utama, ternyata budaya melihat sifat seseorang itu baik atau buruk berdasarkan covernya saja sudah sangat melekat di masyarakat. Imbasnya di era teknologi ini, budaya melihat orang dari kulitnya (apa yang tampak oleh mata) ditelan mentah-mentah dan berimplikasi pada budaya saling berpecah belah.
Sebagai contoh, dahulu nama awkarin sangat dicap buruk oleh netizen karena menaiki kuda dan topeng dengan pakaian yang terbuka. Para netizen menghujat, bahkan melabeli sebagai orang yang teramat buruk. Padahal saat ramai aksi-aksi mahasiswa pada september 2019 lalu, dia melakukan hal yang sangat bermanfaat dengan memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran. Belum lagi sikap-sikap manusiawi yang pernah ia lakukan saat pandemi Covid-19Covid-19 seperti saat ini.
Lalu sebaliknya, ketika orang yang memakai baju atau simbol yang identik dengan pelaksanaan agama dianggap suci seperti malaikat. Padahal dia sedang menghancurkan rasa kemanusian dengan berlaku kasar dan keras kepada orang-orang yang berbeda pendapat dan tata cara beribadah. Sekali lagi, apa yang tampak belum tentu mencerminkan sifat dan karakter seseorang.
Menurut saya, memberi label pada seseorang karena penampilan terasa kurang tepat. Karena penampilan tidak selalu menampakan karakter atau sikap seseorang. Saya juga punya pengalaman yang tidak enak ketika dijudge karena penampilan dan fisik. Ketika masa sekolah dahulu, ada senior yang jengkel kepada saya karena dianggap menantangnya. Padahal ya memang kondisi fisik saya yang memiliki bola mata cukup besar.
Sungguh tidak enak jika orang menyimpulkan hanya sebatas penilaian karena fisik dan penampilan. Masak di Negara sebesar Indonesia ini yang katanya sangat menjunjung tinggi nilai budaya dan kearifan lokal masih ada yang menilai seseorang dari luarnya saja?. Ya seharusnya sudah semakin berkurang dan tidak ada. Seharusnya loh ya.
Tetapi kenyataannya ya masih banyak yang seperti itu. Baik di dunia nyata maupun maya fenomena menilai orang dari luarnya saja masih cukup digemari bahkan diproduksi. Parahnya lagi bisa saling mencemooh, bertikai hingga bercerai berai karena hal seperti itu.
Baik dari pengalaman saya yang pernah dinilai dari penampilannya, maupun pengalaman saat bekerja di penjara, bersikap untuk tidak menilai baik buruk seseorang dari penampilan fisiknya saja itu menandakan kemajuan kita dalam berfikir dan berbudaya sebagai bangsa yang berideologi Pancasila.
Wallahua’lam bisshawwab.
(Repost Anak Panah 2020)
Post Comment