Loading Now

Kamila Biruna

Kamila Biruna, gadis berumur sebelas tahun yang tengah menduduki bangku kelas enam SD Negeri Banyumanik 01. Ia adalah murid yang susah diatur, nakal, suka berkelahi, jarang mengerjakan PR dan sering sekali terlambat ke sekolah. Seperti hari ini, untuk yang kesekian kalinya Kamila terlambat ke sekolah hingga ia terkunci di depan gerbang. “Telat Mil?”, tanya seorang penjual cimol di depan gerbang sekolahnya.

“Iya mas, ga jelas banget jam setengah delapan udah ditutup!”, gerutunya sembari menghentak-hentakkan sepatu ke tanah. “Lagian kamu berangkat jam segini, besok lagi jam setengah tujuh biar gak ditutup gerbangnya”, jawab si penjual cimol. “Ya kan aku bangunnya jam segini”, katanya dengan nada rendah. Sang penjual pun hanya terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah gerbang dibuka, Kamila pun harus menemui gurunya untuk meminta hukuman. Bukan sekali dua kali, bahkan setiap hari ia harus menemui guru yang sama karena alasan yang sama pula, terlambat atau kadang berkelahi. “Kamu telat lagi?”, interogasi sang guru. “Iya pak, saya telat bangun pak”, Kamila menunduk, takut pada mata gurunya yang menatapnya tajam.

“Bangun telat kok setiap hari, kamu sudah kelas enam Kamila, sebentar lagi Ujian Nasional, kamu harus perbaiki nilai kamu biar bisa masuk SMP Negeri favoritmu, jangan nakal! kamu itu anak perempuan! dengerin apa yang saya bilang! jangan diulang! dan saya tidak mau kamu dihukum lagi! mengerti?”. Kamila mengangguk, ia bersyukur kali ini gurunya tidak menghukum dan malah membebaskannya.

Sesampainya di kelas, ia meminta maaf pada bu Layla yang kebetulan sedang ada jam mengajar di kelasnya, kemudian ia segera duduk dibangku bagian belakang. Pelajaran berlangsung, awalnya Kamila bertekad untuk berubah menjadi lebih baik, ia mendengarkan pelajaran dengan seksama, akan tetapi karena terlalu fokus mendengarkan ia pun mengantuk dan tertidur.

TUK!! Sebuah spidol terlempar tepat ke arahnya, dan panggilan bu Layla seketika mampu membangunkannya dari alam mimpi. “Kamila! berdiri kamu!”, teriak bu Layla. Kamila bangkit dan melangkah mendekat ke arah gurunya. Bu Layla menarik telinganya sejenak, beliau memerintahkan Kamila melakukan hal yang sama dan berdiri di samping papan tulis selama lima menit. Kamila menurut dan menjalani hukumannya.

Begitulah setiap hari, Kamila melanggar dan gurunya menghukumnya. Siklus yang selalu berulang demikian, seperti tiada hari tanpa hukuman dari guru-gurunya, dan tiada hari tanpa pelanggaran.

*****

Suatu hari dibulan Maret, Ibu Kamila memanggilnya dari arah ruang tamu. “Kamila sini nak, ibu mau ngomong sama kamu”, teriak ibunya. Kamila yang berada di kamar langsung berjalan mendekati ibunya yang tengah menjahit seragam olahraga miliknya.

“Kenapa bu?”, tanya Kamila yang kemudian duduk di samping ibunya. “Kamu masuk pondok ya nak, biar bisa baca al-Qur’an, biar bisa jadi ustadzah”, ibu membelai rambut panjangnya yang tergerai rapi. Kamila berfikir sejenak, memikirkan tentang betapa mengerikannya dunia pesantren.

Dalam benaknya, ia mengira bahwa pesantren hanya akan menyiksanya, dan dalam hatinya ia merasa dibuang oleh ibunya. “Ibu mau buang aku?”, ucap Kamila tiba-tiba. Ibunya pun terkejut dengan penuturan putrinya.

“Ibu gak buang kamu nak… di pondok itu enak banyak temennya, bisa jadi ustadzah, jadi guru juga, lihat tantemu yang di pondok, lulusnya kan jadi ustadzah terkenal to? nah kamu ngga mau seperti itu?”, nasihat ibunya kemudian. Kamila mengangguk pasrah, lagipula benar, tantenya sudah menjadi seorang ahli agama yang baik. Kamila juga tidak bisa menolak karena ia adalah anak pertama dan menjadi harapan kedua orang tua.

Sejak saat itu, setiap hari Kamila jalani dengan penuh perenungan, merenungi nasibnya Ketika di pondok nanti. Ia juga sudah didaftarkan di tiga pondok pesantren, tapi semuanya tertolak, hingga suatu ketika ada satu pesantren yang menerimanya.

“Saya harap anak ibu bisa menjadi santri didik yang baik dan berprestasi”, ucap seorang ustadzah yang wajahnya tertutup niqab. “Āmīn bu ustadzah, saya titip Kamila ya ustadzah”, jawab ibunya.

“Kamila sini peluk ibuk”, Kamila berlari memeluk ibunya dan menumpahkan tangis yang sudah ditahannya sejak tadi, ia sedih karena akan berpisah dengan ibunya untuk tiga bulan kedepan.

Kamila menangis dalam diam melihat kepergian ibunya ditelan kerumunan wali-wali santri lainnya. Ustadzah pun mengiringinya masuk ke dalam kamar, memberinya motivasi hingga Kamila merasa lebih tenang.

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech