Loading Now

Iri yang Positif

Iri yang Positif - AnakPanah.id

Rasulullah Saw. sebagai sosok teladan umat dan sebaik-baik insan di dunia memperbolehkan sifat iri hati terhadap hal tertentu. Mayoritas masyarakat Muslim Indonesia bahkan dunia beranggapan bahwa iri hati/ hasad adalah sifat tercela dan dilarang oleh agama Islam, padahal ada jenis iri tertentu yang diperbolehkan. Syarat diperbolehkannya iri ada dalam teks berikut:

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Isma’il] berkata, telah menceritakan kepada saya [Qais] dari [Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu] berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain). (HR.Buhkori)”.

Hadis tersebut memuat pesan tentang iri yang diperbolehkan dan justru akan membawa dampak yang positif bagi kehidupan masing-masing.

Saat perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan para Sahabat untuk bersedekah. Mendengar seruan tersebut, Sahabat Utsman bin Affan yang tadinya berniat untuk berniaga mengurungkan niatnya dan mensedekahkan seluruh barang dagangannya sebagai tambahan bekal kaum muslimin dalam berjihad fi sabilillah.

Bahkan Sahabat Utsman bin Affan menambahkan sedekahnya dengan 100 ekor unta yang penuh dengan muatan dan 1000 dinar emas. Tidak berhenti sampai disitu, ternyata Utsman menambah jumlah sedekahnya dengan 100 ekor kuda, 900 ekor unta beserta muatannya dan beberapa jumlah uang emas dan perak yang ia serahkan kepada Rasulullah Saw.

Ketika para sahabat lain melihat apa yang dilakukan Utsman, mereka merasa iri dan terketuk hatinya untuk turut mensedekahkan juga hartanya untuk kebutuhan agama. Abdurrahman bin Auf, Umar bin Khattab,Abbas bin Abdul Muthalib, Thalhah bin Ubaidillah,Sa’ad Ibnu Ubadah,Ashim bin Ady dan lain-lain. Bahkan pada kesempatan itu Sahabat Abu Bakar Ash -Shidiq ra. mensedekahkan seluruh hartanya tanpa menyisakan sedikit pun hartanya untuk keluarganya, kecuali Allah swt. dan Rasul-Nya.

Lain kisah dengan seorang pemuda yang suatu saat menempuh pendidikan pesantren di pesisir Jawa. Ia adalah seorang santri yang kasar dan berperangai buruk. Tak pernah ia merasa senang jika melihat kawannya memiliki apa yang tidak ia miliki. Hingga suatu saat ia datang menemui gurunya seraya berkata, “Wahai guru, saya merasakan kehidupan ini sangatlah hampa, semakin banyak keinginan yang saya turuti , semakin bertambah banyak pula keinginan baru yang harus saya turuti. Sedangkan saya melihatmu, sangat tenang menghadapi kehidupan,seakan-akan hidup dan matimu telah terjamin”.

Sang guru pun tersenyum sembari menatap wajah santrinya itu dengan lembut.“Wahai guru, mengapa engkau tersenyum?, berilah aku satu dua nasihat agar aku bisa menjalani hidup ini dengan tenang”, ucapnya. “Berlemah lembutlah terhadap makhluk Allah dan jauhilah sifat iri”, sang guru menjawab pertanyaan santrinya dengan tenang. “Apakah itu terlalu berat wahai guru?”. Murid itu merasakan keberatan dengan dua syarat yang diajukan oleh gurunya.

Lagi-lagi sang guru tersenyum melihat mimik santri yang keberatan dengan 2 syarat yang ia ajukan. “Baiklah kalau itu maumu, saya akan tetap memerintahkanmu untuk berlemah lembut terhadap makhluk Allah, dan saya memperbolehkanmu untuk bersifat iri terhadap siapapun”. “Benarkan itu wahai guru?”. Tanya santrinya dengan muka berbinar. “Tentu saja benar, dengan catatan kau hanya boleh bersifat iri dalam kebaikan, terkhusus dalam hal ibadah.” “Baiklah guru, saya akan berusaha melaksanakan wasiat guru dengan baik”.

Kemudian ia kembali melaksanakan aktifitas hariannya di pesantren. Berselang beberapa bulan ia dinobatkan menjadi santri terbaik di pesantrennya, teman-temannya pun terheran dengan pencapaiannya yang tidak pernah disangka-sangka. Mereka bertanya, “Apa rahasiamu bisa medapatkan prestasi yang gemilang?”.

Santri menjawab, saya melaksanakan nasihat guru dengan baik. Terlebih ketika melaksanakan suatu nasihat, yaitu saat diberbolehkan bersifat iri, saya merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang bernilai positif, bahkan saya merasa harus bisa melampaui dari apa yang mereka perbuat.” “Memang bersifat iri diperbolehkan?” mereka kembali terheran bertanya. “Boleh, sangat diperbolehkan, selama itu dalam kebaikan”, tegasnya.

Dari dua hadis di atas, kita dapat mengambil ibrah bahwa iri tidak sepenuhnya dilarang dalam Islam. Jika managemen iri dapat dilakukan dengan baik, ia akan membawa dampat positif dalam kehidupan, di antaranya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan.

Referensi:

Al-Bukhari. Muhammad Bin Ismail. Al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah Sallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Beirut. Darr kutub Al-Islamiyyah

Al-Mubarakfuri.Shafiyyurahman.2020. Ar-rahiq Al-Makhtum. Sirah Nabawiyah , Sejarah Hidup Rasulullah saw. dari Lahir Hingga Wafat. Sukoharjo. Insan Kamil Press

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech