Behel dalam Pandangan Kesehatan dan Hukum Islam
Perkembangan zaman yang pesat di era sekarang bukan hanya pada aspek teknologi, melainkan juga pada aspek kecantikan. Tidak heran, pada zaman sekarang banyak anak muda sangat memperhatikan penampilannya. Terlebih keinginan mereka untuk mempercantik dirinya.
Anak muda biasanya rela mengeluarkan uang yang banyak untuk kecantikannya. Mulai dari memperbaiki sampai merubah bentuk tubuh yang sudah ada untuk kepuasan diri. Salah satunya mengubah bentuk gigi dengan trend behel saat ini. Kebutuhan behel yang awalnya untuk kesehatan, kini berubah menjadi trend dan gaya hidup.
Behel dalam dunia kesehatan
Behel atau kawat gigi adalah alat berupa kawat yang dipasang di gigi dengan memberikan tekanan pada gigi secara perlahan sehingga gigi bisa bergerak ke arah posisi yang diinginkan. Behel menurut kesehatan memiliki berbagai manfaat diantaranya bisa membantu menyelaraskan rahang ke bentuk normal. Hal ini bermanfaat agar gigi bisa memaksimalkan proses pengunyahan.
Selain itu, behel juga digunakan untuk merapikan gigi supaya memiliki bentuk senyum yang indah. Inilah tujuan yang biasanya diinginkan anak muda dalam hal kecantikan. Akan tetapi, pemakaian behel juga memiliki beberapa risiko.
Beberapa risiko tersebut yaitu menimbulkan rasa tidak nyaman pada mulut, karena penggunaan behel pada awal pemakaian biasanya menyebabkan lecet pada dinding-dinding mulut. Untuk menormalkan posisi gigi juga tentunya membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga pengguna harus sabar dalam melihat hasilnya.
Selain itu, penggunaan behel bisa menyebabkan gigi menguning, apabila tidak disiplin merawatnya. Maka dari itu, memakai kawat gigi atau behel diperlukan ketekunan baik dalam merawat maupun membersihkan plak-plak yang menempel di gigi.
Behel dalam Hukum Islam
Manusia adalah makhluk paling sempurna, maka dari itu kita tidak boleh menambahi ataupun mengurangi sesuatu yang sudah ada dalam tubuh kita. Iblis sangat ingin manusia ingkar, salah satunya dengan mengajak manusia agar tidak mensyukuri tubuhnya dan berusaha mengubahnya. Hukum mengubah bentuk tubuh adalah haram.
Akan tetapi, hukum haram ini tidak berlaku apabila manusia mengalami cacat atau bentuk tubuhnya tidak normal kemudian ia ingin menormalkan bentuk tubuhnya. Jadi, hal yang diperbolehkan adalah menormalkan sesuatu yang sebelumnya tidak normal, bukan mengubah atau memperbaiki sesuatu yang sebelumnya memang sudah normal.
Dalilnya yaitu sebagaimana dikisahkan dalam hadits Abu Dawud. Pada saat itu sahabat rasul, yaitu Arfajah bin As’ad sedang berada dalam peperangan dan hidungnya terkena tebasan pedang dan terputus. Kemudian Arfajah bertanya kepada rasul apakah boleh untuk menambal hidung tersebut.
Ternyata rasul membolehkan menambal hidung tersebut. Kemudian rasul memerintahkan Arfajah untuk menambal hidungnya dengan perak. Setelah beberapa waktu, ternyata tambalan ini menyebabkan hidungnya bernanah. Kemudian rasul memerintahkan untuk mengganti tambalan itu dengan emas.
Ternyata emas adalah unsur yang paling cocok dengan tubuh sehingga tidak menimbulkan luka. Dan kemudian jadilah Arfajah manusia berhidung emas. Hal ini bisa disamakan dengan kasus behel atau operasi plastik di masa sekarang.
Untuk kasus ini para ulama sepakat membolehkan mengenakan behel apabila penderita mengalami cacat atau bentuk gigi yang abnormal. Akan tetapi, hukum ini berubah menjadi haram apabila memakai behel untuk tujuan mengubah dan mempercantik penampilan.
Kesimpulannya kita sebagai umat muslim sangat ditekankan untuk memperbaiki penampilan dan sudah menjadi keharusan untuk memperhatikan penampilan. Kita juga harus mensyukuri tubuh dengan merawat kesehatan diri kita.
Akan tetapi, arti mensyukuri disini adalah mensyukuri apa yang diberikan Allah dengan tidak memperbaiki hingga mengubah apa yang sudah menjadi bagian normal dari tubuh kita.
Jadi, sebagai umat muslim kita harus bisa bijaksana dalam memilih mana yang boleh dan dilarang dalam aturan syariat kita, jangan sampai karena hal sepele bisa menjerumuskan kita ke dalam neraka. Naudzubillahi min dzalik.
_____
Nurul Khoiriyah Mawardi, Mahasiswi Universitas Islam Indonesia
Post Comment