Loading Now

Anak Panah Kemanusiaan

Anak Panah Kemanusiaan - AnakPanah.id

Pak Mawardi dengan kharismanya yang sangat kuat berpesan, “Masyarakat itu, Nak, tanggung jawabmu”.

Menjadi anak panah adalah sebuah panggilan. Berawal dari nasihat direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta kala itu. Ya, Pak Mawardi, dengan kharismanya yang sangat kuat berpesan, “Masyarakat itu, Nak, tanggung jawabmu”. Pesan yang terus terngiang dalam ingatan. Mungkin pesan itulah salah satu energi yang hingga kini terus menggelegak di kalangan para muridnya. Ingin memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

Belakangan penulis baru paham, itulah yang disebut perilaku prososial. Psikolog sosial berpendapat, pada dasarnya setiap perilaku berorientasi pada tujuan. Ini berarti, pada umumnya suatu perilaku dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu, meskipun tidak selalu secara sadar pelakunya mengetaui tujuannya secara spesifik. Prososial sendiri dapat diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan untuk menolong orang lain (Passer & Smith, 2007).

Oleh karena itu, perilaku prososial dipahami sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut. Terdapat semacam niatan tulus dalam perilaku menolong ini.

Dengan demikian, perilaku menolong yang bersifat transaksional tidak dapat dimasukkan ke dalam perilaku prososial. Misalnya, perilau menolong pendukung partai politik tertentu yang beramai-ramai menjadi relawan dengan kaos dan bendera partainya untuk “membantu” korban bencana banjir, tanah longsor atau letusan gunung berapi dengan maksud “kampanye” terselubung.

Perilaku Prososial

Dalam perilaku prososial terdapat maksud untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik. Berbagai upaya yang dilakukan untuk meringankan beban, memperbaiki keadaan orang lain yang membutuhkan pertolongan dapat digolongkan sebagai perilaku prososial.

Dapat dikatakan, tingkah laku prososial menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain yang dibantu. Bentuk dari perilaku prososial ini dapat beraneka ragam, mulai dari menyumbang, mendampingi, memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan berbagai langkah kedermawanan, mempererat persahabatan, kerja sama yang saling menguatkan, menolong korban, menyelamatkan orang lain tanpa diminta, sampai mengorbankan diri untuk orang lain.

Perilaku prososial juga mencakup tindakan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi orang lain, seperti berbagi, menghibur, memuji prestasi orang lain untuk menyenangnan hatinya, sampai menolong orang lain dalam mencapai tujuannya.

Dengan kata lain, perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan kebahagiaan orang lain, dikarenakan seseorang yang melakukan tindakan prososial turut mensejahterakan kehidupan penerima bantuan. Orang sering mempertukarkan istilah prososial dengan altruism.

Memang istilah altruisme sering digunakan secara bergantian dengan prososial, tapi sebenarnya altruisme merupakan hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri, melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron & Byrne, 2000).

Altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan ses- eorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapakan imbalan apapun, kecuali mungkin perasaan puas telah melakukan kebaikan.

Namun menurut Faturochman (2006), pengertian perilaku prososial sedikit berbeda dengan altruisme, karena lebih menekankan pada adanya keuntungan pada pihak yang diberi pertolongan. Dengan demikian, perilaku prososial tidak lain adalah perilaku memberikan manfaat kepada orang lain dengan membantu meringankan beban fisik atau psikologinya, yang dilakukan secara sukarela.

Jenis Perilaku Prososial

Sebetulnya terdapat banyak jenis perilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari. Menolong misalnya, yaitu aktivitas individu atau kelompok untuk membantu orang lain dengan cara meringankan beban penderitaan dan kesukaran fisik atau psikologi orang yang dibantu. Menolong dilakukan dengan kerelaan hati, yang dipikirkan subjek hanyalah bagaimana orang yang ditolong dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.

Aktivitas demikian tidak hanya bermanfaat bagi yang dibantu, namun sebenarnya juga bagi yang membantu. Bagi yang dibantu, masalahnya dapat terselesaikan, atau setidaknya dapat terkurangi bebannya. Adapaun bagi penolong, terdapat semacam kepuasan batin dapat membantu orang lain keluar dari persoalan yang melilitnya.

Jenis lain dari perilaku prososial adalah berbagi. Berbagi ini dapat dalam bentuk yang kasat mata, seperti uang, barang, dan berbagai jenis bantuan fisik lainnya, sampai yang berwujud non-fisik, yaitu berbagi rasa. Dilihat dari perspektif ini, tinggi rendahnya perilaku prososial dapat dilihat dari besar kecilnya kesedian orang untuk berbagi dari apa yang dimiliki, untuk orang lain yang lebih membutuhkan.

Adapapun berbagai rasa bentuknya dapat berupa kesediaan individu untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, mendengarkan keluhan orang lain. Dengan rasa empati yang tinggi orang dapat menggunakan perasaannya seolah-oleh berada dalam situasi orang lain.

Individu didorong oleh emosinya seperti ikut mengambil bagian dalam “kehidupan” orang lain. Berbagai aktivitas demikian tentu sangat dirasakan manfaatnya bagi kedua belah pihak, penolong dan yang ditolong.

Kerja sama merupakan jenis berikutnya dari perilaku prososial. Kerja sama tidak lain adalah aktivitas melakukan pekerjaan, kegiatan atau usaha oleh beberapa orang (badan, lembaga) secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama pula. Kerja sama ini dapat dilakukan pada level individu maupun kelompok.

Aktivitas demikian memungkinkan semua pihak yang terkait dapat saling memperkuat daya kemam- puan, sehingga menghasilkan kinerja yang lebih optimal. Di era modern, aktivitas pekerjaan yang stand alone cenderung digan- tikan oleh berbagai bentuk kerja sama atau aliansi.

Sinergi antar pribadi maupun kelompok, yang dilakukan dengan membangun kerja sama harmonis, akan melahirkan berbagai kemajuan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya: in harmonia progressio.

Jenis berikutnya dari perilaku prososial adalah menyumbang. Menyumbang, yang dalam bahasa Indonesia berarti berlaku murah hati kepada orang lain, ikut menyokong dengan tenaga dan pikiran, memberikan sesuatu kepada orang yang sedang tertimpa musibah, merupakan perilaku prososial yang sering terlihat dalam kehidupan masyarakat. Pada masyarakat Indonesia yang dikenal guyup, menyumbang seolah menjadi ritual wajib.

Bahkan, dalalam budaya tertentu di republik ini, menyumbang diyakini sebagai upaya tolak balak, yaitu laku “spiritual” yang dapat menjauhkan pelakunya dari marabahaya. Dalam bahasa Agama, menyumbang menjadi salah satu tolok ukur kesalehan sosial pelaku.

Memperhatikan kesejahteraan orang lain juga termasuk jenis dari perilaku prososial. Hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri merupakan ciri orang yang perilaku prososialnya tinggi. Sebaliknya, semakin tidak peduli seseorang terhadap kesejahteraan orang lain menunjukkan rendahnya perilaku prososial yang bersangkutan.

Pada masyarakat urban yang kosmopolit, seperti yang terlihat di kota-kota besar, nampak menipisnya kepedulian orang terhadap kesejahteraan orang lain. Pada masyarakat individualistis seperti ini kesenjangan antara kaya-miskin biasanya akan tampat sangat menyolok.

Pada gilirannya, jika kesenjangan sosial-ekonomi sudah sedemikian parah, tinggal tunggu waktu munculnya berbagai persoalan sosial, yang dalam dosis tertentu akan dapat menjelma menjadi kerusuhan sosial.

Harapan

Sejak diri anak perlu dibiasakan dengan nilai-nilai prososial. Urgensi pengasuhan yang dapat menumbuhkan perilaku prososial semakin meningkat di tengah kepungan faktor-faktor situasional yang sulit dikendalikan. Dengan kuatnya nilai-nilai internal diharapkan anak tidak terlalu tergantung pada situasi-situasi eksternal, dan lebih yakin dengan standar-standar internal perilakunya sendiri.

Anak akan memiliki kontrol internal yang baik jika dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan orangtua yang penuh kehangatan dan cinta. Bukan dididik dengan hukuman-hukuman fisik yang keras. Terdapat pola interaksi yang krusial antara orangtua dan anak. Anak yang altruistik ternyata dibesarkan oleh orangtua yang juga altruistik. Oleh karena itu, orangtua perlu menjadi model yang baik bagi anak-anaknya.

Baron dan Byrne (2000) menyarankan perlunya mengurangi ambiguitas lingkungan dan mengajarkan perilaku bertanggung jawab. Penelitian menunjukkan bahwa keengganan orang untuk menolong salah satunya karena ambiguitas situasi. Ketidakjelasan apa yang sebenarnya terjadi seringkali menyebabkan pemerhati gagal mengerti bahwa baru saja telah terjadi keadaan darurat yang memerlukan pertolongan.

Oleh karena itu, lewat pendidikan dan pelatihan, siswa perlu diajari misalnya dengan berbagai simulasi kedaruratan dan kebencanaan agar mereka lebih sensitif dan tidak takut salah dalam memberikan respons yang semestinya. Di sekolah siswa perlu diberi kesempatan yang lebih luas untuk berinteraksi secara positif.

Para pendukung perspektif sosialisasi rekan sebaya berpendapat bahwa hubungan sebaya memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan berlatih keterampilan prososial. Interaksi kolaboratif dengan teman sebaya juga diyakini dapat memotivasi pengembangan keterampilan kognitif yang mendukung terbentuknya perilaku prososial.

Kedekatan hubungan guru dengan siswa juga memiliki peran penting dalam internalisasi nilai-nilai prososial. Kewibawaan guru dan kedekatan hubungannya dengan siswa akan memperkuat referent power yang dimilikinya. Referent power adalah kekuatan yang diperoleh atas dasar kekaguman, keteladanan, kharisma dan kepribadian dari seorang figur.

Adalah sangat luar biasa pengaruhnya bagi perkembangan perilaku prososial siswa manakala para guru di sekolah dapat memerankan diri sebagai model ideal bagi nilai-nilai prososial. Dalam konteks pembelajaran, model instruksional kooperatif dan kolaboratif terbukti lebih dapat menumbuhkan perilaku menolong.

Dalam hal ini, diskusi aktif, pemecahan masalah, dan umpan balik elaboratif antar rekan sebaya yang berinteraksi satu sama lain dapat memfasilitasi berkembangnya keterampilan prososial. Hasil-hasil studi di lapangan juga menunjukkan, kegiatan pembelajaran kooperatif yang paling sukses dalam mensosialisasikan nilai-nilai prososial adalah yang disertai interdependensi positif di antara anggota kelompok, akuntabilitas individual, interaksi tatap muka langsung (face to face) antar siswa, dan belajar keterampilan sosial yang diperlukan untuk bekerja sama.

(Repost Anak Panah 2020)

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech