Teori Penyangkalan ala Pak Pacee
Muh Alfian Dj Ahad, 29-1-2023 | - Dilihat: 111

Oleh: Muh Alfian Dj
Minggu pertama di setiap awal bulan adalah hari yang selalu dinanti Mamat dan Maman. Di tiap minggu pertama, Pak Pacee selalu mengundang mareka. Biasanya undangan dikirimkan via Whatsapp menjelang subuh. Isinya waktu dan tempat pertemuan.
Lokasi pertemuan bisa berpindah, tergantung arah biduk beliau. Pernah di tengah malam buta, meluncur ke utara Yogya sekadar mencari sepiring bakmi Jawa. Pernah juga di waktu yang lain bergerak ke selatan Yogya untuk mencari sensasi sate legenda.
Tepat pukul 04.45 pagi, Maman meneruskan pesan Pak Pacee ke sahabat karibnya Mamat. Bunyi pesan itu, “Nanti saya tunggu kalian jam 11.00 di kebun mengkudu.” Pertemuan kali ini direncanakan di kebun menggkudu Pak Pacee di kawasan Barat Kota Yogyakarta.
Tepat pukul 09.00, Mamat dan Maman bersiap untuk meluncur ke kebun mengkudu. Jika tidak macet, perjalanan 45 menit bisa sampai lokasi. Lebih baik menunggu dari pada ditunggu. Ini bukan kali pertama mareka ke kebun mengkudu. Kebun luas itu dilengkapi beberapa gazebo, satu joglo besar, serta Musholla dan dikelilingi aneka tanaman buah.
Setelah menunggu hampir satu jam, Pak Pacee pun sampai. Pertanyaan pertama Pak Pacee, “kalian sudah makan?”, seakan dipandu oleh konduktor orkestra, Mamat dan Maman serempak menjawab, “Belum, Pak!” Sesaat kemudian Pak Pacee pun bergumam sambil berkecak pinggang, “sudah kuduga, hahaha.” Senyumnya tersungging.
Gazebo tempat berkumpul tidak begitu luas. Ukurannya hanya 2 x 2 meter persegi. Hanya muat 3 orang: Mamat, Maman, dan Pak Pacee. Untuk memecah keheningan, tiba-tiba Mamat mengeluarkan pertanyaan sekaligus pernyataan. “Pak, sudah dengar kalau Yogya menjadi kota termiskin di Pulau Jawa?” Pak Pacee malah balik bertanya, “laaa, kalian tahu tidak kalau angka harapan hidup warga Yogya paling tinggi dibanding wilayah lain di Indonesia?”
Kini giliran Maman yang mengeluarkan pernyataan. “Bapak tahu kalau Yogya beberapa kali menduduki peringkat pertama sebagai provinsi yang UMP-nya paling rendah?” Pak Pacee kembali mengeluarkan sangkalannya, “Tapi sekarang kan dengan UMP sebesar Rp.1.981.782, Yogya jadi peringkat terkecil ke dua setelah Jawa Tengah?”
“Walaupun begitu, kalian tahu tidak,” tegas Pak Pacee, “Yogya itu termasuk peringkat ketiga yang harga tanahnya tertinggi di Indonesia. Perlu juga kalian ingat, angka kemiskinan tidak lepas dari indikator kesejahteraan masyarakat lainnya. Berdasarkan indeks kebahagian, angka harapan hidup, angka lama sekolah, dan indeks kesejahteraan sosial, Yogyakarta masih menduduki peringkat tertinggi di Indonesia looo.”
“Jumlah penderita jiwa berat di Yogya menempati urutan kedua di Indonesia lo, Pak.” Sanggah Maman yang tak mau kalah. Pak Pacee kembali menyangkal, “saya tahu. Bahkan tahun lalu ada di peringkat pertama sebagai wilayah dengan penderita ODGJ terbanyak di Indonesia. Tapi kalian tahu kan, 2 tahun berturut turut, 2021 dan 2022, Yogya menempati peringkat pertama sebagai provinsi dengan nilai IPM tertinggi di Indonesia.”
Serius dan serunya diskusi terbuyarkan dengan sapaan mas-mas berbaju orange dengan 3 tentengan penuh di tangannya. Sembari menyodorkan barang yang dibawanya, dia juga menyampaikan permintaan maaf karena terlambat. Di samping antrinya banyak, jalanan juga macet. Sesat kemudian kami pun menyantap makanan yang dipesan Pak Pacee via online.
“Man, kamu pernah dengar nama Sigmund Freud? Tokoh di bidang psikologi yang istilah-istilah psikologinya masih dipakai hingga kini seperti ego, super ego, serta oedipus complex.” Saya ingin bercerita pada kalian, ungkapnya.
Pernah dengar teori denial atau penyangkalan? Yaitu sebuah istilah dalam mekanisme pertahanan ego yang terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan fakta yang membuatnya tidak nyaman untuk menerima sebuah fakta. Bahkan bersikeras menolak terhadap sejumlah fakta yang benar walaupun disertai pembukian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penyangkalan yang dilakukannya bisa berupa penyangkalan sederhana dengan menyangkal realitas fakta yang tidak menyenangkan sama sekali atau sangkalan yang mengakui fakta akan tetapi menyangkal keseriusannya. Ada juga penyangkalan dengan cara mengakui fakta serta keseriusan akan tetapi menyangkal tanggung jawab serta cenderung menyalahkan orang lain serta melempar tanggung jawab.
Diskusi kita diawal tadi memaparkan realita fakta terkait data di Yogja. Ada data yang saling bertolak belakang yang kemudian menimbulkan penyangkalan dari pemerintah. Hal itu lazim terjadi dalam sebuah organisasi.
Kalian harus cermati betul, agar tidak terjerumus pada penyangkalan buta. Kalian harus mampu membedakan mana yang merupakan data yang dieroleh dari hasil penelitian, atau fakta yang menyatakan sebuah kebenaran akan tetapi belum bisa dibuktikan. Mana realita yang benar-benar terjadi dan sesuai dengan kebenaran hakiki.
Pemimpin yang tidak bisa membedakan hal-hal tersebut akan menempatkannya pada corak kepemimpinan yang cenderung berpura-pura tidak mengetahui dan tidak ingin mengakui bahwa sesuatu sedang terjadi dalam organisasinya. Biasanya yang seperti ini cenderung menyalahkan orang lain.
Seorang pemimpin harus mampu menempatkan perannya antara dia sebagai otoritas dan leader. Peran otoritas lebih cenderung politis yang diikuti tuntutan politik yang berhubungan dengan status quo dirinya. Sedangkan leader hadir untuk mendorong terciptanya sebuah perubahan untuk kepentingan bersama.
Sekarang kembali pada kalian. Bila amanah menjadi pimpinan ada di pundak kalian berdua, apakah teori denial atau penyangkalan akan kalian lakukan secara arif dan bijaksana, atau akan kalian lakukan dengan cara injak sana-sini agar kepemimpinan kalian tetap terlihat indah di atas singgasana?
Pepatah Minang “Saciok bak ayam sandancing bak basi, saiyo sakato, duduk samo rendah tagak sama tinggi” mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus mampu mendengarkan, mempertimbangkan, dan mengapresiasi setiap masukan atau pendapat dari warganya.
Kumandang azan Ashar menghentikan diskusi sesi pertama hari ini. Sebelum beranjak untuk shalat ashar, Maman kembali bertanya, “Pak, sekarang banyak pemimpin yang mempraktikkan teori denial atau penyangkalan? Pak Pacee langsung menjawab, “Mana saya tahu. Silakan kalian analisis sendiri. Kayak gitu aja kok tanya saya. Kalian ini mahasiswa bukan?” Sambil menggerogoti jambu citra yang kami panen tadi di pojok gazebo, “Ingat ya, ingat, kalau jadi pemimpin jangan sampai kalian dihinggapi skizofrenia leadership.
Apa itu pak skizofrenia leadership, lain kali kita diskusikan. Sekarang bergegaslah ambil wudhu, kita shalat Ashar dulu. Setelah ini kita cari makan yang enak. Terserah mau di mana.
- Artikel Teropuler -
Teori Penyangkalan ala Pak Pacee
Muh Alfian Dj Ahad, 29-1-2023 | - Dilihat: 111

Oleh: Muh Alfian Dj
Minggu pertama di setiap awal bulan adalah hari yang selalu dinanti Mamat dan Maman. Di tiap minggu pertama, Pak Pacee selalu mengundang mareka. Biasanya undangan dikirimkan via Whatsapp menjelang subuh. Isinya waktu dan tempat pertemuan.
Lokasi pertemuan bisa berpindah, tergantung arah biduk beliau. Pernah di tengah malam buta, meluncur ke utara Yogya sekadar mencari sepiring bakmi Jawa. Pernah juga di waktu yang lain bergerak ke selatan Yogya untuk mencari sensasi sate legenda.
Tepat pukul 04.45 pagi, Maman meneruskan pesan Pak Pacee ke sahabat karibnya Mamat. Bunyi pesan itu, “Nanti saya tunggu kalian jam 11.00 di kebun mengkudu.” Pertemuan kali ini direncanakan di kebun menggkudu Pak Pacee di kawasan Barat Kota Yogyakarta.
Tepat pukul 09.00, Mamat dan Maman bersiap untuk meluncur ke kebun mengkudu. Jika tidak macet, perjalanan 45 menit bisa sampai lokasi. Lebih baik menunggu dari pada ditunggu. Ini bukan kali pertama mareka ke kebun mengkudu. Kebun luas itu dilengkapi beberapa gazebo, satu joglo besar, serta Musholla dan dikelilingi aneka tanaman buah.
Setelah menunggu hampir satu jam, Pak Pacee pun sampai. Pertanyaan pertama Pak Pacee, “kalian sudah makan?”, seakan dipandu oleh konduktor orkestra, Mamat dan Maman serempak menjawab, “Belum, Pak!” Sesaat kemudian Pak Pacee pun bergumam sambil berkecak pinggang, “sudah kuduga, hahaha.” Senyumnya tersungging.
Gazebo tempat berkumpul tidak begitu luas. Ukurannya hanya 2 x 2 meter persegi. Hanya muat 3 orang: Mamat, Maman, dan Pak Pacee. Untuk memecah keheningan, tiba-tiba Mamat mengeluarkan pertanyaan sekaligus pernyataan. “Pak, sudah dengar kalau Yogya menjadi kota termiskin di Pulau Jawa?” Pak Pacee malah balik bertanya, “laaa, kalian tahu tidak kalau angka harapan hidup warga Yogya paling tinggi dibanding wilayah lain di Indonesia?”
Kini giliran Maman yang mengeluarkan pernyataan. “Bapak tahu kalau Yogya beberapa kali menduduki peringkat pertama sebagai provinsi yang UMP-nya paling rendah?” Pak Pacee kembali mengeluarkan sangkalannya, “Tapi sekarang kan dengan UMP sebesar Rp.1.981.782, Yogya jadi peringkat terkecil ke dua setelah Jawa Tengah?”
“Walaupun begitu, kalian tahu tidak,” tegas Pak Pacee, “Yogya itu termasuk peringkat ketiga yang harga tanahnya tertinggi di Indonesia. Perlu juga kalian ingat, angka kemiskinan tidak lepas dari indikator kesejahteraan masyarakat lainnya. Berdasarkan indeks kebahagian, angka harapan hidup, angka lama sekolah, dan indeks kesejahteraan sosial, Yogyakarta masih menduduki peringkat tertinggi di Indonesia looo.”
“Jumlah penderita jiwa berat di Yogya menempati urutan kedua di Indonesia lo, Pak.” Sanggah Maman yang tak mau kalah. Pak Pacee kembali menyangkal, “saya tahu. Bahkan tahun lalu ada di peringkat pertama sebagai wilayah dengan penderita ODGJ terbanyak di Indonesia. Tapi kalian tahu kan, 2 tahun berturut turut, 2021 dan 2022, Yogya menempati peringkat pertama sebagai provinsi dengan nilai IPM tertinggi di Indonesia.”
Serius dan serunya diskusi terbuyarkan dengan sapaan mas-mas berbaju orange dengan 3 tentengan penuh di tangannya. Sembari menyodorkan barang yang dibawanya, dia juga menyampaikan permintaan maaf karena terlambat. Di samping antrinya banyak, jalanan juga macet. Sesat kemudian kami pun menyantap makanan yang dipesan Pak Pacee via online.
“Man, kamu pernah dengar nama Sigmund Freud? Tokoh di bidang psikologi yang istilah-istilah psikologinya masih dipakai hingga kini seperti ego, super ego, serta oedipus complex.” Saya ingin bercerita pada kalian, ungkapnya.
Pernah dengar teori denial atau penyangkalan? Yaitu sebuah istilah dalam mekanisme pertahanan ego yang terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan fakta yang membuatnya tidak nyaman untuk menerima sebuah fakta. Bahkan bersikeras menolak terhadap sejumlah fakta yang benar walaupun disertai pembukian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penyangkalan yang dilakukannya bisa berupa penyangkalan sederhana dengan menyangkal realitas fakta yang tidak menyenangkan sama sekali atau sangkalan yang mengakui fakta akan tetapi menyangkal keseriusannya. Ada juga penyangkalan dengan cara mengakui fakta serta keseriusan akan tetapi menyangkal tanggung jawab serta cenderung menyalahkan orang lain serta melempar tanggung jawab.
Diskusi kita diawal tadi memaparkan realita fakta terkait data di Yogja. Ada data yang saling bertolak belakang yang kemudian menimbulkan penyangkalan dari pemerintah. Hal itu lazim terjadi dalam sebuah organisasi.
Kalian harus cermati betul, agar tidak terjerumus pada penyangkalan buta. Kalian harus mampu membedakan mana yang merupakan data yang dieroleh dari hasil penelitian, atau fakta yang menyatakan sebuah kebenaran akan tetapi belum bisa dibuktikan. Mana realita yang benar-benar terjadi dan sesuai dengan kebenaran hakiki.
Pemimpin yang tidak bisa membedakan hal-hal tersebut akan menempatkannya pada corak kepemimpinan yang cenderung berpura-pura tidak mengetahui dan tidak ingin mengakui bahwa sesuatu sedang terjadi dalam organisasinya. Biasanya yang seperti ini cenderung menyalahkan orang lain.
Seorang pemimpin harus mampu menempatkan perannya antara dia sebagai otoritas dan leader. Peran otoritas lebih cenderung politis yang diikuti tuntutan politik yang berhubungan dengan status quo dirinya. Sedangkan leader hadir untuk mendorong terciptanya sebuah perubahan untuk kepentingan bersama.
Sekarang kembali pada kalian. Bila amanah menjadi pimpinan ada di pundak kalian berdua, apakah teori denial atau penyangkalan akan kalian lakukan secara arif dan bijaksana, atau akan kalian lakukan dengan cara injak sana-sini agar kepemimpinan kalian tetap terlihat indah di atas singgasana?
Pepatah Minang “Saciok bak ayam sandancing bak basi, saiyo sakato, duduk samo rendah tagak sama tinggi” mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus mampu mendengarkan, mempertimbangkan, dan mengapresiasi setiap masukan atau pendapat dari warganya.
Kumandang azan Ashar menghentikan diskusi sesi pertama hari ini. Sebelum beranjak untuk shalat ashar, Maman kembali bertanya, “Pak, sekarang banyak pemimpin yang mempraktikkan teori denial atau penyangkalan? Pak Pacee langsung menjawab, “Mana saya tahu. Silakan kalian analisis sendiri. Kayak gitu aja kok tanya saya. Kalian ini mahasiswa bukan?” Sambil menggerogoti jambu citra yang kami panen tadi di pojok gazebo, “Ingat ya, ingat, kalau jadi pemimpin jangan sampai kalian dihinggapi skizofrenia leadership.
Apa itu pak skizofrenia leadership, lain kali kita diskusikan. Sekarang bergegaslah ambil wudhu, kita shalat Ashar dulu. Setelah ini kita cari makan yang enak. Terserah mau di mana.
1 Komentar

2023-01-29 19:54:12
Iping
Denial, Deni anak laut (komik majalah BOBO)
1 Komentar
2023-01-29 19:54:12
Iping
Denial, Deni anak laut (komik majalah BOBO)
Tinggalkan Pesan