• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Selamat Jalan Guru Bangsa dan Maafkan Kami

Muhamad Fauzi Sabtu, 28-5-2022 | - Dilihat: 144

banner

Oleh: Muhamad Fauzi

Tulisan ini pada dasarnya tentang permohonan maaf. Sudah sejak lama terancang dalam alam pikiran untuk dituliskan lalu dikirimkan kepada Buya Syafii melalui surel pribadi. Namun kegelisahan ini tak kunjung saya tuliskan. Saya merasa malu, mengingat ketokohan beliau dan diri yang faqir dari antah berantah.

Hingga pada Jum’at, 27 Mei 2022, hari saat diri ini berduka dan menyesal tidak berusaha lebih untuk menemuinya, menambah sekian banyak daftar catatan evaluasi diri. Buya Syafii Maarif telah meninggalkan kita. Seorang Mujadid, Guru Bangsa, rahimahullah rahmatan wasi’ah. Beliau telah pergi meninggalkan dunia menuju kehidupan yang sesungguhnya.

Pada pertengahan 2015 saat saya masih menjadi santri di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, diselenggarakan Darul Arqam Purna di Dharmais, Kulon Progo. Salah satu pematerinya adalah Buya Syafii Maarif.

Siang hari beliau mengisi studium generale tentang kemajemukan dan kemasyarakatan. Bertepatan pada tahun-tahun itu poster dan baliho “Syiah bukan Islam” tersebar dan terpampang di beberapa sudut kota Jogja, seolah jargon itu adalah buah dari pemikiran dan perenungan yang matang dari “Ahlu Ad-dzikri” (red-Ulama’) yang wajib dijunjung jika Anda sekalian menolak ideologi Syiah.

Dengan tendensi seperti itu saya mengajukan pertanyaan retoris kepada Buya Syafii yang cendrung kontra dengan jargon tersebut. Dalam sesi tanya jawab, saya menceritakan bagaimana orang terdekat yang keluarga saya kenal terpapar dan menganut ideologi Syiah, ia berterus terang secara terbuka, padahal sebelumnya ia sunni yang taat.

Cerita ini menggambarkan pengaruh ideologi Syiah itu nyata di desa tempat tinggal saya, lalu dengan keprihatinan yang dalam saya melanjutkan bertanya mengapa Buya tidak menolak Syiah dengan lantang dan mengakui Syiah bukan Islam?

Sahutan takbir dari teman-teman menyertai pertanyaan saya ini, seakan mengucilkan beliau. Saya melihat wajah santun beliau yang memerah, mungkin tersinggung terhadap tindakan niradab ini. Walupun pada akhir sesi, banyak dari kami yang bersalaman dan mencium tangan beliau, dan beliau tetap santun menyambut saya dan teman-teman dengan senyuman. Maafkan kami Buya.

Pernyataan Syiah bukan Islam ini statement bermasalah yang akhirnya saya sadari setelah saya menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Kairo. Sebelumnya ruh dan spirit ini sebenarnya sudah disampaikan Buya namun disayangkan tidak sepenuhnya sampai dan masuk kedalam otak dan hati kami.

Bulan Februari 2019, sedikit lebih dalam saya juga mengikuti Dauroh tentang Syiah yang disampaikan oleh Syeikh Thaha Ali as-Sawah, pengarang kitab Mauqif al Azhar as Syarif min as Syiah al Istna Asyariah. Al-Azhar menolak dengan tegas ideologi Syiah, namun penolakan bukan berarti menjadikan kita tidak adil dan tidak objektif, apalagi secara serampangan melabeli Syiah secara generalisir bukan Islam. Para Ulama’ salaf juga sangat berhati-hati dalam menghukumi kafir seorang Muslim.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika seseorang Ahl al Ilmi yang diakui ilmunya secara serampangan melabeli kelompok dan seseorang tanpa kematangan pemahaman dan pengetahuan, karena konsekuensinya akan panjang, akan diikuti murid-muridnya, di-syarah pernyataannya dan menjadi legitimasi pada hal-hal yang tidak santun bahkan perlakuan ekstrim yang tidak kita inginkan. Sehingga saya memahami tanggung jawab seorang intelektual yang harus membaca dengan utuh sebuah permasalahan.

Jiwa pemuda awam kami saat itu mungkin tulus namun tetap jauh dari kata objektif. Akan sulit memahami tentang kontroversi ideologi Syiah sebagai khazanah intelektual sekaligus medan kritik dan gugatan disebabkan minimnya wawasan.

Menggeneralisir penilaian akan dukungan atau penolakan seseorang dari satu statement yang tidak berdasar. Mirip sekali seperti saat kita ingin meneriakan “manusia bukan hewan” hanya karena tidak memahami hakekat diri dan tidak pernah mendengar frase bahwa manusia adalah hewan yang nathiq (berakal).

Namun poin terpentingnya bukan tentang silang pendapat ini, karena itu menjadi tanggung jawab intelektual masing-masing orang, perbedaan itu keniscayaan. Penyesalan terbesar yang sebenarnya adalah tindakan su’ul adab kepada guru.

Menentang pendapat guru secara terang-terangan di depan khalayak serta ditambah teriakan takbir ini yang merupakan su’ul adab yang sebenarnya dari murid serampangan. Momen ini selalu menghantui pikiran saya. Maafkan kami Buya.

Ada dua catatan yang dapat dipetik dari kejadian ini. Pertama, bukti nyata kalam ulama bahwa adab harus didahulukan sebelum ilmu. Hal ini menyelamatkan guru kita dari bodohnya akal, tajamnya lisan dan jahatnya tangan kita. Adab yang baik juga menyelamatkan kita dari penyesalan di kemudian hari serta menambah keberkahan ilmu dan kebaikan lebih banyak.

Kedua, ketulusan haruslah sebanding lurus dengan wawasan, sehingga menghasilkan keputusan yang berimbang dan objektif. Permintaan maaf secara langsung belum pernah saya utarakan kepada Buya syafii, namun saya berharap doa kami bisa sampai kepada beliau seiring dengan penyesalan kami.

Lewat tulisan-tulisan Kak Erik Tauvani saya mengenal pancaran ketulusan, kebaikan, dan kebijaksanaan Buya. Semoga kami bisa tetap melanjutkan spirit perjuangan itu dengan utuh. Lewat Buya kami dapat melihat sebuah contoh bahwa ketulusan itu dapat menembus hati yang keras, entah kita sadar atau tidak. Maafkan kami Buya.

Manusia yang tulus itu kini telah wafat, di hari Jum’at, hari yang mulia. Semoga Allah berikan tempat yang mulia. Sekali lagi, maafkan kami Buya. Al-Fatihah.

_____

Muhamad Fauzi, Alumnus Mu’allimin 2015.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Selamat Jalan Guru Bangsa dan Maafkan Kami

Muhamad Fauzi Sabtu, 28-5-2022 | - Dilihat: 144

banner

Oleh: Muhamad Fauzi

Tulisan ini pada dasarnya tentang permohonan maaf. Sudah sejak lama terancang dalam alam pikiran untuk dituliskan lalu dikirimkan kepada Buya Syafii melalui surel pribadi. Namun kegelisahan ini tak kunjung saya tuliskan. Saya merasa malu, mengingat ketokohan beliau dan diri yang faqir dari antah berantah.

Hingga pada Jum’at, 27 Mei 2022, hari saat diri ini berduka dan menyesal tidak berusaha lebih untuk menemuinya, menambah sekian banyak daftar catatan evaluasi diri. Buya Syafii Maarif telah meninggalkan kita. Seorang Mujadid, Guru Bangsa, rahimahullah rahmatan wasi’ah. Beliau telah pergi meninggalkan dunia menuju kehidupan yang sesungguhnya.

Pada pertengahan 2015 saat saya masih menjadi santri di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, diselenggarakan Darul Arqam Purna di Dharmais, Kulon Progo. Salah satu pematerinya adalah Buya Syafii Maarif.

Siang hari beliau mengisi studium generale tentang kemajemukan dan kemasyarakatan. Bertepatan pada tahun-tahun itu poster dan baliho “Syiah bukan Islam” tersebar dan terpampang di beberapa sudut kota Jogja, seolah jargon itu adalah buah dari pemikiran dan perenungan yang matang dari “Ahlu Ad-dzikri” (red-Ulama’) yang wajib dijunjung jika Anda sekalian menolak ideologi Syiah.

Dengan tendensi seperti itu saya mengajukan pertanyaan retoris kepada Buya Syafii yang cendrung kontra dengan jargon tersebut. Dalam sesi tanya jawab, saya menceritakan bagaimana orang terdekat yang keluarga saya kenal terpapar dan menganut ideologi Syiah, ia berterus terang secara terbuka, padahal sebelumnya ia sunni yang taat.

Cerita ini menggambarkan pengaruh ideologi Syiah itu nyata di desa tempat tinggal saya, lalu dengan keprihatinan yang dalam saya melanjutkan bertanya mengapa Buya tidak menolak Syiah dengan lantang dan mengakui Syiah bukan Islam?

Sahutan takbir dari teman-teman menyertai pertanyaan saya ini, seakan mengucilkan beliau. Saya melihat wajah santun beliau yang memerah, mungkin tersinggung terhadap tindakan niradab ini. Walupun pada akhir sesi, banyak dari kami yang bersalaman dan mencium tangan beliau, dan beliau tetap santun menyambut saya dan teman-teman dengan senyuman. Maafkan kami Buya.

Pernyataan Syiah bukan Islam ini statement bermasalah yang akhirnya saya sadari setelah saya menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Kairo. Sebelumnya ruh dan spirit ini sebenarnya sudah disampaikan Buya namun disayangkan tidak sepenuhnya sampai dan masuk kedalam otak dan hati kami.

Bulan Februari 2019, sedikit lebih dalam saya juga mengikuti Dauroh tentang Syiah yang disampaikan oleh Syeikh Thaha Ali as-Sawah, pengarang kitab Mauqif al Azhar as Syarif min as Syiah al Istna Asyariah. Al-Azhar menolak dengan tegas ideologi Syiah, namun penolakan bukan berarti menjadikan kita tidak adil dan tidak objektif, apalagi secara serampangan melabeli Syiah secara generalisir bukan Islam. Para Ulama’ salaf juga sangat berhati-hati dalam menghukumi kafir seorang Muslim.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika seseorang Ahl al Ilmi yang diakui ilmunya secara serampangan melabeli kelompok dan seseorang tanpa kematangan pemahaman dan pengetahuan, karena konsekuensinya akan panjang, akan diikuti murid-muridnya, di-syarah pernyataannya dan menjadi legitimasi pada hal-hal yang tidak santun bahkan perlakuan ekstrim yang tidak kita inginkan. Sehingga saya memahami tanggung jawab seorang intelektual yang harus membaca dengan utuh sebuah permasalahan.

Jiwa pemuda awam kami saat itu mungkin tulus namun tetap jauh dari kata objektif. Akan sulit memahami tentang kontroversi ideologi Syiah sebagai khazanah intelektual sekaligus medan kritik dan gugatan disebabkan minimnya wawasan.

Menggeneralisir penilaian akan dukungan atau penolakan seseorang dari satu statement yang tidak berdasar. Mirip sekali seperti saat kita ingin meneriakan “manusia bukan hewan” hanya karena tidak memahami hakekat diri dan tidak pernah mendengar frase bahwa manusia adalah hewan yang nathiq (berakal).

Namun poin terpentingnya bukan tentang silang pendapat ini, karena itu menjadi tanggung jawab intelektual masing-masing orang, perbedaan itu keniscayaan. Penyesalan terbesar yang sebenarnya adalah tindakan su’ul adab kepada guru.

Menentang pendapat guru secara terang-terangan di depan khalayak serta ditambah teriakan takbir ini yang merupakan su’ul adab yang sebenarnya dari murid serampangan. Momen ini selalu menghantui pikiran saya. Maafkan kami Buya.

Ada dua catatan yang dapat dipetik dari kejadian ini. Pertama, bukti nyata kalam ulama bahwa adab harus didahulukan sebelum ilmu. Hal ini menyelamatkan guru kita dari bodohnya akal, tajamnya lisan dan jahatnya tangan kita. Adab yang baik juga menyelamatkan kita dari penyesalan di kemudian hari serta menambah keberkahan ilmu dan kebaikan lebih banyak.

Kedua, ketulusan haruslah sebanding lurus dengan wawasan, sehingga menghasilkan keputusan yang berimbang dan objektif. Permintaan maaf secara langsung belum pernah saya utarakan kepada Buya syafii, namun saya berharap doa kami bisa sampai kepada beliau seiring dengan penyesalan kami.

Lewat tulisan-tulisan Kak Erik Tauvani saya mengenal pancaran ketulusan, kebaikan, dan kebijaksanaan Buya. Semoga kami bisa tetap melanjutkan spirit perjuangan itu dengan utuh. Lewat Buya kami dapat melihat sebuah contoh bahwa ketulusan itu dapat menembus hati yang keras, entah kita sadar atau tidak. Maafkan kami Buya.

Manusia yang tulus itu kini telah wafat, di hari Jum’at, hari yang mulia. Semoga Allah berikan tempat yang mulia. Sekali lagi, maafkan kami Buya. Al-Fatihah.

_____

Muhamad Fauzi, Alumnus Mu’allimin 2015.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech