Santri dan Tantangan Kehidupan Milenial
M. Alfreda Daib Insan Labib Kamis, 7-3-2024 | - Dilihat: 70

Oleh: M. Alfreda Daib Insan Labib
Kemajuan teknologi digital telah membuat semua elemen masyarakat sulit beradaptasi dengan keadaan, tak terkecuali kaum santri, yang mana keseharian mereka lebih banyak dihabiskan dengan mengkaji kitab dan pelajaran seputar ilmu agama. Namun, hari ini tidak sedikit pesantren modern yang telah mengupakayan pengadaan fasilitas teknologi informasi sebagai sarana pendidikan.
Hal tersebut merupakan bentuk ikhtiar dalam integrasi antara ilmu agama dan profan agar dapat dilangsungkan secara maksimal. Dengan spirit keagamaan yang dapat dikatakan lebih unggul daripada pelajar pada umumnya, sudah selayaknya para santri memiliki semangat yang lebih juga dalam menunjukkan perannya di era milenial ini. setidaknya ada dua cara yang ditawarkan dalam menghadapi era milenial.
Dua cara menghadapi era milenial
Pertama, dengan mempatri para santri untuk cinta terhadap literasi. Berangkat dari rasa cinta terhadap literasi. Maka para santri dan pemuda lain umunya akan dapat membaca banyak litelatur tanpa merasakan bosan dan malas. Itulah yang akan menjadi modal utama dalam menunjukkan peran di era milenial.
Dengan banyak membaca, suplay ilmu yang diterima subjek akan bertambah secara berkala. Sesuai dengan apa yang dibaca dan dipahami. Setelah memiliki kapasitas ilmu yang lebih banyak dari sebelumnya, setidaknya para santri dapat memilah mana berita ilmu yang masih relevan dan tidak. Bekal ilmu ini juga dapat digunakan sebagai senjata untuk menepis kabar berita hoaks yang sudah banyak merebak dikalangan masyarakat umum.
Kedua, selain cinta terhadap literasi, para santri juga diharuskan untuk kritis terhadap media. Hal ini sangat vital untuk dilakukan karena di era yang serba digital ini akses untuk memuat berita di laman internet sangat mudah. Hal ini yang menyebabkan para santri untuk menelaah akan validalitas kabar yang diterima. kabar yang berasal dari sumber yang tidak kredibel agaknya perlu dikesampingkan sehingga berita yang akan disampaikan santri kepada masyarakat luas adalah berita yang sudah teruji kebenarannya.
Selain kedua cara di atas, santri dianggap perlu banyak memberikan isu-isu keagamaan dalam dunia digital. Selain untuk menyebarluaskan ilmu agama sebagai landasan hidup, hal ini perlu dilakukan juga sebagai sarana “perlawanan” terhadap media digital yang terkesan tidak mendidik atau malah menjerumuskan konsumennya kepada tindakan yang bernilai negatif.
Dengan banyaknya litelatur agama di dunia internet, tentu saja akan menambah ragam bobot ilmu yang dapat dinikmati siapa saja yang berselancar di dunia internet. Peran santri dalam sektor ini nampaknya sudah terlihat dan patut untuk diapresiasi. Pasalnya dunia sosial media yang sebelumnya hanya berorientasi kepada hiburan, akhir-akhir ini banyak bermuculan akun dakwah yang turut meramaikan dunia sosial media.
Hal ini membuat peminat ilmu agama semakin bertambah. Alasannya adalah karena penyampaian yang dilakukan terkesan mudah dicerna dan tidak membosankan, karena informasi yang disajikan tidak melulu berbentuk tulisan, kadangkala berbentuk gambar, suara, video dan infografis.
Dua kriteria santri setelah lulus dari pesantren
Santri juga turut berperan dalam membenahi pandangan masyarakat terhadap pemahaman Islam di pesantren. Seorang santri yang notebenenya lulusan pesantren biasanya disimpulkan masyarakat kedalam dua golongan besar. Pertama, golongan santri yang memiliki kecenderungan ekstrim dan ketat dalam memahami syariat agama, golongan santri yang seperti ini biasanya memaksakan pola pemikiran timur yang boleh jadi tidak mudah diadopsi di Indonesia.
Kedua, golongan para santri yang memliki kecenderungan longgar dalam beragama dan terkesan terlalu mudah menerima produk budaya luar tanpa memilah terlebih dahulu, golongan santri yang seperti ini biasanya memaksakan pola pemikiran barat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus seperti diatas memang benar adanya. Untuk menghadapi justifikasi masyarakat yang dinilai merugikan santri, pesantren dan Islam, Para kyai sekaligus pengurus pesantren terus menggaungkan Pendidikan wasatiyah (moderat) di lingkungan pesantren.
Beberapa diantaranya adalah Pendidikan akidah (keyakinan), ibadah (pelaksanaan ritual keagamaan), dakwah (syiar agama), dan akhlak (etika). Adapun sikap ghuluw atau berlebih lebihan dalam beragama akan menimbulkan perpecahan internal bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.
Peran santri dalam kehidupan sosial bermasyarakat
Berangkat dari statement terhadap pesantren yang dinilai terlalu kaku ataupun lunak, justru pada akhirnya pesantren dapat menjelma menjadi suatu poros ditengah polemik yang dihadapi masyarakat. Para santri yang dinilai telah matang dalam memahami konsep konsep ajaran agama, selanjutnya diutus untuk berkiprah di masyarakat luas.
Beberapa agendanya adalah (1) Memperbaiki citra Islam -sebagai rahmat bagi semesta alam- yang dipandang negatif di masyarakat internasional; (2) Membangun keseimbangan (harmoni) dan membumikan kerukunan (toleransi) di antara kelompok-kelompok yang berbeda, baik diluar Islam maupun didalam Islam itu sendiri;
(3) Memastikan bahwa paham moderasi tidak melampaui garis-garis primer (tsawabit) yang terdapat dalam ajaran Islam; serta (4) Menebarkan perdamaian di muka bumi dengan membangun dialog intra-religious dan inter-faith. Alasan beberapa agenda utama tersebut adalah bahwa perbedaan paham keagamaan adalah entitas yang patut dilindungi dan dihormati sesuai prinsip ‘menerima yang lain’ (qabul al-akhar).
Wallahu a’lam bi al-shawab
- Artikel Terpuler -
Santri dan Tantangan Kehidupan Milenial
M. Alfreda Daib Insan Labib Kamis, 7-3-2024 | - Dilihat: 70

Oleh: M. Alfreda Daib Insan Labib
Kemajuan teknologi digital telah membuat semua elemen masyarakat sulit beradaptasi dengan keadaan, tak terkecuali kaum santri, yang mana keseharian mereka lebih banyak dihabiskan dengan mengkaji kitab dan pelajaran seputar ilmu agama. Namun, hari ini tidak sedikit pesantren modern yang telah mengupakayan pengadaan fasilitas teknologi informasi sebagai sarana pendidikan.
Hal tersebut merupakan bentuk ikhtiar dalam integrasi antara ilmu agama dan profan agar dapat dilangsungkan secara maksimal. Dengan spirit keagamaan yang dapat dikatakan lebih unggul daripada pelajar pada umumnya, sudah selayaknya para santri memiliki semangat yang lebih juga dalam menunjukkan perannya di era milenial ini. setidaknya ada dua cara yang ditawarkan dalam menghadapi era milenial.
Dua cara menghadapi era milenial
Pertama, dengan mempatri para santri untuk cinta terhadap literasi. Berangkat dari rasa cinta terhadap literasi. Maka para santri dan pemuda lain umunya akan dapat membaca banyak litelatur tanpa merasakan bosan dan malas. Itulah yang akan menjadi modal utama dalam menunjukkan peran di era milenial.
Dengan banyak membaca, suplay ilmu yang diterima subjek akan bertambah secara berkala. Sesuai dengan apa yang dibaca dan dipahami. Setelah memiliki kapasitas ilmu yang lebih banyak dari sebelumnya, setidaknya para santri dapat memilah mana berita ilmu yang masih relevan dan tidak. Bekal ilmu ini juga dapat digunakan sebagai senjata untuk menepis kabar berita hoaks yang sudah banyak merebak dikalangan masyarakat umum.
Kedua, selain cinta terhadap literasi, para santri juga diharuskan untuk kritis terhadap media. Hal ini sangat vital untuk dilakukan karena di era yang serba digital ini akses untuk memuat berita di laman internet sangat mudah. Hal ini yang menyebabkan para santri untuk menelaah akan validalitas kabar yang diterima. kabar yang berasal dari sumber yang tidak kredibel agaknya perlu dikesampingkan sehingga berita yang akan disampaikan santri kepada masyarakat luas adalah berita yang sudah teruji kebenarannya.
Selain kedua cara di atas, santri dianggap perlu banyak memberikan isu-isu keagamaan dalam dunia digital. Selain untuk menyebarluaskan ilmu agama sebagai landasan hidup, hal ini perlu dilakukan juga sebagai sarana “perlawanan” terhadap media digital yang terkesan tidak mendidik atau malah menjerumuskan konsumennya kepada tindakan yang bernilai negatif.
Dengan banyaknya litelatur agama di dunia internet, tentu saja akan menambah ragam bobot ilmu yang dapat dinikmati siapa saja yang berselancar di dunia internet. Peran santri dalam sektor ini nampaknya sudah terlihat dan patut untuk diapresiasi. Pasalnya dunia sosial media yang sebelumnya hanya berorientasi kepada hiburan, akhir-akhir ini banyak bermuculan akun dakwah yang turut meramaikan dunia sosial media.
Hal ini membuat peminat ilmu agama semakin bertambah. Alasannya adalah karena penyampaian yang dilakukan terkesan mudah dicerna dan tidak membosankan, karena informasi yang disajikan tidak melulu berbentuk tulisan, kadangkala berbentuk gambar, suara, video dan infografis.
Dua kriteria santri setelah lulus dari pesantren
Santri juga turut berperan dalam membenahi pandangan masyarakat terhadap pemahaman Islam di pesantren. Seorang santri yang notebenenya lulusan pesantren biasanya disimpulkan masyarakat kedalam dua golongan besar. Pertama, golongan santri yang memiliki kecenderungan ekstrim dan ketat dalam memahami syariat agama, golongan santri yang seperti ini biasanya memaksakan pola pemikiran timur yang boleh jadi tidak mudah diadopsi di Indonesia.
Kedua, golongan para santri yang memliki kecenderungan longgar dalam beragama dan terkesan terlalu mudah menerima produk budaya luar tanpa memilah terlebih dahulu, golongan santri yang seperti ini biasanya memaksakan pola pemikiran barat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus seperti diatas memang benar adanya. Untuk menghadapi justifikasi masyarakat yang dinilai merugikan santri, pesantren dan Islam, Para kyai sekaligus pengurus pesantren terus menggaungkan Pendidikan wasatiyah (moderat) di lingkungan pesantren.
Beberapa diantaranya adalah Pendidikan akidah (keyakinan), ibadah (pelaksanaan ritual keagamaan), dakwah (syiar agama), dan akhlak (etika). Adapun sikap ghuluw atau berlebih lebihan dalam beragama akan menimbulkan perpecahan internal bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.
Peran santri dalam kehidupan sosial bermasyarakat
Berangkat dari statement terhadap pesantren yang dinilai terlalu kaku ataupun lunak, justru pada akhirnya pesantren dapat menjelma menjadi suatu poros ditengah polemik yang dihadapi masyarakat. Para santri yang dinilai telah matang dalam memahami konsep konsep ajaran agama, selanjutnya diutus untuk berkiprah di masyarakat luas.
Beberapa agendanya adalah (1) Memperbaiki citra Islam -sebagai rahmat bagi semesta alam- yang dipandang negatif di masyarakat internasional; (2) Membangun keseimbangan (harmoni) dan membumikan kerukunan (toleransi) di antara kelompok-kelompok yang berbeda, baik diluar Islam maupun didalam Islam itu sendiri;
(3) Memastikan bahwa paham moderasi tidak melampaui garis-garis primer (tsawabit) yang terdapat dalam ajaran Islam; serta (4) Menebarkan perdamaian di muka bumi dengan membangun dialog intra-religious dan inter-faith. Alasan beberapa agenda utama tersebut adalah bahwa perbedaan paham keagamaan adalah entitas yang patut dilindungi dan dihormati sesuai prinsip ‘menerima yang lain’ (qabul al-akhar).
Wallahu a’lam bi al-shawab
0 Komentar
Tinggalkan Pesan