Racun Literasi
M. Faiz Shofyan Hanafi Rabu, 15-12-2021 | - Dilihat: 114
Oleh: M. Faiz Shofyan Hanafi
Budaya literasi tidak melulu soal buku, tidak selalu terkait dengan karya terbaru Tere Liye, ataupun gaya bahasa unik Eka Kurniawan, tetapi literasi juga hadir di tingkatan yang sangat dekat dengan kita, yakni di sosial media. Literasi itu bisa berbentuk bacaan fisik seperti buku, maupun bacaan apa saja yang beredar di media sosial, baik dalam bentuk artikel, opini, thread, dan lain sebagainya.
Sebagai pembaca yang baik, tentu kita tidak boleh asal menerima semua mindset yang tertuang dalam bacaan-bacaan tersebut, karena sejatinya tulisan tetaplah tulisan, yakni hasil menulis orang lain. Dan tulisan tidak selalu menggambarkan mindset sang penulis, maka dari itu ada baiknya kita selalu menganggap semua bacaan tersebut as a grain of salt atau sekedar membaca saja.
Walaupun selalu ada sisi positif yang bisa kita ambil dari tulisan seseorang, tapi tetap saja kita harus punya prinsip terhadap cara membaca kita. Sebagai pembaca yang baik sudah seharusnya kita tidak mudah ikut-ikutan mindset seseorang yang ditulis dalam bukunya hanya karena menurut kita hal tersebut terdengar keren. Karena anggapan keren tersebut, kita kemudian koar-koar di seluruh platform media sosial agar bisa terlihat keren memposting kata-kata kutipan tulisan orang lain.
Fenomena Tong Kosong
Di samping perbuatan tersebut adalah perumpamaan “tong kosong nyaring bunyinya” sehingga akan membawa mudharat bukan hanya kepada kita. Karena kita hanya mengutip tanpa dasar dari tulisan orang lain, ia juga akan muncul sebagai potensi mudharat bagi orang lain yang tidak memiliki prinsip yang kuat dan mudah ikut-ikutan dalam perkara yang syubhat/abu-abu.
Praktek ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia secara umum. Apalagi didukung dengan adanya infrastruktur yang memadai di era digital 4.0, dimana semua informasi yang dibutuhkan dapat dengan mudah diakses.
Penulis sebagai pengguna platform media sosial Twitter juga banyak menemukan fenomena ini terjadi di kalangan netizen. Banyak terjadi kasus dimana seseorang hanya me-retweet, dari seorang influencer dengan komentar mendukung penuh, tanpa memahami betul apa yang ia dukung.
Hal-hal seperti inilah yang harus dihapuskan dari mindset anak-anak muda Indonesia, yang kelak akan menjadi penerus dari generasi tua saat ini. Karena hal tersebut tidak hanya menandakan tidak adanya prinsip, tapi juga mindset remaja Indonesia yang tidak berani mengemukakan opininya di lingkungan yang sudah terisi oleh para “mayoritas”. Adanya perilaku tidak percaya diri inilah yang kelak akan menghancurkan kualitas remaja perlahan-lahan.
Mindset negatif inilah yang penulis sebut sebagai racun literasi, karena budaya literasi itu seharusnya membawa banyak wawasan baru, tapi dengan mindset kolot seperti yang disebutkan di atas, maka tidak akan ada wawasan atau pun ilmu baru yang didapatkan.
Yang didapatkan adalah kepercayaan diri semu, pede karena mengemukakan pernyataan/opini yang dikutip dari seorang influencer, seakan-akan influencer tersebut adalah sumber ilmu. Padahal nyatanya influencer hanya ingin mendapat uang dari trafik yang ramai di akunnya.
Di zaman dimana kebebasan beropini senantiasa disuarakan, dan para anti-demokrasi selalu dibungkam, adakah tempat buat pemuda yang hanya ikut-ikutan? Jawabannya tentu tidak.
Tidak ada tempat untuk mereka yang tak berprinsip. Hanya ada tempat untuk mereka yang tegas menyuarakan apa yang mereka percayai sebagai kebenaran. Bahkan di Swedia sudah ada pemuda umur belia, yang berani mengutarakan pendapatnya, mengumpulkan masa, dan melawan kebijakan dunia yang abai terhadap perubahan iklim bumi.
Sementara itu, sebagian dari kita di Indonesia banyak yang sudah tidak muda tapi prinsip masih goyah kesana kemari. Kebanyakan justru malah memilih untuk berkiblat kepada influencer-influencer yang dianggap “bijak” karena takut dicecar oleh netizen, takut dijauhi oleh teman karena berbeda pendapat. Itulah mental lemah orang-orang Indonesia, terkontaminasi racun literasi.
Berprinsip dalam Membaca
Mungkin sampai disini banyak pembaca yang bertanya-tanya, “untuk apa kita harus berprinsip dalam membaca? Bukannya itu adalah hak dan kebebasan tiap-tiap manusia?” Jawabannya simpel, karena perilaku tidak berprinsip akan merusak mental seseorang.
Mentalitas/keteguhan hati adalah sesuatu yang harus senantiasa kita jaga dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari bacaan di sekitar kita. Karena menjaga mental berarti menjaga martabat kita sebagai manusia.
Jika kita terlena dengan opini-opini orang di sekitar kita maka itu akan menjadikan kita tidak akan mampu berpendapat lagi. Karena merasa kuat, merasa mempunyai banyak pendukung atau backup saat kelak dihujat. Zona nyaman inilah yang akan mengikis mentalitas kita secara perlahan.
Sekarang coba bayangkan apa jadinya jika dahulu Bung Tomo hanya ngangguk-ngangguk ketika tentara Inggris memberi ultimatum kepada arek-arek Suroboyo? Mungkin sekarang Indonesia sudah menjadi bagian dari Commonwealth/persemakmuran Inggris.
Sebagaimana kasus Bung Tomo di atas, begitu pula Indonesia. Bangsa ini tidak butuh pemuda dengan mental tempe, yang hanya ikut-ikutan pendapat mayoritas. Indonesia butuh orang-orang berprinsip. Yang dibutuhkan adalah generasi muda yang tidak akan goyah walau dicekoki racun literasi.
Penulis adalah Siswa kelas X MIA 1 Mu’allimin Yogya (2020/2021)
- Artikel Terpuler -
Racun Literasi
M. Faiz Shofyan Hanafi Rabu, 15-12-2021 | - Dilihat: 114
Oleh: M. Faiz Shofyan Hanafi
Budaya literasi tidak melulu soal buku, tidak selalu terkait dengan karya terbaru Tere Liye, ataupun gaya bahasa unik Eka Kurniawan, tetapi literasi juga hadir di tingkatan yang sangat dekat dengan kita, yakni di sosial media. Literasi itu bisa berbentuk bacaan fisik seperti buku, maupun bacaan apa saja yang beredar di media sosial, baik dalam bentuk artikel, opini, thread, dan lain sebagainya.
Sebagai pembaca yang baik, tentu kita tidak boleh asal menerima semua mindset yang tertuang dalam bacaan-bacaan tersebut, karena sejatinya tulisan tetaplah tulisan, yakni hasil menulis orang lain. Dan tulisan tidak selalu menggambarkan mindset sang penulis, maka dari itu ada baiknya kita selalu menganggap semua bacaan tersebut as a grain of salt atau sekedar membaca saja.
Walaupun selalu ada sisi positif yang bisa kita ambil dari tulisan seseorang, tapi tetap saja kita harus punya prinsip terhadap cara membaca kita. Sebagai pembaca yang baik sudah seharusnya kita tidak mudah ikut-ikutan mindset seseorang yang ditulis dalam bukunya hanya karena menurut kita hal tersebut terdengar keren. Karena anggapan keren tersebut, kita kemudian koar-koar di seluruh platform media sosial agar bisa terlihat keren memposting kata-kata kutipan tulisan orang lain.
Fenomena Tong Kosong
Di samping perbuatan tersebut adalah perumpamaan “tong kosong nyaring bunyinya” sehingga akan membawa mudharat bukan hanya kepada kita. Karena kita hanya mengutip tanpa dasar dari tulisan orang lain, ia juga akan muncul sebagai potensi mudharat bagi orang lain yang tidak memiliki prinsip yang kuat dan mudah ikut-ikutan dalam perkara yang syubhat/abu-abu.
Praktek ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia secara umum. Apalagi didukung dengan adanya infrastruktur yang memadai di era digital 4.0, dimana semua informasi yang dibutuhkan dapat dengan mudah diakses.
Penulis sebagai pengguna platform media sosial Twitter juga banyak menemukan fenomena ini terjadi di kalangan netizen. Banyak terjadi kasus dimana seseorang hanya me-retweet, dari seorang influencer dengan komentar mendukung penuh, tanpa memahami betul apa yang ia dukung.
Hal-hal seperti inilah yang harus dihapuskan dari mindset anak-anak muda Indonesia, yang kelak akan menjadi penerus dari generasi tua saat ini. Karena hal tersebut tidak hanya menandakan tidak adanya prinsip, tapi juga mindset remaja Indonesia yang tidak berani mengemukakan opininya di lingkungan yang sudah terisi oleh para “mayoritas”. Adanya perilaku tidak percaya diri inilah yang kelak akan menghancurkan kualitas remaja perlahan-lahan.
Mindset negatif inilah yang penulis sebut sebagai racun literasi, karena budaya literasi itu seharusnya membawa banyak wawasan baru, tapi dengan mindset kolot seperti yang disebutkan di atas, maka tidak akan ada wawasan atau pun ilmu baru yang didapatkan.
Yang didapatkan adalah kepercayaan diri semu, pede karena mengemukakan pernyataan/opini yang dikutip dari seorang influencer, seakan-akan influencer tersebut adalah sumber ilmu. Padahal nyatanya influencer hanya ingin mendapat uang dari trafik yang ramai di akunnya.
Di zaman dimana kebebasan beropini senantiasa disuarakan, dan para anti-demokrasi selalu dibungkam, adakah tempat buat pemuda yang hanya ikut-ikutan? Jawabannya tentu tidak.
Tidak ada tempat untuk mereka yang tak berprinsip. Hanya ada tempat untuk mereka yang tegas menyuarakan apa yang mereka percayai sebagai kebenaran. Bahkan di Swedia sudah ada pemuda umur belia, yang berani mengutarakan pendapatnya, mengumpulkan masa, dan melawan kebijakan dunia yang abai terhadap perubahan iklim bumi.
Sementara itu, sebagian dari kita di Indonesia banyak yang sudah tidak muda tapi prinsip masih goyah kesana kemari. Kebanyakan justru malah memilih untuk berkiblat kepada influencer-influencer yang dianggap “bijak” karena takut dicecar oleh netizen, takut dijauhi oleh teman karena berbeda pendapat. Itulah mental lemah orang-orang Indonesia, terkontaminasi racun literasi.
Berprinsip dalam Membaca
Mungkin sampai disini banyak pembaca yang bertanya-tanya, “untuk apa kita harus berprinsip dalam membaca? Bukannya itu adalah hak dan kebebasan tiap-tiap manusia?” Jawabannya simpel, karena perilaku tidak berprinsip akan merusak mental seseorang.
Mentalitas/keteguhan hati adalah sesuatu yang harus senantiasa kita jaga dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari bacaan di sekitar kita. Karena menjaga mental berarti menjaga martabat kita sebagai manusia.
Jika kita terlena dengan opini-opini orang di sekitar kita maka itu akan menjadikan kita tidak akan mampu berpendapat lagi. Karena merasa kuat, merasa mempunyai banyak pendukung atau backup saat kelak dihujat. Zona nyaman inilah yang akan mengikis mentalitas kita secara perlahan.
Sekarang coba bayangkan apa jadinya jika dahulu Bung Tomo hanya ngangguk-ngangguk ketika tentara Inggris memberi ultimatum kepada arek-arek Suroboyo? Mungkin sekarang Indonesia sudah menjadi bagian dari Commonwealth/persemakmuran Inggris.
Sebagaimana kasus Bung Tomo di atas, begitu pula Indonesia. Bangsa ini tidak butuh pemuda dengan mental tempe, yang hanya ikut-ikutan pendapat mayoritas. Indonesia butuh orang-orang berprinsip. Yang dibutuhkan adalah generasi muda yang tidak akan goyah walau dicekoki racun literasi.
Penulis adalah Siswa kelas X MIA 1 Mu’allimin Yogya (2020/2021)
3 Komentar
2024-11-29 04:54:15
Ujbmhc
eriacta spider - forzest susan forzest fight
2024-11-29 13:36:17
Amwsln
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓі е‰ЇдЅњз”Ё - гѓ‰г‚シサイクリン гЃ®иіје…Ґ イソトレチノインの購入
2024-12-04 22:38:10
Exlmtq
buy indinavir pill - order confido where can i buy voltaren gel
3 Komentar
2024-11-29 04:54:15
Ujbmhc
eriacta spider - forzest susan forzest fight
2024-11-29 13:36:17
Amwsln
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓі е‰ЇдЅњз”Ё - гѓ‰г‚シサイクリン гЃ®иіје…Ґ イソトレチノインの購入
2024-12-04 22:38:10
Exlmtq
buy indinavir pill - order confido where can i buy voltaren gel
Tinggalkan Pesan