Perempuan dan Puasa Ramadhan
Rita Audriyanti Ahad, 10-4-2022 | - Dilihat: 18

Oleh: Rita Audriyanti
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS Al-Ashr:1-3)
Dalam rangka menggapai predikat perempuan yang beruntung, ketika Ramadan tiba, sadar bahwa hidup harus lebih baik daripada Ramadan sebelumnya. Sadar bahwa waktu merupakan anugerah terbaik dan tidak bisa diulang lagi. Waktu terus bergerak detik demi detik dan kita berada bersamanya. Bahwa ada kemungkinan kita akan berjumpa lagi dengan detik kemudian, itu hal lain.
Lebih baik menjaga dan memanfaatkan waktu yang ada saat ini. Masa yang sudah berlalu tak bisa diubah lagi. Ia hanya tinggal kenangan dan pelajaran. Waktu hari ini adalah saat terbaik untuk berbuat, melakukan sesuatu secara optimal. Di sinilah kesadaran diperlukan. Manusia yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik daripada kemarin.
Tak dapat dipungkiri, keberadaan perempuan, khususnya dalam ranah domestik, sebagai istri dan ibu, memainkan peran istimewa dan sangat berarti bagi keluarga. Ramadan merupakan bulan yang berbeda dengan sebelas bulan lainnya.
Istri dan ibu yang sadar serta ingin menjadi lebih baik, biasanya memiliki perencanaan dengan segala target yang ingin dicapai. Kita tahu, perubahan jadwal kegiatan memerlukan penyesuaian. Karena itu, sebelum Ramadan tiba, mengatur rencana jadwal kegiatan menjadi sangat penting.
Pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir telah memberi banyak pengalaman dan bekal pengetahuan, khususnya bagi kaum istri dan ibu. Rumah menjadi titik sentral berbagai aktivitas yang selama ini banyak dilakukan di luar rumah.
Seharusnya dari titik ini kita memulai perbaikan kualitas hidup. Rutinitas di bulan suci ini jangan lagi menjadi sesuatu yang begitu-begitu saja. Jangan justru di bulan Ramadan lebih banyak terjadi pemborosan materi, konsumsi, waktu, dan tenaga. Karena hasil dari itu semua hanya penyesalan dan berharap akan memperbaikinya pada Ramadan mendatang.
Fakta lain yang dialami banyak perempuan, terutama istri atau ibu, mereka lebih banyak menjadi “korban” manajemen Ramadan yang keliru: Bangun paling awal dan tidur paling akhir.
Hal itu karena Ramadan diperlakukan secara “istimewa”, namun lebih secara fisik, material, dan seremonial. Misalnya, demi memanjakan keluarga, perempuan menyajikan makanan dan minuman beraneka ragam. Beribadah terburu-buru.
Waktu istirahat tidak teratur, serta mengakhiri Ramadan atau menyambut Idulfitri justru makin sibuk. Bahkan, lupa dengan keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadan.
Benarlah peringatan Rasulullah, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut kecuali hanya lapar dan dahaga." (HR Tabrani). Apakah mungkin perilaku seperti ini memberi efek perbaikan pada mental, jiwa, dan spiritual kita agar hidup terbarui? Sayangnya, hal yang sama terus berulang.
Kinilah saatnya para istri dan ibu sebagai pemegang kunci manajemen rumah tangga melakukan evaluasi diri. Duduk bersama suami/ayah dan anak-anak untuk membuat perencanaan dan strategi mengisi bulan Ramadan dengan kegiatan yang berkualitas, tertib, dan disiplin.
Secara logis, seharusnya pada bulan puasa konsumsi makanan dan minuman lebih sedikit dibandingkan di luar Ramadan. Ibadah kita lebih tepat waktu, teratur, khusyuk, dengan suasana nyaman dan tenang. Kepedulian kepada sesama makin peka. Dengan tetap melaksanakan tugas rutin keseharian, namun dengan pola yang setingkat lebih baik dari hari-hari biasa.
Ramadan kita harus makin berkualitas. Lebih sehat lahir-batin dan makin kaya secara mental, spiritual, dan akal. Bukan mustahil. Masalahnya, apakah kita mau membuat perubahan dan pembaruan pada setiap Ramadan yang hasilnya pasti tampak di luar Ramadan.
Umat Islam adalah umat paripurna. Selayaknya peradaban berada di tangan kita. Kita pemimpin. Bukan pemuji umat lain yang konsisten dengan waktu untuk menjalankan amal ibadah mereka. Sebab, kita sendiri diajarkan untuk menghargai dan mengelola waktu dengan baik. Wallahu a’lam.
_____
Rita Audriyanti, Ibu Rumah Tangga, Penulis 10 Buku Solo dan 76 Buku Antologi
- Artikel Teropuler -
Perempuan dan Puasa Ramadhan
Rita Audriyanti Ahad, 10-4-2022 | - Dilihat: 18

Oleh: Rita Audriyanti
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS Al-Ashr:1-3)
Dalam rangka menggapai predikat perempuan yang beruntung, ketika Ramadan tiba, sadar bahwa hidup harus lebih baik daripada Ramadan sebelumnya. Sadar bahwa waktu merupakan anugerah terbaik dan tidak bisa diulang lagi. Waktu terus bergerak detik demi detik dan kita berada bersamanya. Bahwa ada kemungkinan kita akan berjumpa lagi dengan detik kemudian, itu hal lain.
Lebih baik menjaga dan memanfaatkan waktu yang ada saat ini. Masa yang sudah berlalu tak bisa diubah lagi. Ia hanya tinggal kenangan dan pelajaran. Waktu hari ini adalah saat terbaik untuk berbuat, melakukan sesuatu secara optimal. Di sinilah kesadaran diperlukan. Manusia yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik daripada kemarin.
Tak dapat dipungkiri, keberadaan perempuan, khususnya dalam ranah domestik, sebagai istri dan ibu, memainkan peran istimewa dan sangat berarti bagi keluarga. Ramadan merupakan bulan yang berbeda dengan sebelas bulan lainnya.
Istri dan ibu yang sadar serta ingin menjadi lebih baik, biasanya memiliki perencanaan dengan segala target yang ingin dicapai. Kita tahu, perubahan jadwal kegiatan memerlukan penyesuaian. Karena itu, sebelum Ramadan tiba, mengatur rencana jadwal kegiatan menjadi sangat penting.
Pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir telah memberi banyak pengalaman dan bekal pengetahuan, khususnya bagi kaum istri dan ibu. Rumah menjadi titik sentral berbagai aktivitas yang selama ini banyak dilakukan di luar rumah.
Seharusnya dari titik ini kita memulai perbaikan kualitas hidup. Rutinitas di bulan suci ini jangan lagi menjadi sesuatu yang begitu-begitu saja. Jangan justru di bulan Ramadan lebih banyak terjadi pemborosan materi, konsumsi, waktu, dan tenaga. Karena hasil dari itu semua hanya penyesalan dan berharap akan memperbaikinya pada Ramadan mendatang.
Fakta lain yang dialami banyak perempuan, terutama istri atau ibu, mereka lebih banyak menjadi “korban” manajemen Ramadan yang keliru: Bangun paling awal dan tidur paling akhir.
Hal itu karena Ramadan diperlakukan secara “istimewa”, namun lebih secara fisik, material, dan seremonial. Misalnya, demi memanjakan keluarga, perempuan menyajikan makanan dan minuman beraneka ragam. Beribadah terburu-buru.
Waktu istirahat tidak teratur, serta mengakhiri Ramadan atau menyambut Idulfitri justru makin sibuk. Bahkan, lupa dengan keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadan.
Benarlah peringatan Rasulullah, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut kecuali hanya lapar dan dahaga." (HR Tabrani). Apakah mungkin perilaku seperti ini memberi efek perbaikan pada mental, jiwa, dan spiritual kita agar hidup terbarui? Sayangnya, hal yang sama terus berulang.
Kinilah saatnya para istri dan ibu sebagai pemegang kunci manajemen rumah tangga melakukan evaluasi diri. Duduk bersama suami/ayah dan anak-anak untuk membuat perencanaan dan strategi mengisi bulan Ramadan dengan kegiatan yang berkualitas, tertib, dan disiplin.
Secara logis, seharusnya pada bulan puasa konsumsi makanan dan minuman lebih sedikit dibandingkan di luar Ramadan. Ibadah kita lebih tepat waktu, teratur, khusyuk, dengan suasana nyaman dan tenang. Kepedulian kepada sesama makin peka. Dengan tetap melaksanakan tugas rutin keseharian, namun dengan pola yang setingkat lebih baik dari hari-hari biasa.
Ramadan kita harus makin berkualitas. Lebih sehat lahir-batin dan makin kaya secara mental, spiritual, dan akal. Bukan mustahil. Masalahnya, apakah kita mau membuat perubahan dan pembaruan pada setiap Ramadan yang hasilnya pasti tampak di luar Ramadan.
Umat Islam adalah umat paripurna. Selayaknya peradaban berada di tangan kita. Kita pemimpin. Bukan pemuji umat lain yang konsisten dengan waktu untuk menjalankan amal ibadah mereka. Sebab, kita sendiri diajarkan untuk menghargai dan mengelola waktu dengan baik. Wallahu a’lam.
_____
Rita Audriyanti, Ibu Rumah Tangga, Penulis 10 Buku Solo dan 76 Buku Antologi
0 Komentar
Tinggalkan Pesan