PUASA YANG SESUNGGUHNYA
Imam Suprayogo Kamis, 7-4-2022 | - Dilihat: 26

Oleh: Imam Suprayogo
Ramadan sudah datang. Umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa sebulan penuh. Banyak orang memahami bahwa puasa adalah aktivitas ibadah untuk memenuhi perintah Allah agar mendapatkan pahala dan balasan di akhirat kelak. Pemahaman seperti itu tentu tidak keliru.
Selain itu, puasa juga dimaknai sebagai upaya untuk meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami-istri di siang hari. Lagi-lagi, pemahaman ini juga tidak salah, karena berpuasa memang meninggalkan dari kegiatan-kegiatan tersebut.
Namun, sebenarnya puasa di bulan Ramadan memiliki makna yang lebih luas dan lebih mendalam. Puasa dan juga kegiatan ritual lainnya sebenarnya adalah untuk meraih kemenangan dalam pergumulan antara dua kekuatan yang ada pada diri sendiri. Kekuatan yang dimaksud adalah antara keimanan dan kekafiran pada diri yang selalu dimiliki setiap orang (QS At-Taghabun: 2).
Selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, Mukmin diwajibkan mempuasakan hawa nafsu, dunia, dan setan yang ada pada dirinya. Dalam pemahaman seperti ini, maka yang berpuasa adalah iman. Sementara itu, yang dipuasakan adalah sifat-sifat manusia yang merupakan sifat bawaan sebagai keturunan Adam.
Sebaliknya, pada bulan Ramadan, sebulan penuh itu, yang dikukuhkan adalah kekuatan iman, sebagai turunan Muhammad, yaitu sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Secara syariat, puasa dilakukan dengan cara meninggalkan makan, minum, hubungan suami-istri, dan hal-lain lain yang membatalkan puasa.
Tapi kegiatan-kegiatan seperti itu sebatas syariatnya. Lebih dari itu, yang harus diraih adalah hakikat daripada puasa itu sendiri, yaitu menahan hawa nafsu, dunia, dan setan, sebagaimana disebut di muka.
Meraih hakikat puasa sedemikian penting agar Mukmin benar-benar mendapatkan manfaat yang sebenarnya dari puasanya. Jika tidak demikian, puasa yang dijalankan hanya akan memperoleh lapar dan dahaga saja.
Nabi Muhammad mengatakan bahwa sedemikian banyak orang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga. Artinya, puasa tidak sekadar meninggalkan makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri di siang hari.
Di akhir bulan Ramadan disebut bahwa orang yang berpuasa meraih kemenangan. Pertanyaannya adalah siapa yang menang dan menang atas siapa. Tentu yang menang adalah keimanan yang ada pada dirinya. Yang bersangkutan berhasil merawat dan menjaga sifat-sifat turunan dari Rasulullah Muhammad, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Sebaliknya, selama sebulan penuh berhasil membelenggu sifat-sifat turunan Adam, yaitu hawa nafsu, dunia, dan setan.Juga, itulah sebabnya, sering terdengar bahwa pada bulan Ramadan, setan dibelenggu. Artinya, setan yang ada pada diri orang yang sedang berpuasa tersebut seharusnya dibelenggu. Yaitu, dibelenggu oleh orang yang sedang berpuasa itu sendiri.
Jika puasa yang demikian bisa dilakukan, Mukmin akan memperoleh kemenangan. Artinya, keimanannya mampu mengalahkan kekafiran yang ada pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut bertakwa, dalam hidupnya mengikuti Rasulullah, dan buahnya disayang oleh Allah SWT. Itulah Mukmin yang disebut telah memperoleh berkah dari ibadah puasanya. Wallahu a'lam.
_____
Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 1997-2013
- Artikel Teropuler -
PUASA YANG SESUNGGUHNYA
Imam Suprayogo Kamis, 7-4-2022 | - Dilihat: 26

Oleh: Imam Suprayogo
Ramadan sudah datang. Umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa sebulan penuh. Banyak orang memahami bahwa puasa adalah aktivitas ibadah untuk memenuhi perintah Allah agar mendapatkan pahala dan balasan di akhirat kelak. Pemahaman seperti itu tentu tidak keliru.
Selain itu, puasa juga dimaknai sebagai upaya untuk meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami-istri di siang hari. Lagi-lagi, pemahaman ini juga tidak salah, karena berpuasa memang meninggalkan dari kegiatan-kegiatan tersebut.
Namun, sebenarnya puasa di bulan Ramadan memiliki makna yang lebih luas dan lebih mendalam. Puasa dan juga kegiatan ritual lainnya sebenarnya adalah untuk meraih kemenangan dalam pergumulan antara dua kekuatan yang ada pada diri sendiri. Kekuatan yang dimaksud adalah antara keimanan dan kekafiran pada diri yang selalu dimiliki setiap orang (QS At-Taghabun: 2).
Selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, Mukmin diwajibkan mempuasakan hawa nafsu, dunia, dan setan yang ada pada dirinya. Dalam pemahaman seperti ini, maka yang berpuasa adalah iman. Sementara itu, yang dipuasakan adalah sifat-sifat manusia yang merupakan sifat bawaan sebagai keturunan Adam.
Sebaliknya, pada bulan Ramadan, sebulan penuh itu, yang dikukuhkan adalah kekuatan iman, sebagai turunan Muhammad, yaitu sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Secara syariat, puasa dilakukan dengan cara meninggalkan makan, minum, hubungan suami-istri, dan hal-lain lain yang membatalkan puasa.
Tapi kegiatan-kegiatan seperti itu sebatas syariatnya. Lebih dari itu, yang harus diraih adalah hakikat daripada puasa itu sendiri, yaitu menahan hawa nafsu, dunia, dan setan, sebagaimana disebut di muka.
Meraih hakikat puasa sedemikian penting agar Mukmin benar-benar mendapatkan manfaat yang sebenarnya dari puasanya. Jika tidak demikian, puasa yang dijalankan hanya akan memperoleh lapar dan dahaga saja.
Nabi Muhammad mengatakan bahwa sedemikian banyak orang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga. Artinya, puasa tidak sekadar meninggalkan makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri di siang hari.
Di akhir bulan Ramadan disebut bahwa orang yang berpuasa meraih kemenangan. Pertanyaannya adalah siapa yang menang dan menang atas siapa. Tentu yang menang adalah keimanan yang ada pada dirinya. Yang bersangkutan berhasil merawat dan menjaga sifat-sifat turunan dari Rasulullah Muhammad, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Sebaliknya, selama sebulan penuh berhasil membelenggu sifat-sifat turunan Adam, yaitu hawa nafsu, dunia, dan setan.Juga, itulah sebabnya, sering terdengar bahwa pada bulan Ramadan, setan dibelenggu. Artinya, setan yang ada pada diri orang yang sedang berpuasa tersebut seharusnya dibelenggu. Yaitu, dibelenggu oleh orang yang sedang berpuasa itu sendiri.
Jika puasa yang demikian bisa dilakukan, Mukmin akan memperoleh kemenangan. Artinya, keimanannya mampu mengalahkan kekafiran yang ada pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut bertakwa, dalam hidupnya mengikuti Rasulullah, dan buahnya disayang oleh Allah SWT. Itulah Mukmin yang disebut telah memperoleh berkah dari ibadah puasanya. Wallahu a'lam.
_____
Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 1997-2013
1 Komentar

2022-04-07 14:01:23
Nasaruddin.
Terima kasih atas ilmunya, Prof. Barakallahu fik.
1 Komentar
2022-04-07 14:01:23
Nasaruddin.
Terima kasih atas ilmunya, Prof. Barakallahu fik.
Tinggalkan Pesan