• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Mengemis: Kebiasaan dan Ketergantungan

Alfin Nur Ridwan Sabtu, 4-2-2023 | - Dilihat: 35

banner

Oleh: Alfin Nur Ridwan

Dalam perjalanan menuju kampus, di sudut persimpangan ada pemandangan yang mungkin tak asing bagi warga Solo, khususnya yang berada di sekitar UMS. Di tengah hiruk-pikuk kendaraan, ketika lampu merah mendapatkan gilirannya, ia hadir di depan para pengendara dengan penampilan tubuh dibalut cat berwarna silver. Dengan memberikan hormat atau gesture tertentu kepada para pengendara, ia meminta belas kasih.

Fenomena ini tentu tidak hanya terjadi di Solo saja. Entah berapa banyak jumlah mereka, di mana basis utamanya, siapa dalang di balik tindakan tersebut, yang pasti kehadirannya menemani waktu tunggu para pengendara menanti lampu berganti hijau.

Kemunculan manusia silver ini pada awalnya merupakan sebuah komunitas berkedok gerakan donasi untuk anak yatim. Akan tetapi seiring berjalannya waktu justru eksistensi komunitas manusia silver seolah menjadi penghuni tetap lampu lalu lintas, yang tak lagi meminta untuk donasi melainkan untuk kepentingan pribadi.

Penulis di sini bukanlah bermaksud menghardik mereka yang meminta-minta, tidak juga mendukung aksi dan juga keberadannya, ini merupakan bentuk keheranan semata dan keresahan. Di satu sisi prihatin, di sisi lain kecewa dengan sistem yang membuat kesenjangan sosial di Indonesia makin menjadi-jadi. Sehingga seolah-meminta-minta itu menjadi sebuah pekerjaan yang sah-sah saja di tengah krisis ekonomi yang menimpa.

Terbesit dalam benak mengapa fenomena meminta-minta di Indonesia nampaknya menjadi suatu hal yang wajar dilakukan ketika masyarakat dilanda krisis dalam hidupnya. Sejak kapan hal tersebut terjadi dan bagaimana kemudian itu bisa menjadi seperti budaya di Indonesia? Lalu kenapa kerap kali mereka yang meminta-minta lebih akrab disebut dengan “pengemis”?

Asal-Usul Pengemis: Sedekah Raja Jawa dan Wong Kemisan

Di era pemerintahan Susuhunan Pakubuwono X (1893), hari Kamis di kesultanan Surakarta menjadi begitu penting bagi masyarakatnya – sebelum menyambut hari Jum’at yang dianggap mulia. Pada hari tersebut raja mereka berkenan keluar dari keraton untuk meninjau keadaan rakyat. Dan dalam setiap perjalanannya dari keraton menuju Masjid Agung atau tempat-tempat lainnya sang raja senantiasa membagikan sedekah kepada masyarakat yang sudah berkerumun menanti kehadirannya berupa uang-uang koin.

Mulanya, setiap hari Kamis orang-orang pada saat itu keluar demi berjumpa dengan raja mereka dengan menggunakan atribut pakaian rapi. Begitu raja melewati mereka dan menyebarkan uang koin, mereka pun menunduk hormat menerima pemberian tersebut sebagai bentuk berkah tak ternilai. Sehingga lambat laun orang-orang yang senantiasa menanti pemberian raja pada hari Kamis tersebut pun dikenal sebagai “Wong Kemisan” yang kemudian disingkat lagi menjadi “Wong Ngemis”.

Cerita mengenai tradisi yang dilakukan oleh Susuhunan Pakubowono X tersebut secara jelasnya terdapat dalam Serat Sri Karongrong Jilid III, yang menggambarkan antusiasnya masyarakat kala itu menyambut pemberian dari sang raja yang rutin dilakukan di hari Kamis tersebut. Orang-orang saat itu tidak sekadar menganggap pemberian tersebut sebagai sesuatu yang berarti, akan tetapi menganggap itu sebagai berkah dari Tuhan.

Transformasi Wong Ngemis Menjadi Pengemis

Selepas Susuhunan Pakubuwono X menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1939, tradisi Wong Kemisan atau Wong Ngemis ini lantas tidak hanya ada di hari Kamis saja, melainkan ada pula di setiap ada keramaian dan di berbagai tempat. Yang mana Wong Ngemis tersebut didominasi oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu. Pada akhirnya arti kata “Wong Kemis” berubah dari masyarakat yang menerima sedekah dari sang raja di hari Kamis menjadi orang yang meminta-minta pemberian dari orang lain.

Makna ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “pengemis”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri arti “pengemis” memiliki makna sebagai orang yang meminta-minta sedekah. Kendati demikian, kata pengemis atau mengemis dalam bahasa Indonesia memiliki arti dasar yang berbeda dengan Wong Kemis atau Wong Ngemis. Jika dasar kata Wong Ngemis/Kemis dalam bahasa Jawa memiliki arti Kamis, maka dalam bahasa Indonesia pengemis berasal dari kata “e-mis” yang artinya meminta-minta.

Dari sejarahnya tersebut kita dapat mengetahui bahwasannya istilah “pengemis” yang ditujukan pada orang yang meminta-minta itu pada mulanya merupakan sebuah kebiasaan masyarakat di zaman Susuhunan Pakubuwono X yang menanti pemberian dari sang raja di setiap hari Kamis. Namun kebiasaan tersebut nampaknya menjadi sebuah ketergantungan pada masyarakat saat itu sehingga mereka yang tak berkecukupan hanya bisa berharap pemberian dari orang lain tuk bisa mencukupi hidupnya.

Dan sayangnya ketergantungan macam itupun nampaknya terus menerus mengakar pada masyarakat yang kurang mampu hingga saat ini. Sehingga ketika seseorang sudah mencapai titik dimana ia mengalami krisis dalam perekonomiannya, tak sedikit yang kemudian enggan berusaha dan lebih memilih jalan yang lebih praktis dengan cara meminta - terlepas dari berbagai ragam caranya.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Mengemis: Kebiasaan dan Ketergantungan

Alfin Nur Ridwan Sabtu, 4-2-2023 | - Dilihat: 35

banner

Oleh: Alfin Nur Ridwan

Dalam perjalanan menuju kampus, di sudut persimpangan ada pemandangan yang mungkin tak asing bagi warga Solo, khususnya yang berada di sekitar UMS. Di tengah hiruk-pikuk kendaraan, ketika lampu merah mendapatkan gilirannya, ia hadir di depan para pengendara dengan penampilan tubuh dibalut cat berwarna silver. Dengan memberikan hormat atau gesture tertentu kepada para pengendara, ia meminta belas kasih.

Fenomena ini tentu tidak hanya terjadi di Solo saja. Entah berapa banyak jumlah mereka, di mana basis utamanya, siapa dalang di balik tindakan tersebut, yang pasti kehadirannya menemani waktu tunggu para pengendara menanti lampu berganti hijau.

Kemunculan manusia silver ini pada awalnya merupakan sebuah komunitas berkedok gerakan donasi untuk anak yatim. Akan tetapi seiring berjalannya waktu justru eksistensi komunitas manusia silver seolah menjadi penghuni tetap lampu lalu lintas, yang tak lagi meminta untuk donasi melainkan untuk kepentingan pribadi.

Penulis di sini bukanlah bermaksud menghardik mereka yang meminta-minta, tidak juga mendukung aksi dan juga keberadannya, ini merupakan bentuk keheranan semata dan keresahan. Di satu sisi prihatin, di sisi lain kecewa dengan sistem yang membuat kesenjangan sosial di Indonesia makin menjadi-jadi. Sehingga seolah-meminta-minta itu menjadi sebuah pekerjaan yang sah-sah saja di tengah krisis ekonomi yang menimpa.

Terbesit dalam benak mengapa fenomena meminta-minta di Indonesia nampaknya menjadi suatu hal yang wajar dilakukan ketika masyarakat dilanda krisis dalam hidupnya. Sejak kapan hal tersebut terjadi dan bagaimana kemudian itu bisa menjadi seperti budaya di Indonesia? Lalu kenapa kerap kali mereka yang meminta-minta lebih akrab disebut dengan “pengemis”?

Asal-Usul Pengemis: Sedekah Raja Jawa dan Wong Kemisan

Di era pemerintahan Susuhunan Pakubuwono X (1893), hari Kamis di kesultanan Surakarta menjadi begitu penting bagi masyarakatnya – sebelum menyambut hari Jum’at yang dianggap mulia. Pada hari tersebut raja mereka berkenan keluar dari keraton untuk meninjau keadaan rakyat. Dan dalam setiap perjalanannya dari keraton menuju Masjid Agung atau tempat-tempat lainnya sang raja senantiasa membagikan sedekah kepada masyarakat yang sudah berkerumun menanti kehadirannya berupa uang-uang koin.

Mulanya, setiap hari Kamis orang-orang pada saat itu keluar demi berjumpa dengan raja mereka dengan menggunakan atribut pakaian rapi. Begitu raja melewati mereka dan menyebarkan uang koin, mereka pun menunduk hormat menerima pemberian tersebut sebagai bentuk berkah tak ternilai. Sehingga lambat laun orang-orang yang senantiasa menanti pemberian raja pada hari Kamis tersebut pun dikenal sebagai “Wong Kemisan” yang kemudian disingkat lagi menjadi “Wong Ngemis”.

Cerita mengenai tradisi yang dilakukan oleh Susuhunan Pakubowono X tersebut secara jelasnya terdapat dalam Serat Sri Karongrong Jilid III, yang menggambarkan antusiasnya masyarakat kala itu menyambut pemberian dari sang raja yang rutin dilakukan di hari Kamis tersebut. Orang-orang saat itu tidak sekadar menganggap pemberian tersebut sebagai sesuatu yang berarti, akan tetapi menganggap itu sebagai berkah dari Tuhan.

Transformasi Wong Ngemis Menjadi Pengemis

Selepas Susuhunan Pakubuwono X menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1939, tradisi Wong Kemisan atau Wong Ngemis ini lantas tidak hanya ada di hari Kamis saja, melainkan ada pula di setiap ada keramaian dan di berbagai tempat. Yang mana Wong Ngemis tersebut didominasi oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu. Pada akhirnya arti kata “Wong Kemis” berubah dari masyarakat yang menerima sedekah dari sang raja di hari Kamis menjadi orang yang meminta-minta pemberian dari orang lain.

Makna ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “pengemis”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri arti “pengemis” memiliki makna sebagai orang yang meminta-minta sedekah. Kendati demikian, kata pengemis atau mengemis dalam bahasa Indonesia memiliki arti dasar yang berbeda dengan Wong Kemis atau Wong Ngemis. Jika dasar kata Wong Ngemis/Kemis dalam bahasa Jawa memiliki arti Kamis, maka dalam bahasa Indonesia pengemis berasal dari kata “e-mis” yang artinya meminta-minta.

Dari sejarahnya tersebut kita dapat mengetahui bahwasannya istilah “pengemis” yang ditujukan pada orang yang meminta-minta itu pada mulanya merupakan sebuah kebiasaan masyarakat di zaman Susuhunan Pakubuwono X yang menanti pemberian dari sang raja di setiap hari Kamis. Namun kebiasaan tersebut nampaknya menjadi sebuah ketergantungan pada masyarakat saat itu sehingga mereka yang tak berkecukupan hanya bisa berharap pemberian dari orang lain tuk bisa mencukupi hidupnya.

Dan sayangnya ketergantungan macam itupun nampaknya terus menerus mengakar pada masyarakat yang kurang mampu hingga saat ini. Sehingga ketika seseorang sudah mencapai titik dimana ia mengalami krisis dalam perekonomiannya, tak sedikit yang kemudian enggan berusaha dan lebih memilih jalan yang lebih praktis dengan cara meminta - terlepas dari berbagai ragam caranya.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech