Khawarij dan Gerakan Radikalisme
Wahyu Hidayat Ahad, 8-1-2023 | - Dilihat: 42

Oleh: Wahyu Hidayat
Akar Sejarah Khawarij
Di dalam kitab “’Ilmu Kalam wa madarisuhu” disebutkan bahwa kemunculan aliran-aliran teologi seperti khawarij pada dasarnya tidak terlepas dari permasalahan politik yang ada pada masa itu. Kemunculan kelompok ini ditandai dengan ketidak-sukaan mereka terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan Utsman semasa menjabat sebagai khalifah.
Gaungnya makin menguat pada kekhalifahan Ali saat peristiwa arbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan konflik dengan Mu’awiyah. Bagi khawarij, Ali telah keluar dari Islam dan menjadi kafir karena tidak menggunakan hukum Allah sebagai pijakan. Di sinilah perubahan pandangan politik menjadi pandangan teologi.
Secara bahasa, khawarij berarti keluar. Nama tersebut disandarkan kepada mereka karena telah keluar dari barisan Ali. Mereka memiliki tiga tokoh utama, Abdullah ibnul Kiwa’, Abdullah bin Wahab al-Rasibi al-Harami, dan Harqush bin Zuhair. Pada saat itu, Ali sebagai pimpinan pemerintah yang sah mengajak para pemberontak ini untuk kembali.
Sayangnya, mereka menolak ajakan Ali, hingga pada akhirnya Ali menyerang mereka lantas terjadilah pertempuran hebat. Pertempuran ini dilakukan terus menerus hingga pemerintahan Dinasti Umayah, tepatnya saat dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Corak pemikiran
Terdapat lima point penting yang menjadi corak pemikiran khawarij menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Pertama, pengangkatan khalifah akan sah berdasarkan pemilihan yang bebas, tanpa adanya unsur diskriminasi. Kedua, jabatan khalifah tidak hanya diperuntukkan dan dimonopoli oleh suku Quraisyi atau keluarga Arab tertentu dan menafikkan bangsa lain.
Ketiga, pengangkatan khalifah tidak dibutuhkan lagi ketika sebuah peradaban dapat menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Keempat, orang yang terlibat perang jamal dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkannya adalah kafir. Dan terakhir, orang yang berdosa besar adalah kafir.
Begitu jelas bahwa corak pemikiran khawarij didominasi permasalahan politik. Menurut Harun Nasution, persoalan politik inilah yang pada akhirnya berdampak besar pada pandangan teologis. Mereka sampai pada tahap memandang orang lain yang tidak sependapat sebagai kafir dan halal untuk dibunuh. Mereka menjalankan pemahaman mereka terhadap agama menurut pemahaman mereka sendiri, sedang jika ada pendapat yang berseberangan maka dapat dipastikan pendapat tersebut salah.
Pada perkembangannya, kelompok khawarij ini terbagi menjadi berbagai sekte, namun kesemuanya memiliki pandangan yang sama, yaitu penggunaan cara kekerasan dalam mencapai sebuah tujuan, termasuk membunuh. Belakangan, penyebutan radikal selalu disamakan dengan mereka, karena keduanya sama-sama memandang paling benar kelompoknya dan menyalahkan kelompok selain mereka.
Radikalisme
Dalam konteks Indonesia, radikalisme menjadi momok yang cukup mengerikan, sehingga dilakukan berbagai upaya untuk menolaknya. Penolakan gerakan radikalisme dilakukan di lingkungan masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, bahkan sampai lembaga Pendidikan Usia Dini yang justru menimbulkan kontroversi nasional.
Menurut Haedar Nashir, gerakan radikalisme Islam terkadang secara tidak langsung bersentuhan dengan gerakan Islamophobia. Memang harus diakui bahwa terdapat gerakan radikal-ekstrimis seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah serta kelompok jihadis baik di lingkungan nasional maupun internasional menggunakan payung Islam.
Gerakan deradikalisasi yang dilakukan di masjid, majelis taklim serta berbagai kelembagaan umat Islam lainnya tak begitu mengherankan. Meski demikian kita harus menyadari bahwa gerakan radikalisme merupakan gerakan universal yang tidak mengikat pada satu golongan atau agama tertentu. Penamaan radikal bersifat netral dalam dunia pemikiran dan gerakan.
Masih menurut Haedar, gerakan radikal cukup sering berbenturan dengan gerakan radikal lainnya sebagaimana istilah dari Tariq Ali, the clash of fundamentalism. Ia mengambil contoh dari sosok Oesama bin Laden dan George W. Bush yang masing-masing mewakili gerakan radikalnya, yang satu di bidang agama dan yang lain di bidang ideologi politik.
Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya mengambil dua contoh bias masyarakat dalam memandang gerakan radikal. Kasus pertama ketika seseorang melakukan sweeping di tempat maksiat dengan dalih agama sebagai pembanaran padahal mengambil tugas dan peran kepolisian, maka secara otomatis akan disebut sebagai gerakan radikal.
Namun, tatkala ada sekelompok orang yang mengatas-namakan nasionalisme dan bela NKRI, melakukan sweeping dengan mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik atau berbeda faham agama tidak akan disebut sebagai gerakan radikal. Padahal menurut Haedar kedua tindakan tersebut sama radikalnya dalam artian ekstrimis dan membawa muatan kekerasan di luar otoritasnya.
Kelompok khawarij dan radikal memiliki kesamaan, yaitu memandang dirinya sebagai kelompok yang paling benar lantas dengan mudah menyalahkan kelompok lain dan tak segan melakukan tindakan di luar wewenang. Hal yang paling membedakan adalah jika khawarij mencari pembenaran mereka melalui dalil agama-dalam hal ini Islam-, sedangkan kelompok radikal tidak selalu berlandaskan pada agama. Landasan bertindak kaum radikal bisa saja dari ideologi seperti nasionalisme atau yang lainnya.
Indonesia sebagai sebuah bangsa lahir dari proses sejarah yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderat. Masyarakat Indonesia sejak awal memiliki sejarah akulturasi terhadap berbagai budaya dengan sangat terbuka. Jangan sampai nilai-nilai moderat yang dibangun selama ini runtuh lantaran klaim subjektif setiap individu dan kelompok.
Tindakan merasa paling benar sendiri harus semakin dihilangkan, termasuk gerakan radikal. Gerakan radikal tidak dapat dilawan dengan gerakan radikal lainnya. Tindakan deradikalisasi dengan menggunakan cara radikal terhadap gerakan radikal akan membuat gerakan radikal baru.
- Artikel Teropuler -
Khawarij dan Gerakan Radikalisme
Wahyu Hidayat Ahad, 8-1-2023 | - Dilihat: 42

Oleh: Wahyu Hidayat
Akar Sejarah Khawarij
Di dalam kitab “’Ilmu Kalam wa madarisuhu” disebutkan bahwa kemunculan aliran-aliran teologi seperti khawarij pada dasarnya tidak terlepas dari permasalahan politik yang ada pada masa itu. Kemunculan kelompok ini ditandai dengan ketidak-sukaan mereka terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan Utsman semasa menjabat sebagai khalifah.
Gaungnya makin menguat pada kekhalifahan Ali saat peristiwa arbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan konflik dengan Mu’awiyah. Bagi khawarij, Ali telah keluar dari Islam dan menjadi kafir karena tidak menggunakan hukum Allah sebagai pijakan. Di sinilah perubahan pandangan politik menjadi pandangan teologi.
Secara bahasa, khawarij berarti keluar. Nama tersebut disandarkan kepada mereka karena telah keluar dari barisan Ali. Mereka memiliki tiga tokoh utama, Abdullah ibnul Kiwa’, Abdullah bin Wahab al-Rasibi al-Harami, dan Harqush bin Zuhair. Pada saat itu, Ali sebagai pimpinan pemerintah yang sah mengajak para pemberontak ini untuk kembali.
Sayangnya, mereka menolak ajakan Ali, hingga pada akhirnya Ali menyerang mereka lantas terjadilah pertempuran hebat. Pertempuran ini dilakukan terus menerus hingga pemerintahan Dinasti Umayah, tepatnya saat dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Corak pemikiran
Terdapat lima point penting yang menjadi corak pemikiran khawarij menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Pertama, pengangkatan khalifah akan sah berdasarkan pemilihan yang bebas, tanpa adanya unsur diskriminasi. Kedua, jabatan khalifah tidak hanya diperuntukkan dan dimonopoli oleh suku Quraisyi atau keluarga Arab tertentu dan menafikkan bangsa lain.
Ketiga, pengangkatan khalifah tidak dibutuhkan lagi ketika sebuah peradaban dapat menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Keempat, orang yang terlibat perang jamal dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkannya adalah kafir. Dan terakhir, orang yang berdosa besar adalah kafir.
Begitu jelas bahwa corak pemikiran khawarij didominasi permasalahan politik. Menurut Harun Nasution, persoalan politik inilah yang pada akhirnya berdampak besar pada pandangan teologis. Mereka sampai pada tahap memandang orang lain yang tidak sependapat sebagai kafir dan halal untuk dibunuh. Mereka menjalankan pemahaman mereka terhadap agama menurut pemahaman mereka sendiri, sedang jika ada pendapat yang berseberangan maka dapat dipastikan pendapat tersebut salah.
Pada perkembangannya, kelompok khawarij ini terbagi menjadi berbagai sekte, namun kesemuanya memiliki pandangan yang sama, yaitu penggunaan cara kekerasan dalam mencapai sebuah tujuan, termasuk membunuh. Belakangan, penyebutan radikal selalu disamakan dengan mereka, karena keduanya sama-sama memandang paling benar kelompoknya dan menyalahkan kelompok selain mereka.
Radikalisme
Dalam konteks Indonesia, radikalisme menjadi momok yang cukup mengerikan, sehingga dilakukan berbagai upaya untuk menolaknya. Penolakan gerakan radikalisme dilakukan di lingkungan masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, bahkan sampai lembaga Pendidikan Usia Dini yang justru menimbulkan kontroversi nasional.
Menurut Haedar Nashir, gerakan radikalisme Islam terkadang secara tidak langsung bersentuhan dengan gerakan Islamophobia. Memang harus diakui bahwa terdapat gerakan radikal-ekstrimis seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah serta kelompok jihadis baik di lingkungan nasional maupun internasional menggunakan payung Islam.
Gerakan deradikalisasi yang dilakukan di masjid, majelis taklim serta berbagai kelembagaan umat Islam lainnya tak begitu mengherankan. Meski demikian kita harus menyadari bahwa gerakan radikalisme merupakan gerakan universal yang tidak mengikat pada satu golongan atau agama tertentu. Penamaan radikal bersifat netral dalam dunia pemikiran dan gerakan.
Masih menurut Haedar, gerakan radikal cukup sering berbenturan dengan gerakan radikal lainnya sebagaimana istilah dari Tariq Ali, the clash of fundamentalism. Ia mengambil contoh dari sosok Oesama bin Laden dan George W. Bush yang masing-masing mewakili gerakan radikalnya, yang satu di bidang agama dan yang lain di bidang ideologi politik.
Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya mengambil dua contoh bias masyarakat dalam memandang gerakan radikal. Kasus pertama ketika seseorang melakukan sweeping di tempat maksiat dengan dalih agama sebagai pembanaran padahal mengambil tugas dan peran kepolisian, maka secara otomatis akan disebut sebagai gerakan radikal.
Namun, tatkala ada sekelompok orang yang mengatas-namakan nasionalisme dan bela NKRI, melakukan sweeping dengan mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik atau berbeda faham agama tidak akan disebut sebagai gerakan radikal. Padahal menurut Haedar kedua tindakan tersebut sama radikalnya dalam artian ekstrimis dan membawa muatan kekerasan di luar otoritasnya.
Kelompok khawarij dan radikal memiliki kesamaan, yaitu memandang dirinya sebagai kelompok yang paling benar lantas dengan mudah menyalahkan kelompok lain dan tak segan melakukan tindakan di luar wewenang. Hal yang paling membedakan adalah jika khawarij mencari pembenaran mereka melalui dalil agama-dalam hal ini Islam-, sedangkan kelompok radikal tidak selalu berlandaskan pada agama. Landasan bertindak kaum radikal bisa saja dari ideologi seperti nasionalisme atau yang lainnya.
Indonesia sebagai sebuah bangsa lahir dari proses sejarah yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderat. Masyarakat Indonesia sejak awal memiliki sejarah akulturasi terhadap berbagai budaya dengan sangat terbuka. Jangan sampai nilai-nilai moderat yang dibangun selama ini runtuh lantaran klaim subjektif setiap individu dan kelompok.
Tindakan merasa paling benar sendiri harus semakin dihilangkan, termasuk gerakan radikal. Gerakan radikal tidak dapat dilawan dengan gerakan radikal lainnya. Tindakan deradikalisasi dengan menggunakan cara radikal terhadap gerakan radikal akan membuat gerakan radikal baru.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan