Islam yang Diyakini dan yang Diamalkan
Salman Akif Faylasuf Senin, 20-2-2023 | - Dilihat: 20

Oleh: Salman Akif Faylasuf
Umat Islam sudah pasti sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan figur tunggal muslim yang paling ideal (tak ada duanya), di mana wahyu Tuhan dan praktik keislaman menyatu dan tidak ada perbedaan sedikitpun. Akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw adalah al-Qur’an itu sendiri (kana khuluquh al-Qur’an).
Karena itu, tak mengherankan jika Nabi Muhammad Saw di sebut-sebut sebagai al-Qur’an yang berjalan. Islam sejati atau Islam murni (true Islam atau pure Islam) betul-betul ditemukan pada pribadi Kanjeng Nabi dan beserta para shahabat yang menyertainya. Lebih dari itu, sabda Kanjeng Nabi menyelesaikan seluruh perbedaan pendapat yang mungkin ada saat itu (bahkan sampai sekarang).
Mafhum, ketika Kanjeng Nabi meninggal dunia, hanya dua hal yang diwariskan kepada umatnya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Nabi tak lagi bisa ditanya tentang berbagai masalah dalam Islam. Sejak saat itu, umat Islam harus menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapi berdasarkan pemahamannya terhadap kitab suci dan hadits Nabi.
Sekalipun guru para sahabat itu sama, yaitu Kanjeng Nabi, namun tak menjamin mereka memiliki pikiran yang seragam. Perbedaan pikiran dan pemahaman mereka disebabkan karena latar belakang kehidupannya yang tidak sama atau metode ijtihad yang digunakan berbeda. Bahkan, dalam melafalkan al-Qur’an saja, para sahabat bisa berbeda antara satu dengan yang lain.
Rupanya, semakin jauh dari masa sahabat, ketika Islam mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia dan penganut Islam beragam bahasa, suku dan budaya, demikian makin kompleks pula problem yang dihadapi umat Islam. Pemahaman terhadap sumber ajaran Islam makin terbuka dan berwarna.
Lahirnya mazhab-mazhab dalam fiqh maupun kalam menunjukkan bahwa sumber ajaran Islam ibarat menu prasmanan, di mana semua umat Islam bebas memilih makanan yang disukai. Pilihan itu sangat dipengaruhi oleh latar pendidikan dan pengetahuan, politik dan mungkin pertimbangan pribadi. Karena itu, Islam akhirnya memang tidak satu warna. Pluralitas pemahaman atas Islam merupakan fakta tidak mungkin dipungkiri dan dihindari.
Hingga kehidupan Islam di akhir zaman seperti sekarang, keragaman pemahaman, pemaknaan dan praktis Islam makin terkonfirmasi kebenarannya, meski diiringi menguatnya fundamentalisme, radikalisme dan gerakan jihad. Pada bidang pokok agama, umat Islam memang satu keyakinan seperti dalam keesaan Allah Swt., rasul terakhir pembawa risalah Islam dan kitab suci umat Islam. Pada bidang cabang-cabang Islam, begitu banyak keyakinan dan praktik Islam yang dianut masyarakat Muslim.
Kita tahu, dalam bidang fiqh, dikenal mazhab fiqh Sunni dan Syiah. Di dalam mazhab Sunni setidaknya terdapat empat mazhab yang hidup dan dipraktikkan umat Islam. Di luar itu, organisasi-organisasi Islam yang berkembang di masyarakat juga melakukan intrepretasi sendiri terhadap kitab suci.
Mereka seperti mau membentuk aliran sendiri. Namun malu mengakuinya. Masing-masing pengikut organisasi Islam itu memiliki identitas, simbol dan karakter Islam tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Puluhan atau mungkin ratusan organisasi Islam, komunitas, jamaah atau sebutan lainnya tak bisa disatukan dalam kesatuan agama, nabi dan kitab suci.
Dengan demikian, setidaknya selalu antara Islam yang ada dalam kitab suci dan Islam yang ada di masyarakat. Islam yang pertama adalah Islam yang suci, murni dan ideal, yakni Islam yang belum tereduksi olek akal pikiran manusia. Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadits ini menjadi Islam paripurna, di mana Kanjeng Nabi menjadi figur utamanya.
Sedang Islam yang kedua merupakan Islam yang dipraktikkan di masyarakat. Bentuk Islam yang kedua ini beragam dan bermacam-macam. Ada Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam FPI, Islam MTA, Islam Sasak, Islam Jawa dan sebagainya merupakan implementasi dan aktualisasi Islam yang telah terdefinisikan dan ditafsirkan oleh masyarakat.
Dalam bukunya yang sangat klasik, The Elementary Form of Religious Life, Emil Durkheim mendefinisikan suatu agama sebagai kesatuan sistem keyakinan (beliefs) dan praktik-praktik (practices) yang berhubungan dengan suatu yang suci (sacred). Dalam definisi di atas, Durkheim mengenalkan dua aspek dalam agama, yaitu keyakinan-praktik (beliefs-practices) dan suci-tidak suci (sacred-profane).
Jika dikaitkan dengan Islam, maka Islam beliefs dan Islam practices adalah dua hal berbeda. Islam beliefs adalah Islam yang diyakini berdasar pertimbangan keimanan. Islam practices adalah Islam yang diamalkan sehari-hari. Islam yang diyakini dan yang diamalkan belum tentu sejalan-seirama. Tiap orang Islam di daerah yang berbeda mungkin saja punya keyakinan dan praktik Islam yang berbeda.
Seorang pemikir yaitu Amin Abdullah mengenalkan istilah Islam normatif dan Islam historis. Meski gagasan awalnya merupakan metode dalam studi agama, namun ide tersebut tepat juga untuk membingkai dua jenis Islam. Islam normatif merujuk pada Islam sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci dan cara mengkajinya menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang dogmatis.
Dan begitu juga sebaliknya, Islam historis merupakan Islam yang menyejarah sebagaimana yang dipraktikkan oleh umat Islam. Aktualisasi Islam historis ini beragam wujud, baik yang mayoritas maupun yang minoritas.
Syahdan, Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat atau Islam historis dapat dipilah menjadi beberapa bagian. Gus Dur misalnya membagi Islam yang demikian menjadi tiga kategori, yaitu Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Buku itu menggambarkan bahwa Islam tidaklah satu tapi banyak wajah. Setiap orang memiliki Islam yang diyakini dan dipraktikkannya sendiri, itulah Islamku. Orang lain boleh setuju boleh pula tidak. Islamku adalah Islam yang khas berdasarkan pengalamanku sendiri.
Namun, pada saat yang sama, Anda juga memiliki cara berislam sendiri yang diyakini kebenarannya. Islamku dan Islam Anda mungkin berbeda, meski al-Qur’an dan Haditsnya sama. Islam Anda tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Islam Anda berasal dari keyakinan Anda, yang belum tentu cocok dengan pengalaman keberagamaan saya.
Sedangkan Islam kita merupakan titik temu antara Islam Anda dan Islam Saya (dalam pandangan Gus Dur) yang sama-sama prihatian terhadap masa depan Islam. Islam kita merupakan wujud dari Islam bersama atau Islam yang disepakati (agreed Islam).
Dalam wajahnya yang beragam, memang sulit menghindari adanya kontestasi dan kompetisi antara muslim satu dengan lainnya, baik secara teologis maupun sosiologis politis. Setiap agama yang tumbuh dan hidup, pasti terdapat ketegangan didalamnya. Penyebab ketegangan itu terletak pada kesadaran beragama umatnya.
Tentunya, kesadaran beragama umat yang seagama saja pasti tidak seragam. Hal ini dapat memicu terjadinya perbedaan pendapat (dalam gradasi yang paling tajam sampai yang biasa-biasa saja) termasuk pada pokok agama (ushuluddin).
Lahirnya beragam mazhab, aliran atau organisasi Islam dengan visi dan misi yang aneh-aneh merupakan bukti adanya ketegangan itu. Perasaan paling unggul, paling benar dan paling otentik segera mendekam dibenak masing-masing pengikutnya. Perasaan-perasaan itu diungkap di ruang publik dan mendapat respon dari masyarakat sekitar. Akhirnya, kompetisi antar umat Islam pasti terjadi dan seringkali harus merasa perlu membinasakan aliran lain yang tidak sejalan dengan dirinya.
Islam mencita-citakan pengikutnya (dalam bahasa Wilfred C. Smith) tumbuh sebagai masyarakat suci yang terbimbing (QS. 3: 110 menyebutnya sebagai umat terbaik (khaira ummat). Masyarakat yang demikian merupakan suatu tipe masyarakat ideal di mana seluruh pola pikir dan perilaku anggotanya selalu disandarkan pada teksteks al-Qur’an dan Hadits.
Kitab suci inilah yang digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan dan memperkukuh identitas kolektif. Membacanya dipandang sebagai tindak kesalehan dan melaksanakan ajarannya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Dalam upaya untuk selalu berada di bawah naungan teks suci, setiap Muslim terus berusaha mencari yang otentik dari ajaran agama yang dipeluknya. Sekalipun yang otentik dan yang tidak otentik adalah klaim sepihak, namun perseteruan keduanya telah menimbulkan kegaduhan dalam pemikiran Islam. Selalu muncul suatu gerakan untuk (dan umumnya mengatasnamakan) pemurnian Islam (baca: Islam otentik) di setiap babakan sejarah.
Sebenarnya, jika dicermati secara mendalam, perebutan kebenaran atau yang dianggap benar (baca: Islam otentik) dalam seluruh aspeknya: ideologi, politik, hukum Islam, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya bertolak dari bagaimana masing-masing kelompok menafsirkan, memahami dan mendudukkan kitab suci dalam kehidupan mereka. Sehingga muncullah (minimal) dua kelompok besar dalam masalah pencarian kebenaran ini.
Kelompok pertama berkeyakinan bahwa kebenaran itu seluruhnya ada pada teks lahiriah al-Qur’an dan al-Sunnah, dan bahwa kehidupan yang ideal dalam semua aspeknya adalah kehidupan pada masa Nabi. Kelompok kedua, kebenaran tidak selamanya berasal dari kitab suci (naql), tetapi nalar (aql) juga mampu mencapainya.
Memang, adanya Islam yang lain atau Islam yang menyimpang bermula dari kompetisi antar umat Islam yang terselesaikan secara apik. Perasaan paling benar dan paling murni merupakan klaim yang sulit dihindari.
Wajah Islam yang beragam adalah fakta yang sulit ditolak, sementara menyeragamkan umat Islam dalam satu aliran hampir mustahil dilakukan. Islam sebagai agama dan penanda identitas bagi sebagian besar penduduk Indonesia harus diletakkan pada posisi yang tepat sehingga kehadirannya membawa rahmat dan kebahagian bagi pemeluknya.
Sebagai penutup, penting di catat bahwa, gejala beragamnya metode dalam memahami kitab suci sudah muncul sejak lama. Abu Hamid al-Ghazali misalnya, mensinyalir adanya lima jenis kecenderungan ulama dalam memahami al-Qur’an pada masanya.
Pertama, aliran obyektif murni, yang percaya bahwa kebenaran hanya dapat diketahui dari pesan lahiriah teks. Kedua, aliran subyektif murni, merupakan kebalikan dari aliran pertama di mana akan dijadikan satu-satunya pegangan untuk menilai kebenaran tanpa membutuhkan naql (kitab suci).
Ketiga, aliran semi subyektif menjadikan akal sebagai pegangan dasar, sementara perhatian terhadap naql sangat lemah. Keempat, aliran semi obyektif, yaitu golongan yang memposisikan teks suci sebagai dasar utama, sementara mereka lemah dalam penggunaan rasio. Kelima, aliran moderat, yakni golongan yang mengkomparasikan penggunaan akal budi dan naql. Wallahu a’lam bisshawaab.
_____
*) Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
- Artikel Terpuler -
Islam yang Diyakini dan yang Diamalkan
Salman Akif Faylasuf Senin, 20-2-2023 | - Dilihat: 20

Oleh: Salman Akif Faylasuf
Umat Islam sudah pasti sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan figur tunggal muslim yang paling ideal (tak ada duanya), di mana wahyu Tuhan dan praktik keislaman menyatu dan tidak ada perbedaan sedikitpun. Akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw adalah al-Qur’an itu sendiri (kana khuluquh al-Qur’an).
Karena itu, tak mengherankan jika Nabi Muhammad Saw di sebut-sebut sebagai al-Qur’an yang berjalan. Islam sejati atau Islam murni (true Islam atau pure Islam) betul-betul ditemukan pada pribadi Kanjeng Nabi dan beserta para shahabat yang menyertainya. Lebih dari itu, sabda Kanjeng Nabi menyelesaikan seluruh perbedaan pendapat yang mungkin ada saat itu (bahkan sampai sekarang).
Mafhum, ketika Kanjeng Nabi meninggal dunia, hanya dua hal yang diwariskan kepada umatnya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Nabi tak lagi bisa ditanya tentang berbagai masalah dalam Islam. Sejak saat itu, umat Islam harus menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapi berdasarkan pemahamannya terhadap kitab suci dan hadits Nabi.
Sekalipun guru para sahabat itu sama, yaitu Kanjeng Nabi, namun tak menjamin mereka memiliki pikiran yang seragam. Perbedaan pikiran dan pemahaman mereka disebabkan karena latar belakang kehidupannya yang tidak sama atau metode ijtihad yang digunakan berbeda. Bahkan, dalam melafalkan al-Qur’an saja, para sahabat bisa berbeda antara satu dengan yang lain.
Rupanya, semakin jauh dari masa sahabat, ketika Islam mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia dan penganut Islam beragam bahasa, suku dan budaya, demikian makin kompleks pula problem yang dihadapi umat Islam. Pemahaman terhadap sumber ajaran Islam makin terbuka dan berwarna.
Lahirnya mazhab-mazhab dalam fiqh maupun kalam menunjukkan bahwa sumber ajaran Islam ibarat menu prasmanan, di mana semua umat Islam bebas memilih makanan yang disukai. Pilihan itu sangat dipengaruhi oleh latar pendidikan dan pengetahuan, politik dan mungkin pertimbangan pribadi. Karena itu, Islam akhirnya memang tidak satu warna. Pluralitas pemahaman atas Islam merupakan fakta tidak mungkin dipungkiri dan dihindari.
Hingga kehidupan Islam di akhir zaman seperti sekarang, keragaman pemahaman, pemaknaan dan praktis Islam makin terkonfirmasi kebenarannya, meski diiringi menguatnya fundamentalisme, radikalisme dan gerakan jihad. Pada bidang pokok agama, umat Islam memang satu keyakinan seperti dalam keesaan Allah Swt., rasul terakhir pembawa risalah Islam dan kitab suci umat Islam. Pada bidang cabang-cabang Islam, begitu banyak keyakinan dan praktik Islam yang dianut masyarakat Muslim.
Kita tahu, dalam bidang fiqh, dikenal mazhab fiqh Sunni dan Syiah. Di dalam mazhab Sunni setidaknya terdapat empat mazhab yang hidup dan dipraktikkan umat Islam. Di luar itu, organisasi-organisasi Islam yang berkembang di masyarakat juga melakukan intrepretasi sendiri terhadap kitab suci.
Mereka seperti mau membentuk aliran sendiri. Namun malu mengakuinya. Masing-masing pengikut organisasi Islam itu memiliki identitas, simbol dan karakter Islam tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Puluhan atau mungkin ratusan organisasi Islam, komunitas, jamaah atau sebutan lainnya tak bisa disatukan dalam kesatuan agama, nabi dan kitab suci.
Dengan demikian, setidaknya selalu antara Islam yang ada dalam kitab suci dan Islam yang ada di masyarakat. Islam yang pertama adalah Islam yang suci, murni dan ideal, yakni Islam yang belum tereduksi olek akal pikiran manusia. Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadits ini menjadi Islam paripurna, di mana Kanjeng Nabi menjadi figur utamanya.
Sedang Islam yang kedua merupakan Islam yang dipraktikkan di masyarakat. Bentuk Islam yang kedua ini beragam dan bermacam-macam. Ada Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam FPI, Islam MTA, Islam Sasak, Islam Jawa dan sebagainya merupakan implementasi dan aktualisasi Islam yang telah terdefinisikan dan ditafsirkan oleh masyarakat.
Dalam bukunya yang sangat klasik, The Elementary Form of Religious Life, Emil Durkheim mendefinisikan suatu agama sebagai kesatuan sistem keyakinan (beliefs) dan praktik-praktik (practices) yang berhubungan dengan suatu yang suci (sacred). Dalam definisi di atas, Durkheim mengenalkan dua aspek dalam agama, yaitu keyakinan-praktik (beliefs-practices) dan suci-tidak suci (sacred-profane).
Jika dikaitkan dengan Islam, maka Islam beliefs dan Islam practices adalah dua hal berbeda. Islam beliefs adalah Islam yang diyakini berdasar pertimbangan keimanan. Islam practices adalah Islam yang diamalkan sehari-hari. Islam yang diyakini dan yang diamalkan belum tentu sejalan-seirama. Tiap orang Islam di daerah yang berbeda mungkin saja punya keyakinan dan praktik Islam yang berbeda.
Seorang pemikir yaitu Amin Abdullah mengenalkan istilah Islam normatif dan Islam historis. Meski gagasan awalnya merupakan metode dalam studi agama, namun ide tersebut tepat juga untuk membingkai dua jenis Islam. Islam normatif merujuk pada Islam sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci dan cara mengkajinya menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang dogmatis.
Dan begitu juga sebaliknya, Islam historis merupakan Islam yang menyejarah sebagaimana yang dipraktikkan oleh umat Islam. Aktualisasi Islam historis ini beragam wujud, baik yang mayoritas maupun yang minoritas.
Syahdan, Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat atau Islam historis dapat dipilah menjadi beberapa bagian. Gus Dur misalnya membagi Islam yang demikian menjadi tiga kategori, yaitu Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Buku itu menggambarkan bahwa Islam tidaklah satu tapi banyak wajah. Setiap orang memiliki Islam yang diyakini dan dipraktikkannya sendiri, itulah Islamku. Orang lain boleh setuju boleh pula tidak. Islamku adalah Islam yang khas berdasarkan pengalamanku sendiri.
Namun, pada saat yang sama, Anda juga memiliki cara berislam sendiri yang diyakini kebenarannya. Islamku dan Islam Anda mungkin berbeda, meski al-Qur’an dan Haditsnya sama. Islam Anda tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Islam Anda berasal dari keyakinan Anda, yang belum tentu cocok dengan pengalaman keberagamaan saya.
Sedangkan Islam kita merupakan titik temu antara Islam Anda dan Islam Saya (dalam pandangan Gus Dur) yang sama-sama prihatian terhadap masa depan Islam. Islam kita merupakan wujud dari Islam bersama atau Islam yang disepakati (agreed Islam).
Dalam wajahnya yang beragam, memang sulit menghindari adanya kontestasi dan kompetisi antara muslim satu dengan lainnya, baik secara teologis maupun sosiologis politis. Setiap agama yang tumbuh dan hidup, pasti terdapat ketegangan didalamnya. Penyebab ketegangan itu terletak pada kesadaran beragama umatnya.
Tentunya, kesadaran beragama umat yang seagama saja pasti tidak seragam. Hal ini dapat memicu terjadinya perbedaan pendapat (dalam gradasi yang paling tajam sampai yang biasa-biasa saja) termasuk pada pokok agama (ushuluddin).
Lahirnya beragam mazhab, aliran atau organisasi Islam dengan visi dan misi yang aneh-aneh merupakan bukti adanya ketegangan itu. Perasaan paling unggul, paling benar dan paling otentik segera mendekam dibenak masing-masing pengikutnya. Perasaan-perasaan itu diungkap di ruang publik dan mendapat respon dari masyarakat sekitar. Akhirnya, kompetisi antar umat Islam pasti terjadi dan seringkali harus merasa perlu membinasakan aliran lain yang tidak sejalan dengan dirinya.
Islam mencita-citakan pengikutnya (dalam bahasa Wilfred C. Smith) tumbuh sebagai masyarakat suci yang terbimbing (QS. 3: 110 menyebutnya sebagai umat terbaik (khaira ummat). Masyarakat yang demikian merupakan suatu tipe masyarakat ideal di mana seluruh pola pikir dan perilaku anggotanya selalu disandarkan pada teksteks al-Qur’an dan Hadits.
Kitab suci inilah yang digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan dan memperkukuh identitas kolektif. Membacanya dipandang sebagai tindak kesalehan dan melaksanakan ajarannya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Dalam upaya untuk selalu berada di bawah naungan teks suci, setiap Muslim terus berusaha mencari yang otentik dari ajaran agama yang dipeluknya. Sekalipun yang otentik dan yang tidak otentik adalah klaim sepihak, namun perseteruan keduanya telah menimbulkan kegaduhan dalam pemikiran Islam. Selalu muncul suatu gerakan untuk (dan umumnya mengatasnamakan) pemurnian Islam (baca: Islam otentik) di setiap babakan sejarah.
Sebenarnya, jika dicermati secara mendalam, perebutan kebenaran atau yang dianggap benar (baca: Islam otentik) dalam seluruh aspeknya: ideologi, politik, hukum Islam, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya bertolak dari bagaimana masing-masing kelompok menafsirkan, memahami dan mendudukkan kitab suci dalam kehidupan mereka. Sehingga muncullah (minimal) dua kelompok besar dalam masalah pencarian kebenaran ini.
Kelompok pertama berkeyakinan bahwa kebenaran itu seluruhnya ada pada teks lahiriah al-Qur’an dan al-Sunnah, dan bahwa kehidupan yang ideal dalam semua aspeknya adalah kehidupan pada masa Nabi. Kelompok kedua, kebenaran tidak selamanya berasal dari kitab suci (naql), tetapi nalar (aql) juga mampu mencapainya.
Memang, adanya Islam yang lain atau Islam yang menyimpang bermula dari kompetisi antar umat Islam yang terselesaikan secara apik. Perasaan paling benar dan paling murni merupakan klaim yang sulit dihindari.
Wajah Islam yang beragam adalah fakta yang sulit ditolak, sementara menyeragamkan umat Islam dalam satu aliran hampir mustahil dilakukan. Islam sebagai agama dan penanda identitas bagi sebagian besar penduduk Indonesia harus diletakkan pada posisi yang tepat sehingga kehadirannya membawa rahmat dan kebahagian bagi pemeluknya.
Sebagai penutup, penting di catat bahwa, gejala beragamnya metode dalam memahami kitab suci sudah muncul sejak lama. Abu Hamid al-Ghazali misalnya, mensinyalir adanya lima jenis kecenderungan ulama dalam memahami al-Qur’an pada masanya.
Pertama, aliran obyektif murni, yang percaya bahwa kebenaran hanya dapat diketahui dari pesan lahiriah teks. Kedua, aliran subyektif murni, merupakan kebalikan dari aliran pertama di mana akan dijadikan satu-satunya pegangan untuk menilai kebenaran tanpa membutuhkan naql (kitab suci).
Ketiga, aliran semi subyektif menjadikan akal sebagai pegangan dasar, sementara perhatian terhadap naql sangat lemah. Keempat, aliran semi obyektif, yaitu golongan yang memposisikan teks suci sebagai dasar utama, sementara mereka lemah dalam penggunaan rasio. Kelima, aliran moderat, yakni golongan yang mengkomparasikan penggunaan akal budi dan naql. Wallahu a’lam bisshawaab.
_____
*) Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan