Iman dan Intelektualitas dalam al-Qur’an
Alfin Nur Ridwan Senin, 26-12-2022 | - Dilihat: 34

Oleh: Alfin Nur Ridwan
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya.
Berbagai konsep telah banyak dituturkan terkait hakikat manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan pikiran dan perasaan, juga sebagai makhluk yang mampu membuat sesuatu, sebagai makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai makhluk yang beragama. Dalam al-Qur’an sendiri, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, al-Qur’an mengatakan manusia itu “hanief” yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Yang banyak dibicarakan al-Qur’an tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat al-Qur’an yang dengan terang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS. at-Tiin (95) : 5) dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (QS. al-Isra (17) : 70). Tetapi, di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan, misal karena ia amat lalim (aniaya) dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim (14) : 34).
Dari pujian-pujian Allah pada makhluknya yakni manusia, kita bisa melihat bahwa sejatinya kita ini adalah makhluk potensial sekaligus berkualitas yang diciptakan Allah. Penamaan manusia berkualitas itu biasanya disematkan dengan insan kamil, manusia yang seutuhnya, sempurna, manusia (insan) kaffah, manusia yang hanief. Jika diatas telah sedikit disinggung perihal jati diri dan hakikat manusia, maka pertanyaan selanjutnya ialah bagaimanakah kriteria manusia yang berkualitas itu di dalam al-Qur’an? Apakah sejatinya seluruh manusia itu sudah bisa dikatakan berkualitas dengan hakikat yang dimilikinya?
Kualitas Iman
Nampaknya tentu sudah jelas bahwa manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Allah yang beriman, sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah, serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya jika lebih dalam ditelusuri, kedua ciri utama itu kita dapatkan pada sebuah ketaqwaan, sehingga manusia berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang “beriman dan bertaqwa”.
Artinya manusia yang berperilaku tawakkal, pemaaf, sabar, muhsin, mau bersyukur, berusaha meningkatan kualitas amalnya dan mengajak manusia lain untuk beramal. Untuk itu, keutamaan manusia berpangkal pada adanya iman kepada Allah dan kemudian keimanannya diwujudkan dalam perilaku yang memberi manfaat bagi masyarakat, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh.
Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyakinan dan motor penggerak untuk berperilaku dan beramal (aktivitas kerja) manusia. Iman ialah syarat utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan utama, dan merupakan langkah awal untuk menuju keshalihan dan mewujudkan perilaku, amal saleh dan pengorbanan manusia bagi pengabdian kepada Allah, karena iman juga sangat terkait dengan amal saleh.
Dalam keadaan beriman, manusia dapat memperlihatkan kualitas perilaku, kualitas amal salah, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan berperilaku, bekerja, dan bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang condong kepada hanief. Dan dengannya manusia berkualitas pasti akan berjuang melawan penindasan, tirani, dan tidak membiarkan kediktatoran atau tindakan sewenang-wenang. Karena imam memberikan pula kedamaian jiwa, kedaimaian berperilaku, dan kedaiaman beramal saleh.
Kualitas Intelektual
Harus disadari, kualitas intelektual sebenarnya sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika manusia diciptakan, Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda (QS.al-Baqarah (2) : 31). Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi intelektual, kemudian potensi intelektual ini dikembangkan.
Kualitas intelektual merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah, mengatur, dan menjaga alam ini. Rasulullah pun pernah bersabda bahwa Barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu.
Dalam al-Qur’an surat Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu pengetahuan: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”. Kemudian dalam firman Allah QS. Zumar : 9, Allah memberi perbedaan orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sebagai berikut: “Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berimu pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan dibutuhkan manusia guna menopang kelangsungan peradabannya, karena manusia diamanatkan Allah untuk mengolah dan memberdayakan alam ini. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki manusia menghantarkan manusia ketingkat martabat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Al-Qur’an, memberikan derajat yang tinggi bagi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, dan memberikan perbedaan yang jelas antara manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan yang tidak memiliki ilmu pengatahuan.
Perbedaan antara manusia berimu dan tidak berimu dalam al-Qur’an, memberikan pejalaran bahwa Segala kejadian yang berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan (ahlinya), bahkan martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat para Nabi dalam mangkasyafkan hukum Allah swt.
Tiap keahlian menjadi unsur penyempurna dalam perakitan kehidupan sosial. Tiap aspek sosial yang tidak dikaji oleh bidang ilmunya yang sesuai akan menimbulkan usaha yang di luar kontrol nilai sosial, dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan di bumi. Oleh karena itu, memposisikan ahli dalam suatu bidang kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan dan ketentraman bagi kehidupan kemanusiaan.
- Artikel Terpuler -
Iman dan Intelektualitas dalam al-Qur’an
Alfin Nur Ridwan Senin, 26-12-2022 | - Dilihat: 34

Oleh: Alfin Nur Ridwan
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya.
Berbagai konsep telah banyak dituturkan terkait hakikat manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan pikiran dan perasaan, juga sebagai makhluk yang mampu membuat sesuatu, sebagai makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai makhluk yang beragama. Dalam al-Qur’an sendiri, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, al-Qur’an mengatakan manusia itu “hanief” yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Yang banyak dibicarakan al-Qur’an tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat al-Qur’an yang dengan terang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS. at-Tiin (95) : 5) dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (QS. al-Isra (17) : 70). Tetapi, di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan, misal karena ia amat lalim (aniaya) dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim (14) : 34).
Dari pujian-pujian Allah pada makhluknya yakni manusia, kita bisa melihat bahwa sejatinya kita ini adalah makhluk potensial sekaligus berkualitas yang diciptakan Allah. Penamaan manusia berkualitas itu biasanya disematkan dengan insan kamil, manusia yang seutuhnya, sempurna, manusia (insan) kaffah, manusia yang hanief. Jika diatas telah sedikit disinggung perihal jati diri dan hakikat manusia, maka pertanyaan selanjutnya ialah bagaimanakah kriteria manusia yang berkualitas itu di dalam al-Qur’an? Apakah sejatinya seluruh manusia itu sudah bisa dikatakan berkualitas dengan hakikat yang dimilikinya?
Kualitas Iman
Nampaknya tentu sudah jelas bahwa manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Allah yang beriman, sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah, serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya jika lebih dalam ditelusuri, kedua ciri utama itu kita dapatkan pada sebuah ketaqwaan, sehingga manusia berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang “beriman dan bertaqwa”.
Artinya manusia yang berperilaku tawakkal, pemaaf, sabar, muhsin, mau bersyukur, berusaha meningkatan kualitas amalnya dan mengajak manusia lain untuk beramal. Untuk itu, keutamaan manusia berpangkal pada adanya iman kepada Allah dan kemudian keimanannya diwujudkan dalam perilaku yang memberi manfaat bagi masyarakat, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh.
Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyakinan dan motor penggerak untuk berperilaku dan beramal (aktivitas kerja) manusia. Iman ialah syarat utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan utama, dan merupakan langkah awal untuk menuju keshalihan dan mewujudkan perilaku, amal saleh dan pengorbanan manusia bagi pengabdian kepada Allah, karena iman juga sangat terkait dengan amal saleh.
Dalam keadaan beriman, manusia dapat memperlihatkan kualitas perilaku, kualitas amal salah, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan berperilaku, bekerja, dan bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang condong kepada hanief. Dan dengannya manusia berkualitas pasti akan berjuang melawan penindasan, tirani, dan tidak membiarkan kediktatoran atau tindakan sewenang-wenang. Karena imam memberikan pula kedamaian jiwa, kedaimaian berperilaku, dan kedaiaman beramal saleh.
Kualitas Intelektual
Harus disadari, kualitas intelektual sebenarnya sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika manusia diciptakan, Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda (QS.al-Baqarah (2) : 31). Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi intelektual, kemudian potensi intelektual ini dikembangkan.
Kualitas intelektual merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah, mengatur, dan menjaga alam ini. Rasulullah pun pernah bersabda bahwa Barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu.
Dalam al-Qur’an surat Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu pengetahuan: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”. Kemudian dalam firman Allah QS. Zumar : 9, Allah memberi perbedaan orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sebagai berikut: “Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berimu pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan dibutuhkan manusia guna menopang kelangsungan peradabannya, karena manusia diamanatkan Allah untuk mengolah dan memberdayakan alam ini. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki manusia menghantarkan manusia ketingkat martabat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Al-Qur’an, memberikan derajat yang tinggi bagi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, dan memberikan perbedaan yang jelas antara manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan yang tidak memiliki ilmu pengatahuan.
Perbedaan antara manusia berimu dan tidak berimu dalam al-Qur’an, memberikan pejalaran bahwa Segala kejadian yang berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan (ahlinya), bahkan martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat para Nabi dalam mangkasyafkan hukum Allah swt.
Tiap keahlian menjadi unsur penyempurna dalam perakitan kehidupan sosial. Tiap aspek sosial yang tidak dikaji oleh bidang ilmunya yang sesuai akan menimbulkan usaha yang di luar kontrol nilai sosial, dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan di bumi. Oleh karena itu, memposisikan ahli dalam suatu bidang kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan dan ketentraman bagi kehidupan kemanusiaan.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan