• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Ibadah Sederhana Bernilai Mulia

Husein Aziz Kamis, 7-4-2022 | - Dilihat: 12

banner

Oleh: Husein Aziz

Puasa Ramadan itu sederhana: tidak makan dan tidak minum sejak fajar sampai dengan tenggelamnya matahari, serta tidak berhubungan suami-istri. Anak kecil pun mampu melakukannya. Namun begitu, nilai puasa Ramadan sangat besar bagi manusia, dalam pandangan Allah SWT.

Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman, “Puasa itu untukku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” Dalam hadis yang lan dikemukakan, “Berpuasalah, maka engkau akan sehat.”

Ramadan yang kita diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh itu juga menjadi sangat mulia karena di dalamnya diturunkan kitab suci Al-Qur’an. Rasulullah SAW diriwayatkan melakukan tadarus dan murajaah Al-Qur'an setiap malam di bulan Ramadan di bawah bimbingan Jibril.

Al-Qur'an yang biasa dibaca Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an yang berbasis tartibunnuzul (urutan turunnya), bukan Al-Qur'an yang berbasis mushaf, yang tidak lain adalah hasil ijtihad sahabat pada masa Khalifah Usman bin Affan dengan mempertimbangkan panjang dan pendeknya surah Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang berbasis tartibunnuzul tersebut memudahkan pembaca mengetahui koherensi mulai ayat yang pertama turun sampai dengan ayat yang terakhir. Sehingga rasonalitas makna ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat ditangkap atau dipahami dengan baik, dan nantinya akan menghasilkan pemahaman yang objektif tanpa diintervensi oleh asumsi-asumsi pembaca/penafsir. Dengan demikian, maka pembaca/penafsir akan mengikuti Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an yang mengikuti pembaca/penafsir.

Kembali kepada persoalan, mengapa nilai puasa Ramadan sedemikian besar, meskipun aktivitas puasa tersebut sederhana? Jawabannya adalah karena orang yang berpuasa itu dipimpin Allah SWT. Ia tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami-istri, meskipun semua yang ditinggalkan itu halal baginya. Demikian itu dilakukan semata-mata karena menaati kepemimpinan Allah SWT.

Pada umumnya, kehidupan manusia dipimpin oleh perutnya (ekonomi) atau dipimpin oleh kemaluannya (seksualitas). Nilai seseorang itu sesuai dengan apa atau siapa yang memimpinnya. Bila yang memimpinnya perut, maka nilainya sama dengan isi perutnya, dan jika yang memimpinnya itu kemaluannya, tentu nilai seseorang tersebut tidak lebih mulia dari kemaluan yang memimpinnya.

Nah, apabila yang memimpinnya Allah SWT, maka nilai seseorang sangat tinggi dan mulia. Itulah, sekali lagi, makna bahwa nilai seseorang sangat ditentukan oleh apa atau siapa yang memimpin kehidupannya.

Kehidupan bernilai tinggi dan mulia bila berbasis iman kepada Alllah SWT. Sebaliknya, kehidupan tidak bernilai dan bermakna tanpa iman. Dengan ungkapan lain, kehidupan mengalami nihilisme atau absurditas.

Bahkan, hidup di surga yang penuh kemewahan itu akan membosankan tanpa melihat Allah SWT di dalamnya. Oleh karena itu, seorang saleh pernah mengatakan, bila saya dimasukkan surga dan ternyata saya tidak melihat Allah SWT, maka saya akan keluar darinya.

Apatah lagi kehidupan di dunia ini. Ia akan lebih membosankan bila tidak melihat Allah SWT. Hidup penuh kegersangan, kekerasan, kejenuhan, keluhan, dan kesia-siaan tanpa makna, jika tanpa bimbingan Allah SWT. 

Mengingat pentingnya nilai Allah SWT (iman) tersebut, maka begitu bayi lahir, padanya dikumandangkan azan dan ikamah, yang intinya tidak lain untuk membekali sang bayi dengan nilai-nilai iman kepada Allah SWT. Pun, ketika seseorang mau melangsungkan akad nikah, biasanya dibekali dengan syahadat.

Terutama sekali ketika seseorang akan meninggal dunia, dan bahkan pada setiap akan melakukan aktivitas, dianjurkan untuk memulainya dengan membaca basmalah.

Demikian itu dimaksudkan supaya kehidupan yang dilakukan bermakna dan bernilai, jauh dari kesia-siaan. Nabi Muhammad SAW, ketika hendak membangun dan memberdayakan masyarakat beliau yang Jahiliah juga memulainya dengan menanamkan iman.

Dus, iman itulah yang diharapkan memimpin kehidupan seseorang, dan ia mewujud secara nyata dalam pribadi orang yang berpuasa Ramadan. Bahkan, dalam Al-Qur’an, orang-orang beriman itulah yang dititahkan oleh Allah untuk menunaikan puasa, bukan yang lain. Wallahu a’lam.
_____

Husein Aziz, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Tags
1 Komentar
banner

2022-04-07 13:59:55

Nasaruddin

Terima kasih atas pencerahannya, Prof. Barakallahu fiik.

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Ibadah Sederhana Bernilai Mulia

Husein Aziz Kamis, 7-4-2022 | - Dilihat: 12

banner

Oleh: Husein Aziz

Puasa Ramadan itu sederhana: tidak makan dan tidak minum sejak fajar sampai dengan tenggelamnya matahari, serta tidak berhubungan suami-istri. Anak kecil pun mampu melakukannya. Namun begitu, nilai puasa Ramadan sangat besar bagi manusia, dalam pandangan Allah SWT.

Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman, “Puasa itu untukku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” Dalam hadis yang lan dikemukakan, “Berpuasalah, maka engkau akan sehat.”

Ramadan yang kita diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh itu juga menjadi sangat mulia karena di dalamnya diturunkan kitab suci Al-Qur’an. Rasulullah SAW diriwayatkan melakukan tadarus dan murajaah Al-Qur'an setiap malam di bulan Ramadan di bawah bimbingan Jibril.

Al-Qur'an yang biasa dibaca Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an yang berbasis tartibunnuzul (urutan turunnya), bukan Al-Qur'an yang berbasis mushaf, yang tidak lain adalah hasil ijtihad sahabat pada masa Khalifah Usman bin Affan dengan mempertimbangkan panjang dan pendeknya surah Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang berbasis tartibunnuzul tersebut memudahkan pembaca mengetahui koherensi mulai ayat yang pertama turun sampai dengan ayat yang terakhir. Sehingga rasonalitas makna ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat ditangkap atau dipahami dengan baik, dan nantinya akan menghasilkan pemahaman yang objektif tanpa diintervensi oleh asumsi-asumsi pembaca/penafsir. Dengan demikian, maka pembaca/penafsir akan mengikuti Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an yang mengikuti pembaca/penafsir.

Kembali kepada persoalan, mengapa nilai puasa Ramadan sedemikian besar, meskipun aktivitas puasa tersebut sederhana? Jawabannya adalah karena orang yang berpuasa itu dipimpin Allah SWT. Ia tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami-istri, meskipun semua yang ditinggalkan itu halal baginya. Demikian itu dilakukan semata-mata karena menaati kepemimpinan Allah SWT.

Pada umumnya, kehidupan manusia dipimpin oleh perutnya (ekonomi) atau dipimpin oleh kemaluannya (seksualitas). Nilai seseorang itu sesuai dengan apa atau siapa yang memimpinnya. Bila yang memimpinnya perut, maka nilainya sama dengan isi perutnya, dan jika yang memimpinnya itu kemaluannya, tentu nilai seseorang tersebut tidak lebih mulia dari kemaluan yang memimpinnya.

Nah, apabila yang memimpinnya Allah SWT, maka nilai seseorang sangat tinggi dan mulia. Itulah, sekali lagi, makna bahwa nilai seseorang sangat ditentukan oleh apa atau siapa yang memimpin kehidupannya.

Kehidupan bernilai tinggi dan mulia bila berbasis iman kepada Alllah SWT. Sebaliknya, kehidupan tidak bernilai dan bermakna tanpa iman. Dengan ungkapan lain, kehidupan mengalami nihilisme atau absurditas.

Bahkan, hidup di surga yang penuh kemewahan itu akan membosankan tanpa melihat Allah SWT di dalamnya. Oleh karena itu, seorang saleh pernah mengatakan, bila saya dimasukkan surga dan ternyata saya tidak melihat Allah SWT, maka saya akan keluar darinya.

Apatah lagi kehidupan di dunia ini. Ia akan lebih membosankan bila tidak melihat Allah SWT. Hidup penuh kegersangan, kekerasan, kejenuhan, keluhan, dan kesia-siaan tanpa makna, jika tanpa bimbingan Allah SWT. 

Mengingat pentingnya nilai Allah SWT (iman) tersebut, maka begitu bayi lahir, padanya dikumandangkan azan dan ikamah, yang intinya tidak lain untuk membekali sang bayi dengan nilai-nilai iman kepada Allah SWT. Pun, ketika seseorang mau melangsungkan akad nikah, biasanya dibekali dengan syahadat.

Terutama sekali ketika seseorang akan meninggal dunia, dan bahkan pada setiap akan melakukan aktivitas, dianjurkan untuk memulainya dengan membaca basmalah.

Demikian itu dimaksudkan supaya kehidupan yang dilakukan bermakna dan bernilai, jauh dari kesia-siaan. Nabi Muhammad SAW, ketika hendak membangun dan memberdayakan masyarakat beliau yang Jahiliah juga memulainya dengan menanamkan iman.

Dus, iman itulah yang diharapkan memimpin kehidupan seseorang, dan ia mewujud secara nyata dalam pribadi orang yang berpuasa Ramadan. Bahkan, dalam Al-Qur’an, orang-orang beriman itulah yang dititahkan oleh Allah untuk menunaikan puasa, bukan yang lain. Wallahu a’lam.
_____

Husein Aziz, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Tags
1 Komentar
banner

2022-04-07 13:59:55

Nasaruddin

Terima kasih atas pencerahannya, Prof. Barakallahu fiik.

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech