Beda Nasionalisme Indonesia dan Eropa
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Ahad, 15-5-2022 | - Dilihat: 30

Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.
Bung Karno, dalam artikel-artikelnya di dekade 1930-an, sering menjelaskan nasionalisme Bangsa Indonesia. Menurut Guru Pesar Sejarah UNY Prof. Ahmad Syafii Maarif, ‘tanggal lahir’ Bangsa Indonesia adalah 28 Oktober 1928, saat Sumpah Pemuda.
Peristiwa pertama yang mendeklarasikan elemen-elemen pemuda kepulauan Hindia Timur yang masih dijajah oleh Belanda untuk menjadi satu bangsa, berdiri bersama, tidak berdiri sendiri-sendiri.
Sumpah Pemuda menegaskan bahwa anak-anak bangsa dari Sabang sampai Merauke memiliki satu identitas yang sama, yaitu Negara Indonedia dan Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Sementara itu, bangsa-bangsa lain di Eropa yang tidak dipisahkan lautan, justru terpecah menjadi banyak bangsa, tidak satu bangsa. Begitu juga Bangsa Arab yang memiliki satu bahasa, terpecah dalam belasan negara.
Salah satu faktor penting yang dikaji secara mendalam oleh Bung Karno, kenapa negara-negara Eropa dan negara-negara Arab terpecah dalam banyak negara, padahal tidak dipisahkan oleh lautan, adalah persaingan kolonialisme.
Jika bangsa-bangsa di Afrika dan Bangsa Arab terpecah dalam berbagai negara akibat kolonialisme, Bangsa Eropa terpecah-pecah karena persaingan antar sesama mereka dalam kolonialisme.
Perang Napoleon sempat mengguncangkan bangsa-bangsa Eropa, akan tetapi justru tetap meningkatkan persaingan kolonialisme. Napoleon justru terlibat persaingan kolonialisme melawan pengaruh Inggris. Tidak hanya di Afrika, akan tetapi juga di Asia.
Akibatnya, peperangan demi peperangan harus dihadapi oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, melawan bangsa penjajah sebelumnya, apakah itu Inggris, Portugis, Spanyol dan lainnya, kemudian harus melawan Prancis sebagai pesaing para penjajah.
Tidak hanya Prancis di era Napoleon, saat Nazi menguasai Jerman, Hitler juga melancarkan aksi serangan ke negara-negara Afrika seperti Mesir dan Ethiopia. Sayangnya, serangan ke Mesir gagal karena tidak mampu menyaingi kekuatan Inggris yang sejak runtuhnya Turki Utsmani menjadikan Mesir sebagai salah satu negara monarki protektorat yang berada di bawah naungan Britania.
Bung Karno juga menolak pan-asiatisme yang dipropagandakan oleh Jepang, karena di dalamnya terdapat fasisme dan berujung kolonialisme. Banyak negara-bangsa yang kemudian dijajah oleh Jepang seperti Korea hingga hilangnya keturunan dinasti Kerajaan Korea dan mengajak Bangsa Korea bermusuhan dengan Uni Soviet. Sangat berbeda dengan nasionalisme Bangsa Indonesia yang tidak mengenal fasisme apalagi kolonialisme seperti Jerman dan Jepang.
Bung Karno dalam artikel berjudul ‘Indonesianisme dan Pan-Asiatisme’ yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda tahun 1928, menjelaskan bahwa nasionalisme Bangsa Indonesia :
“Nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa,s ebagaimana lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenaps esuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Nasionalisme kita bukan-lah nasionalisme ke-Barat-an yang menurut perkataan CR. Das adalah sauatu nasionalisme yang serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang menghitung-hitung untung atau rugi.”
Melalui gagasan ini, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno masih melihat kolonialisme di berbagai negara Asia dan Afrika masih mengancam kemerdekaan Indonesia. Maka kemudian, pada tahun 1955, Bung Karno menggagas Konfrensi Asia Afrika di Bandung.
Kemudian, melalui nasionalisme yang tidak mengandung fasisme dan kolonialisme, Bung Karno bersam Nasser, Nehru, Nkrumah dan Tito, menggagas Gerakan Non Blok, sebagai perlawanan terhadap kolonialisme yang berdasarkan industrialisme.
Bung Karno menyadari bahwa Perang Dunia I dan Perang Dunia II sejatinya merupakan persaingan industrialisme tua (Jerman, Jepang dan Rusia) dengan industrialisme muda (Inggris, Prancis dan Amerika Serikat).
Hanya saja, Rusia yang masih dilanda revolusi komunis tengah menata diri pasca Perang Dunia I, akan tetapi dipacing oleh Jerman dan Jepang. Tentu saja industrialisme tua kalah, dan industrialisme muda yang ditopang oleh kapitalisme dan liberalisme memenangkan peperangan yang merenggut jutaan jiwa manusia yang tidak berdosa.
Salah besar jika menyebut nasionalisme Indonesia mengandung fasisme dan kolonialisme, apalagi rasisme, yang dipropagandakan oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab dan bahkan mendukung aksi-aksi kriminalitas dan teror.
Salah satu oknum tersebut adalah Benny Wenda yang dalam berbagai safarinya ke berbagai negara memfitnah Bangsa Indonesia dengan tuduhan yang tidak berdasar dengan dalih kemanusiaan. Padahal, saat terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh sel-sel teroris KKB-OPM atas warga sipil, Benny Wenda yang dalam safarinya ke berbagai negara mengklaim sebagai pejuang kemanusiaan, diam seribu bahasa.
Pada akhir tahun 2016, Benny Wenda diterima oleh Polisario, separatis Maroko beraliran sosialis-kiri di perkemahan Tandof, bagian selatan Aljazair. Polisario pada huru-hara 2011 merampas sejumlah gudang senjata di Libya yang dibangun oleh mendiang Muammar Qaddafi, yang kemudian dijual ke ISIS dan dialirkan ke berbagai penjuru dunia, terutama Eropa. Maka tidak mengherankan jika sel-sel teroris KKB-OPM memiliki senapan-senapan canggih yang digunakan untuk meneror rakyat sipil.
Hal yang mengherankan justru para pejabat dan tokoh bangsa-bangsa Eropa menerima safari Benny Wenda, yang bekerjasama dengan Polisario pemasok senjata bagi ISIS yang digunakan untuk meneror rakyat sipil yang berdosa di negeri-negeri Eropa. Padahal, para tokoh dan pejabat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang mendukung Benny Wenda, selalu menyerukan penegakan hak asasi manusia.
Bahkan ketika Amerika Serikat tidak menemukan senjata pemusnah massal setelah menginvasi Irak, mengklaim menegakkan hak asasi manusia dan mendorong demokratisasi di Irak. Hasilnya, sampai sekarang Irak terjadi konflik-konflik sektarian yang tidak berhenti.
Para pengungsi yang berasal dari Palestina, Somalia, Irak, Libya, Yaman dan Suriah serta negara-negara yang terjadi perang saudara sampai saat ini berada di negeri-negeri Eropa, menimbulkan keresahan akan identitas nasionalisme warga asli negeri-negeri Eropa.
Francis Fukuyama menjelaskan peran penting para aktifis Kiri-Baru yang berusaha meyakinkan warga asli di Eropa dan Amerika Serikat untuk menerima para pengungsi dan imigran, agar memperkuat industrialisme di Amerika Serikat dan Eropa. Sayangnya, tidak sedikit terjadi benturan dan gesekan sosial.
Tidak sedikit kalangan pemuda di dunia yang sadar akan propaganda para pemain rasa kemanusiaan untuk kepentingan industrialisme, dan mereka mulai bergerak. Awal 2019, Pemerintah Mesir memprakarsai Arab Africa Youth Forum, sebagai bentuk penggalangan kalangan pemuda Bangsa Arab dan bangsa-bangsa Afrika untuk memperteguh identitas nasionalisme, melawan terorisme atas nama agama, mempertulus perjuangan kemanusiaan dan memperkokoh komitmen dalam melawan segala bentuk kolonialisme walaupun bercover separatisme. Para pemuda ini merupakan masa depan tatanan dunia yang dicita-citakan oleh para founding fathers, yang penuh kemanusiaan yana tulus dan berkeadilan sosial.
Pemerintah Indonesia memiliki modal historis, yaitu Konfrensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok yang dapat digerakkan dalam menjalin solidaritas para pemuda dunia untuk melawan neo-industrialisme yang menggunakan para globalis baik dari elemen-elemen Kiri-Baru atau kelompok-kelompok Salafi Haroki Irhabi.
Solidaritas tersebut juga dapat menyelesaikan separatisme dan perang saudara yang didomplengi neo-industrialisme, yang tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga berbagai belahan dunia lainnya.
_____
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc, Pengamat Terorisme di Timur Tengah
- Artikel Terpuler -
Beda Nasionalisme Indonesia dan Eropa
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Ahad, 15-5-2022 | - Dilihat: 30

Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.
Bung Karno, dalam artikel-artikelnya di dekade 1930-an, sering menjelaskan nasionalisme Bangsa Indonesia. Menurut Guru Pesar Sejarah UNY Prof. Ahmad Syafii Maarif, ‘tanggal lahir’ Bangsa Indonesia adalah 28 Oktober 1928, saat Sumpah Pemuda.
Peristiwa pertama yang mendeklarasikan elemen-elemen pemuda kepulauan Hindia Timur yang masih dijajah oleh Belanda untuk menjadi satu bangsa, berdiri bersama, tidak berdiri sendiri-sendiri.
Sumpah Pemuda menegaskan bahwa anak-anak bangsa dari Sabang sampai Merauke memiliki satu identitas yang sama, yaitu Negara Indonedia dan Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Sementara itu, bangsa-bangsa lain di Eropa yang tidak dipisahkan lautan, justru terpecah menjadi banyak bangsa, tidak satu bangsa. Begitu juga Bangsa Arab yang memiliki satu bahasa, terpecah dalam belasan negara.
Salah satu faktor penting yang dikaji secara mendalam oleh Bung Karno, kenapa negara-negara Eropa dan negara-negara Arab terpecah dalam banyak negara, padahal tidak dipisahkan oleh lautan, adalah persaingan kolonialisme.
Jika bangsa-bangsa di Afrika dan Bangsa Arab terpecah dalam berbagai negara akibat kolonialisme, Bangsa Eropa terpecah-pecah karena persaingan antar sesama mereka dalam kolonialisme.
Perang Napoleon sempat mengguncangkan bangsa-bangsa Eropa, akan tetapi justru tetap meningkatkan persaingan kolonialisme. Napoleon justru terlibat persaingan kolonialisme melawan pengaruh Inggris. Tidak hanya di Afrika, akan tetapi juga di Asia.
Akibatnya, peperangan demi peperangan harus dihadapi oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, melawan bangsa penjajah sebelumnya, apakah itu Inggris, Portugis, Spanyol dan lainnya, kemudian harus melawan Prancis sebagai pesaing para penjajah.
Tidak hanya Prancis di era Napoleon, saat Nazi menguasai Jerman, Hitler juga melancarkan aksi serangan ke negara-negara Afrika seperti Mesir dan Ethiopia. Sayangnya, serangan ke Mesir gagal karena tidak mampu menyaingi kekuatan Inggris yang sejak runtuhnya Turki Utsmani menjadikan Mesir sebagai salah satu negara monarki protektorat yang berada di bawah naungan Britania.
Bung Karno juga menolak pan-asiatisme yang dipropagandakan oleh Jepang, karena di dalamnya terdapat fasisme dan berujung kolonialisme. Banyak negara-bangsa yang kemudian dijajah oleh Jepang seperti Korea hingga hilangnya keturunan dinasti Kerajaan Korea dan mengajak Bangsa Korea bermusuhan dengan Uni Soviet. Sangat berbeda dengan nasionalisme Bangsa Indonesia yang tidak mengenal fasisme apalagi kolonialisme seperti Jerman dan Jepang.
Bung Karno dalam artikel berjudul ‘Indonesianisme dan Pan-Asiatisme’ yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda tahun 1928, menjelaskan bahwa nasionalisme Bangsa Indonesia :
“Nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa,s ebagaimana lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenaps esuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Nasionalisme kita bukan-lah nasionalisme ke-Barat-an yang menurut perkataan CR. Das adalah sauatu nasionalisme yang serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang menghitung-hitung untung atau rugi.”
Melalui gagasan ini, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno masih melihat kolonialisme di berbagai negara Asia dan Afrika masih mengancam kemerdekaan Indonesia. Maka kemudian, pada tahun 1955, Bung Karno menggagas Konfrensi Asia Afrika di Bandung.
Kemudian, melalui nasionalisme yang tidak mengandung fasisme dan kolonialisme, Bung Karno bersam Nasser, Nehru, Nkrumah dan Tito, menggagas Gerakan Non Blok, sebagai perlawanan terhadap kolonialisme yang berdasarkan industrialisme.
Bung Karno menyadari bahwa Perang Dunia I dan Perang Dunia II sejatinya merupakan persaingan industrialisme tua (Jerman, Jepang dan Rusia) dengan industrialisme muda (Inggris, Prancis dan Amerika Serikat).
Hanya saja, Rusia yang masih dilanda revolusi komunis tengah menata diri pasca Perang Dunia I, akan tetapi dipacing oleh Jerman dan Jepang. Tentu saja industrialisme tua kalah, dan industrialisme muda yang ditopang oleh kapitalisme dan liberalisme memenangkan peperangan yang merenggut jutaan jiwa manusia yang tidak berdosa.
Salah besar jika menyebut nasionalisme Indonesia mengandung fasisme dan kolonialisme, apalagi rasisme, yang dipropagandakan oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab dan bahkan mendukung aksi-aksi kriminalitas dan teror.
Salah satu oknum tersebut adalah Benny Wenda yang dalam berbagai safarinya ke berbagai negara memfitnah Bangsa Indonesia dengan tuduhan yang tidak berdasar dengan dalih kemanusiaan. Padahal, saat terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh sel-sel teroris KKB-OPM atas warga sipil, Benny Wenda yang dalam safarinya ke berbagai negara mengklaim sebagai pejuang kemanusiaan, diam seribu bahasa.
Pada akhir tahun 2016, Benny Wenda diterima oleh Polisario, separatis Maroko beraliran sosialis-kiri di perkemahan Tandof, bagian selatan Aljazair. Polisario pada huru-hara 2011 merampas sejumlah gudang senjata di Libya yang dibangun oleh mendiang Muammar Qaddafi, yang kemudian dijual ke ISIS dan dialirkan ke berbagai penjuru dunia, terutama Eropa. Maka tidak mengherankan jika sel-sel teroris KKB-OPM memiliki senapan-senapan canggih yang digunakan untuk meneror rakyat sipil.
Hal yang mengherankan justru para pejabat dan tokoh bangsa-bangsa Eropa menerima safari Benny Wenda, yang bekerjasama dengan Polisario pemasok senjata bagi ISIS yang digunakan untuk meneror rakyat sipil yang berdosa di negeri-negeri Eropa. Padahal, para tokoh dan pejabat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang mendukung Benny Wenda, selalu menyerukan penegakan hak asasi manusia.
Bahkan ketika Amerika Serikat tidak menemukan senjata pemusnah massal setelah menginvasi Irak, mengklaim menegakkan hak asasi manusia dan mendorong demokratisasi di Irak. Hasilnya, sampai sekarang Irak terjadi konflik-konflik sektarian yang tidak berhenti.
Para pengungsi yang berasal dari Palestina, Somalia, Irak, Libya, Yaman dan Suriah serta negara-negara yang terjadi perang saudara sampai saat ini berada di negeri-negeri Eropa, menimbulkan keresahan akan identitas nasionalisme warga asli negeri-negeri Eropa.
Francis Fukuyama menjelaskan peran penting para aktifis Kiri-Baru yang berusaha meyakinkan warga asli di Eropa dan Amerika Serikat untuk menerima para pengungsi dan imigran, agar memperkuat industrialisme di Amerika Serikat dan Eropa. Sayangnya, tidak sedikit terjadi benturan dan gesekan sosial.
Tidak sedikit kalangan pemuda di dunia yang sadar akan propaganda para pemain rasa kemanusiaan untuk kepentingan industrialisme, dan mereka mulai bergerak. Awal 2019, Pemerintah Mesir memprakarsai Arab Africa Youth Forum, sebagai bentuk penggalangan kalangan pemuda Bangsa Arab dan bangsa-bangsa Afrika untuk memperteguh identitas nasionalisme, melawan terorisme atas nama agama, mempertulus perjuangan kemanusiaan dan memperkokoh komitmen dalam melawan segala bentuk kolonialisme walaupun bercover separatisme. Para pemuda ini merupakan masa depan tatanan dunia yang dicita-citakan oleh para founding fathers, yang penuh kemanusiaan yana tulus dan berkeadilan sosial.
Pemerintah Indonesia memiliki modal historis, yaitu Konfrensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok yang dapat digerakkan dalam menjalin solidaritas para pemuda dunia untuk melawan neo-industrialisme yang menggunakan para globalis baik dari elemen-elemen Kiri-Baru atau kelompok-kelompok Salafi Haroki Irhabi.
Solidaritas tersebut juga dapat menyelesaikan separatisme dan perang saudara yang didomplengi neo-industrialisme, yang tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga berbagai belahan dunia lainnya.
_____
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc, Pengamat Terorisme di Timur Tengah
0 Komentar
Tinggalkan Pesan