• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

“Musa” di Era Modern

Akmal Basyir Selasa, 11-10-2022 | - Dilihat: 98

banner

Oleh: Akmal Basyir

Sejarah mengisahkan ada seorang anak yang dihanyutkan ibunya sendiri di sungai Nil karena ketakutan ancaman yang akan menimpa. Anak itu bernama Musa. Seorang anak yang selamat dari ancaman pembunuhan sang penguasa dzalim. Keselamatan tersebut dikarenakan Musa didapati oleh seorang ratu penguasa ialah istri Fir’aun.

Musa tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kerajaan yang megah dan penuh kemewahan. Walaupun demekian tak membuat musa silau akan kemewahan. Sikap untuk berpihak terhadap kaum mustadhafin justru tumbuh subur di dalam istana dikarenakan sikap dan perilaku fir’aun yang sekehendak bebas dilihat oleh musa. Ini justru menjadi keinginan musa untuk melakukan kebaikan, bukan untuk mencontoh.

Sejarah merekam dengan jelas kejahatan yang dilakukan oleh Fir’aun. Penguasa diktator yang kejam terhadap rakyatnya sendiri karena tidak memihak pada kepentingan kekuasaan. Ini yang kelak akan dicontoh oleh kekuasaan selanjutnya, betapa penguasa memegang kekuasaan penuh terhadap kebenaran.

Pada masa tersebut, kebenaran, keadilan, dan kekebasan menjadi sesuatu yang mewah lagi mahal bagi para kaum tertindas. Inilah bentuk yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Budaya eksploitasi yang langgeng di dalam sebuah kekuasaan. Para penguasa menjadikan objek atas manusia yang lain yang dianggap tak berdaya oleh mereka.

Situasi seperti ini tentu tidak terlepas dari aspek pengetahuan dan kekuasaan. Keduanya saling berhubungan. Menurut Michel Foucault, pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan.

Dalam istilah lain, Foucault menyebut bahwa pengetahuan sebagai episteme, yaitu bentuk pengetahuan yang bersifat otoritatif atau pengetahuan yang telah dilanggengkan sebagai pemaknaan akan situasi tertentu di suatu zaman.

Episteme tidak lagi dipahami sebagai sebuah cara pandang dalam melihat adanya dikotomis antara yang benar dan yang salah, melainkan dipahami dalam ranah yang lebih praksis yaitu pemisahan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin untuk dipikirkan bahkan dilakukan oleh subjek.

Terbentuknya system pengetahuan di suatu masyarakat tentu melibatkan kekuasaan, sehingga praktik-praktik hubungan social subjek memiliki otoritas tertentu dan klaim atas kebenaran tertentu.

Fir’aun dan Haman

Kekuasaan yang berdiri kokoh dan menindas tentu ada pemimpin yang kejam, Fir’aun. Pemimpin yang demikian tentu punya kaki tangan yang dipercaya untuk melanggengkan kekuasaan. Ialah Haman. Salah seorang pembesar kekuasaan fir’aun. Perannya di dalam kerajaan menempati posisi yang suci, Menteri keagamaan sekaligus penasihat fir’aun terutama dalam bidang agama. Disebutkan juga bahwa ia adalah arsitek untuk pembangunan proyek pembuktian, menara untuk melihat Tuhan musa.

Dalam konteks negara sekarang, para penguasa melacurkan dirinya dengan para pemilik modal sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, menindas, mereduksi keberadaannya. Kebijakan itu juga didukung oleh para pemuka agama-seperti haman-untuk menguatkan dalih para penguasa. Betapa menjijikannya orang yang punya ilmu dan pengetahuan tentang agama tetapi ia tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap perilakunya.

Kecurangan para penguasa dan para pemilik modal yang didukung oleh pemuka agama ini termaktub dalam kitab suci “Dan fir’aun berkata kepada kaumnya (seraya) berkata: Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sunga-sungai ini mengalir dibawahku, maka apakah kamu tidak melihat-(nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hamper tidak dapat menjelaskan (perkataannya) (43:51-52).

Dari dulu kekuasaan hampir mirip sifatnya, congkak dan enggan menerima kebenaran. Sikap congkak tersebut menutupi kebenaran dan tidak menerimanya. Unjuk kekuasaan fir’aun ditunjukkan melalui apa yang dimikinya. Dalam Bahasa sekarang, fir’aun bersikap self claim atas prestasi yang didapatinya selama ini. Menganggap apa yang diperolehnya bukan berdasar atas keterlibatan semua pihak, termasuk rakyat melainkan pengaruh kepemimpinannya.

Mencari Musa

Di masa kini, banyak orang saling bangka-membanggakan akan jabatan atau kekuasaan yang diperoleh secara baik-maupun buruk. Dalih-dalih suci yang terlukai dengan nafsu kepentingan pihak korup. Perasaan sombong-menyombongkan kerapkali hinggap di hati para pemegang kekuasaan. Sikap kesewenang-wenangan dialamatkan kepada para orang terpinggirkan. Mereka bergaul hanya dengan para pemegang posisi yang serupa. Rakus dan sumbu pendek menjadi ciri khas dan tindakan mereka.

Di lain sisi, tidak menutup kemungkinan juga untuk terlahirnya tokoh revolusioner seperti nabi musa. Tokoh pemberontak yang menentang status quo, memihak kepada rakyat kecil, menegakkan kebenaran, dan terus berjuang tanpa henti. Melalui analisis sosial kondisi masyarakat pada masa sekarang, dapat membantu tokoh revolusioner dalam mengurai masalah dan membebaskan rakyat.

Inilah yang disebutkan oleh Antonio Gramsci sebagai intelektual organik. Menurut Gramsci, kaum intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Ia melakukan dobrakan ganda pandangan umum terhadap kaum intelektual; mereka bukan hanya pemikir, penulis, dan seniman namun juga organisator seperti organisator dan pemimpin politik.

Perbedaan yang mendasar antara intelektual tradisional dan inteletual organik menurut Gramsci adalah dalam pengorganisiran masa untuk melakukan perubahan social kea rah yang lebih baik.

Dengan hal yang demikian ini, lantas siapakah seseorang atau tokoh yang pantas menggantikan peran ‘musa’ dalam membela kebenaran dan berpihak pada kaum yang teraniaya dalam konteks sekarang?

Tags
2 Komentar
banner

2022-10-13 12:31:23

Widi

????

banner

2022-10-13 12:32:09

Widi

????

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

“Musa” di Era Modern

Akmal Basyir Selasa, 11-10-2022 | - Dilihat: 98

banner

Oleh: Akmal Basyir

Sejarah mengisahkan ada seorang anak yang dihanyutkan ibunya sendiri di sungai Nil karena ketakutan ancaman yang akan menimpa. Anak itu bernama Musa. Seorang anak yang selamat dari ancaman pembunuhan sang penguasa dzalim. Keselamatan tersebut dikarenakan Musa didapati oleh seorang ratu penguasa ialah istri Fir’aun.

Musa tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kerajaan yang megah dan penuh kemewahan. Walaupun demekian tak membuat musa silau akan kemewahan. Sikap untuk berpihak terhadap kaum mustadhafin justru tumbuh subur di dalam istana dikarenakan sikap dan perilaku fir’aun yang sekehendak bebas dilihat oleh musa. Ini justru menjadi keinginan musa untuk melakukan kebaikan, bukan untuk mencontoh.

Sejarah merekam dengan jelas kejahatan yang dilakukan oleh Fir’aun. Penguasa diktator yang kejam terhadap rakyatnya sendiri karena tidak memihak pada kepentingan kekuasaan. Ini yang kelak akan dicontoh oleh kekuasaan selanjutnya, betapa penguasa memegang kekuasaan penuh terhadap kebenaran.

Pada masa tersebut, kebenaran, keadilan, dan kekebasan menjadi sesuatu yang mewah lagi mahal bagi para kaum tertindas. Inilah bentuk yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Budaya eksploitasi yang langgeng di dalam sebuah kekuasaan. Para penguasa menjadikan objek atas manusia yang lain yang dianggap tak berdaya oleh mereka.

Situasi seperti ini tentu tidak terlepas dari aspek pengetahuan dan kekuasaan. Keduanya saling berhubungan. Menurut Michel Foucault, pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan.

Dalam istilah lain, Foucault menyebut bahwa pengetahuan sebagai episteme, yaitu bentuk pengetahuan yang bersifat otoritatif atau pengetahuan yang telah dilanggengkan sebagai pemaknaan akan situasi tertentu di suatu zaman.

Episteme tidak lagi dipahami sebagai sebuah cara pandang dalam melihat adanya dikotomis antara yang benar dan yang salah, melainkan dipahami dalam ranah yang lebih praksis yaitu pemisahan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin untuk dipikirkan bahkan dilakukan oleh subjek.

Terbentuknya system pengetahuan di suatu masyarakat tentu melibatkan kekuasaan, sehingga praktik-praktik hubungan social subjek memiliki otoritas tertentu dan klaim atas kebenaran tertentu.

Fir’aun dan Haman

Kekuasaan yang berdiri kokoh dan menindas tentu ada pemimpin yang kejam, Fir’aun. Pemimpin yang demikian tentu punya kaki tangan yang dipercaya untuk melanggengkan kekuasaan. Ialah Haman. Salah seorang pembesar kekuasaan fir’aun. Perannya di dalam kerajaan menempati posisi yang suci, Menteri keagamaan sekaligus penasihat fir’aun terutama dalam bidang agama. Disebutkan juga bahwa ia adalah arsitek untuk pembangunan proyek pembuktian, menara untuk melihat Tuhan musa.

Dalam konteks negara sekarang, para penguasa melacurkan dirinya dengan para pemilik modal sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, menindas, mereduksi keberadaannya. Kebijakan itu juga didukung oleh para pemuka agama-seperti haman-untuk menguatkan dalih para penguasa. Betapa menjijikannya orang yang punya ilmu dan pengetahuan tentang agama tetapi ia tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap perilakunya.

Kecurangan para penguasa dan para pemilik modal yang didukung oleh pemuka agama ini termaktub dalam kitab suci “Dan fir’aun berkata kepada kaumnya (seraya) berkata: Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sunga-sungai ini mengalir dibawahku, maka apakah kamu tidak melihat-(nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hamper tidak dapat menjelaskan (perkataannya) (43:51-52).

Dari dulu kekuasaan hampir mirip sifatnya, congkak dan enggan menerima kebenaran. Sikap congkak tersebut menutupi kebenaran dan tidak menerimanya. Unjuk kekuasaan fir’aun ditunjukkan melalui apa yang dimikinya. Dalam Bahasa sekarang, fir’aun bersikap self claim atas prestasi yang didapatinya selama ini. Menganggap apa yang diperolehnya bukan berdasar atas keterlibatan semua pihak, termasuk rakyat melainkan pengaruh kepemimpinannya.

Mencari Musa

Di masa kini, banyak orang saling bangka-membanggakan akan jabatan atau kekuasaan yang diperoleh secara baik-maupun buruk. Dalih-dalih suci yang terlukai dengan nafsu kepentingan pihak korup. Perasaan sombong-menyombongkan kerapkali hinggap di hati para pemegang kekuasaan. Sikap kesewenang-wenangan dialamatkan kepada para orang terpinggirkan. Mereka bergaul hanya dengan para pemegang posisi yang serupa. Rakus dan sumbu pendek menjadi ciri khas dan tindakan mereka.

Di lain sisi, tidak menutup kemungkinan juga untuk terlahirnya tokoh revolusioner seperti nabi musa. Tokoh pemberontak yang menentang status quo, memihak kepada rakyat kecil, menegakkan kebenaran, dan terus berjuang tanpa henti. Melalui analisis sosial kondisi masyarakat pada masa sekarang, dapat membantu tokoh revolusioner dalam mengurai masalah dan membebaskan rakyat.

Inilah yang disebutkan oleh Antonio Gramsci sebagai intelektual organik. Menurut Gramsci, kaum intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Ia melakukan dobrakan ganda pandangan umum terhadap kaum intelektual; mereka bukan hanya pemikir, penulis, dan seniman namun juga organisator seperti organisator dan pemimpin politik.

Perbedaan yang mendasar antara intelektual tradisional dan inteletual organik menurut Gramsci adalah dalam pengorganisiran masa untuk melakukan perubahan social kea rah yang lebih baik.

Dengan hal yang demikian ini, lantas siapakah seseorang atau tokoh yang pantas menggantikan peran ‘musa’ dalam membela kebenaran dan berpihak pada kaum yang teraniaya dalam konteks sekarang?

Tags
2 Komentar
banner

2022-10-13 12:31:23

Widi

????

banner

2022-10-13 12:32:09

Widi

????

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech