Perempuan dan Peradaban
Perempuan merupakan aset berharga ummat. Berdialog perkara perempuan, maka sosok lemah lembut dan penuh kasih sayang merupakan identitas yang seringkali melekat padanya. Perempuan menempati posisi tertinggi dalam Islam, maka tidak heran apabila Islam memberikan penghormatan lebih kepada sosok ini.
Dalam al-Qur’an perempuan dikenal dengan istilah an-Nisaa’, bahkan Allah swt mengabadikan istilah an-Nisaa’ sebagai nama salah satu surah dalam al-Qur’an. Banyak sekali kisah-kisah penuh hikmah yang Allah paparkan dalam surah ini.
Secara khusus tidak ada surah yang menjelaskan perihal laki-laki, namun Allah swt mempersembahkan satu surah tentang perempuan. Bahkan tidak pernah ditemukan dalam kitab agama lain pembahasan khusus perempuan selain daripada al-Qur’an.
Istilah lain perempuan yakni mar’atun. Uniknya apabila ditelusuri lebih jauh kata ini memiliki makna-makna yang istimewa, diantaranya lafadz أمرأ (baik dan bermanfaat), تمرّأ (memiliki sifat keperwiraan), المريءُ (yang baik), الإمرأة (istri) dan lain-lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebagai perempuan seyogyanya memiliki sifat dan karakter tersebut.
Perempuan sebagai mutiara istimewa dan berharga ini layak dilindungi dengan sangat baik, karena dari rahimnyalah akan terlahir insan-insan adabi pembangun peradaban. Sebagai agama yang mulia, Islam merupakan satu-satunya agama yang menjaga kaum perempuan dengan penuh kebijaksanaan dan kehati-hatian. Hal ini dibuktikan bahwa seluruh tuntunan, aturan dan ajaran Islam senantiasa diperuntukkan bagi perempuan.
Konsep Perempuan Pra-Islam
Perempuan pra-Islam merupakan sosok penuh kelemahan dan kehinaan. Pada masa Jahiliyah perempuan dianggap sebagai aib keluarga. Bayi perempuan yang terlahir dalam suatu keluarga dianggap tidak berguna dan mengisyaratkan ketidakjantanan ayah. Akibatnya untuk membuktikan kejantanannya, si ayah ditantang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup dihadapan masyarakat.
Kisah ini telah Allah jelaskan dalam Firman-Nya QS. an-Nahl: 58-59. Perempuan pra-Islam juga dianggap pemuas nafsu seks belaka. Seorang perempuan masa Jahiliyah bisa dinikahi oleh beberapa laki-laki sekaligus dengan tujuan seks semata. Apabila perempuan melahirkan seorang bayi, maka akan diundi siapakah yang berhak menjadi ayahnya.
Ketika datang fase menstruasi, perempuan akan diusir tanpa makanan dan minuman dengan penuh kehinaan dan kebiadaban. Apabila fase menstruasi telah usai, perempuan boleh kembali memasuki rumahnya untuk memuaskan nafsu seks kembali dan begitu seterusnya.
Kehinaan lain yang dialami perempuan yakni tidak berhak mendapat warisan namun merupakan bagian daripada warisan. Pada masa itu seorang anak laki-laki berhak menerima warisan dari ayahnya tanpa ibu dan saudari perempuannya. Maka si ayah dapat mewariskan istri dan anak perempuannya kepada anak laki-lakinya. Apabila anak laki-laki ini menerima ibu dan saudari perempuannya, ia bisa merawat bahkan menikahinya. Namun apabila tidak menerimanya, anak laki-laki ini berhak menjual ibu dan saudari perempuannya sebagai budak. Na’udzubillah.
Fakta-fakta mengejutkan tentang perempuan pra-Islam menunjukkan bahwa perempuan bukanlah esensi penting kehidupan dan tonggak peradaban. Perempuan hanya dianggap sebagai sampah keluarga dan pelengkap yang hadir ketika dibutuhkan dan segera dimusnahkan manakala tidak ada lagi sumbangsih yang diberikan.
Padahal perempuan merupakan salah satu tolok ukur signifikan dalam segala lini kehidupan, baik dalam pendidikan, keluarga, ekonomi, kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Tanpa adanya perempuan hebat yang berperan dibalik tirai kehidupan, maka tunggu saja kehancuran akan datang dengan segera.
Penghormatan Islam terhadap Perempuan
Fenomena menghinakan masa Jahiliyah lantas musnah setelah kehadiran agama Islam. Agama yang penuh dengan Rahmatan Lil ‘Alamin terhadap pemeluknya bahkan seluruh makhluk hidup di bumi Illahi. Islam telah pula mengangkat derajad, harkat dan martabat kaum perempuan dari jeratan kejahiliyahan.
Islam telah mengistimewakan dan mengkhususkan kaum perempuan melalui beberapa tuntunan dalam koridor syariat. Maka perempuan masa Islam laksana mutiara berharga dalam perlindungan tiram yang kokoh.
Penghormatan Islam terhadap kaum perempuan tampak jelas dalam beberapa syariatnya yang agung. Hal ini sekaligus mengisyaratkan makna bahwa perempuan merupakan unsur penting dalam membangun peradaban ummat.
Perintah menghormati ibu, adanya jaminan masuk surga bagi orang tua yang memiliki anak perempuan, perintah menutup aurat, perintah untuk menikah, memberikan hak waris bagi perempuan, memiliki kesempatan setara dengan laki-laki dalam berkarya maupun menuntut ilmu dan lain-lainnya merupakan bukti bahwa kaum perempuan adalah insan ciptaan Allah swt dan berhak memaksimalkan potensi berharga dalam dirinya.
Perempuan dan Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan pondasi awal terbentuknya peradaban masyarakat berkemajuan. Rumah tangga yang dibangun dengan penuh hikmah dan persiapan ilmu dalam bingkai sakinah, mawaddah wa rahmah akan melahirkan generasi-generasi peradaban berlandaskan ilmu.
Sebaliknya, rumah tangga yang dibangun tanpa persiapan matang hanya akan menghasilkan generasi secara fisik tanpa akhlak dan bobot cakrawala intelektual dibaliknya. Qoryah thayyibah merupakan dampak awal terbentuknya peradaban penuh hikmah, tentunya dimulai daripada lingkungan keluarga sebagai landasan utama terbentuknya insan kamil sekaligus insan adabi yang akan mengisi ruang-ruang peradaban dikemudian hari.
Perempuan menempati posisi penting dalam rumah tangga. Perempuan berperan sebagai istri sekaligus ibu, bahkan merangkap sebagai dokter, guru, psikolog dan peran-peran lainnya. Maka dalam memainkan laku perannya, perempuan tidak bisa melakukannya sembarangan, melainkan berlandaskan ilmu sebagai dasar sekaligus pedoman berperilaku dalam kehidupan berumah tangga, khususnya mendidik generasi peradaban.
Keluarga sebagai madrasah pertama pendidikan anak menjadikan perempuan memegang kendali penting atas sistem pendidikan yang berlaku didalamnya. Perempuan harus menyadari kodrat dan fitrahnya sebagai istri yang mampu mengayomi suami sekaligus ibu yang baik bagi anak-anaknya, sehingga suasana rumah menjadi hangat diiringi keharmonisan atas uswah khasanah kedua orang tuanya.
Problema yang sempat muncul adalah isu childfree yang digaungkan oleh seorang influencer Gita Savitri Devi bersama suaminya. Fenomena tersebut lantas menggegerkan publik dan menuai komentar pro dan kontra. Childfree sendiri merupakan paham yang berasal dari Barat dan bukan merupakan istilah yang baru, yakni keputusan untuk tidak memiliki keturunan setelah pernikahan.
Paham ini tentu saja bertentangan dengan syariat Islam sekaligus fitrah perempuan sebagai seorang ibu. Dampak terbesar penurunan angka kelahiran secara perlahan akan menjadikan pembentukan tamaddun (peradaban) yang nyaris hanya tinggal namanya saja.
Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa terbentuknya peradaban ummat berawal dari rahim seorang perempuan. Generasi yang terlahir dari rahim perempuan akan menjadi generasi Rabbani manakala perempuan sebagai ibu sekaligus istri mampu bekerjasama dengan suami dalam merawat kehidupan berlandaskan ilmu.
Ilmu adalah unsur yang menghantarkan pemiliknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana Imam Asy-Syafi’I mengatakan “Barangsiapa menginginkan dunia hendaklah ia membekali dirinya dengan ilmu, dan barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia membekali dirinya dengan ilmu”.
Terbentuknya Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur merupakan efek sekumpulan Qoryah Thayyibah diawali dari lingkup kecil yakni keluarga dalam bingkai Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah. Maka perempuan berkemajuan adalah perempuan yang mampu merawat kehidupan dengan ilmunya.
Post Comment