Perempuan Afghanistan dalam Novel A Thousand Splendid Suns
Terbersit rasa hampa dan kekosongan yang sulit diungkapkan setelah menuntaskan novel A Thousand Splendid Suns. Karya monumental Khaled Hosseini yang terbit pada tahun 2007 tersebut kembali menggugah ruang kesadaran, mengungkap dengan telanjang realitas pahit yang dialami perempuan Afghanistan—sebuah pengalaman literer yang meninggalkan kesan mendalam dan refleksi yang panjang.
Novel ini menyusul kesuksesan besar novel debut Khaled Hosseini pada tahun 2003, dengan judul “The Kite Runner”, yang lebih dulu singgah di hati pembaca dengan kisah persahabatan dan penebusan. Khaled Hosseini menganggap novel ini sebagai kisah ibu dan anak, berbeda dengan The Kite Runner, yang Ia anggap sebagai kisah ayah dan anak.
Perempuan Afghanistan
Dalam A Thousand Splendid Suns (2007) Khaled Hosseini kembali menghadirkan potret getir kehidupan di Afghanistan, khususnya perempuan. Di tengah derasnya arus kekerasan struktural, perang berkepanjangan, dan dominasi patriarki. Novel ini lebih dari sekedar kisah perempuan yang tertindas, yakni Mariam dan Laila. Melainkan alegori ketahanan dan kebangkitan perempuan dalam sistem yang membunuh habis-habisan.
Hosseini membawa pembaca berkelana jauh, menempatkan kisahnya dalam lanskap sejarah yang terus-terusan bergejolak dari masa pemerintahan monarki hingga rezim Taliban. Dalam konteks novel ini, perempuan menjadi entitas yang kehilangan agensi sosial, politik, dan hingga tubuhnya sendiri.
Patriarki
Meski patriarki bekerja hampir di setiap jengkal tangan manusia tapi melalui Mariam dan Laila, Hosseini menyoroti dan memperlihatkan secara khusus patriarki membunuh mereka dalam dua lapis, yakni publik dan domestik.
Diawali dengan kisah pernikahan yang tidak pernah diinginkan. Mariam harus menerima kenyataan bahwa itu adalah jalannya. Rasheed, suami Laila menjadi tokoh yang kuat merepresentasikan patriarki domestik, mulai dari mengatur berpakaian, membatas aktivitas.
Bahkan dengan mudahnya menjadikan kekerasan sebagai bentuk kontrol. Sedang hukum sosial dan rezim politik kala itu berperan aktif sebagai patriarki publik. Dengan membenarkan tiap kekerasan sebagai dalih moral dalam agama.
Memposisikan Perempuan
Kutipan “Like a compass needle that points north, a man’s accusing finger always finds a woman” menjadi sorotan penting, yang mana dari kutipan tersebut menegaskan bahwa dalam budaya patriarkal, kesalahan sosial akan selalu mengarah pada perempuan.
Dalam konteks ini, Hosseini mengungkapkan secara gamblang posisi perempuan didefinisikan bukan karena atau oleh dirinya sendiri. Melainkan oleh lingkungan, laki-laki, serta kekuasaan yang mengitari. Begitu juga dengan kehidupan yang dialami Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol.
Dalam Q. S. An-Nisa (4): 1, yang menyeru manusia untuk bertakwa kepada Tuhan yang menciptakan mereka “dari diri yang satu” dan menjadikan pasangannya dari (jenis) yang sama.
Dalam konteks di sini, tafsir keagamaan yang bias gender telah lebih dulu menjadi alat politik untuk menundukkan perempuan. Padahal, esensi Islam yang diwahyukan kepada Nabi berangkat dari semangat pembebasan, dengan mengangkat derajat perempuan dari praktik jahiliyah.
Sisterhood adalah Perlawanan
Meski disuguhkan dengan perjalanan yang memilukan, ada satu kekuatan yang muncul sebagai transformasi relasi antarperempuan. Mulanya, Mariam dan Laila dihadapkan pada posisi relasi yang kompetitif yakni istri tua dengan istri muda. Akan tetapi, Hosseini mengubah dinamika tersebut menjadi bentuk solidaritas antarperempuan.
Ikatan emosional dan spiritual keduanya berhasil membangun kekuatan sisterhood. Konsep tersebut digagas oleh Bell Hooks sebagai pilar gerakan perlawan perempuan, yang mana berakar pada kasih sayang dan pengalaman yang sama.
Bukan itu saja, penguasaan atas tubuh perempuan juga menjadi sorotan dalam kehidupan Mariam dan Laila. Burqa, kehamilan, serta pengalaman kekerasan menjadi simbol bagaimana tubuh dijadikan alat kontrol.
Tafsir patriarkal
Hosseini tidak memposisikan Islam sebagai penyebab penindasan, Ia mengkritik bagaimana tafsir patriarkal bekerja, sehingga Islam seolah-olah membenarkan dan mewajarkan perempuan sebagai makhluk subordinat.
Pandangan ini sejalan dengan gagasan Amina Wadud dalam Qur’an and Woman (1999) yang menekankan pentingnya tafsir gender-sensitif terhadap teks-teks keagamaan. Mariam dan Laila dengan demikian menjadi representasi perempuan Muslim yang tidak menolak identitas keagamaannya, tetapi menolak interpretasi yang menindas dengan dalih agama.
Dalam kecamuk rumah tangga yang penuh kekerasan, Mariam dan Laila mampu menghidupkan ruang kecil untuk saling menguatkan. Membuktikan bahwa perlawanan perempuan tidak selamanya lahir dari revolusi keras, melainkan dari cinta dan empati.
Solidaritas ini mengimplikasikan perlawanan simbolik terhadap sistem patriarki yang terus memecah belah perempuan dengan rasa bersaing dan bersalah.
Menurut Carol Gilligan, etika perempuan berakar pada care dan responsibility, bukan pada hukum rasional dan maskulin. Mariam memilih pengorbanan karena kesadarannya akan tanggung jawab moral yang Ia pegang. Tindakannya menjadi manifestasi moral perempuan, yang menegaskan bahwa keberanian bisa lahir dari sebuah makna penderitaan.
Matahari dari Langit Kabul
Penamaan A Thousand Splendid Suns terinspirasi dari puisi Persia karya Saib-e-Tabrizi yang memuji akan keindahan Kabul. Namun dalam konteks di sini, a thousand splendid suns menjadi metafora bagaimana perempuan Afghanistan tetap bersinar di tengah kehidupan yang berusaha menenggelamkan mereka.
Dengan Mariam yang selama hidupnya diperlakukan layaknya aib, justru menjadi sumber cahaya bagi Laila. Karena yang hina bagi sistem bukan berarti tidak memiliki arti. Dengan demikian, Hosseini menulis kisah menuju harapan dan rekonsiliasi kemanusiaan. Novel ini memperlihatkan bahwa tubuh perempuan memiliki kekuatan regenerative, bukan untuk melahirkan saja, tetapi juga untuk melahirkan makna dan peradaban baru.
Melalui A Thousand Splendid Suns, Khaled Hosseini berhasil menulis kisah perempuan sebagai pusat sejarah. Mariam dan Laila adalah tokoh resiliensi sekaligus spiritualitas perempuan. Mereka adalah bagian dari “seribu matahari yang gemilang”, sinar yang tak padam meski langit Kabul hancur oleh perang dan manusianya.
Melalui cahaya itulah, pembaca diajak percaya bahwa dalam beberapa kisah perempuan adalah kisah tentang keberanian melawan keadaan yang ditulis oleh tangan laki-laki.
Bagikan artikel ini :



Post Comment