Luputnya Takwa dari Dunia Pendidikan Kita
Jika kita melihat setiap berita yang muncul baik di laman portal berita ataupun di media sosial, tak akan bosan-bosannya dan tak akan habis-habisnya mata kita disuguhkan dengan berbagai macam berita tindak kejahatan, penyimpangan, amoral, asusila, dan lain sejenisnya. Bahkan tindakan-tindakan semacam itu ironisnya sudah bisa dikatakan dilakukan oleh semua kalangan, baik muda ataupun tua, laki atau perempuan, seorang warga biasa ataupun pejabat.
Sehingga dewasa ini kita melihat seolah tak ada bedanya orang berpendidikan ataupun tidak jika tawuran antar pelajar ataupun warga masih terjadi, korupsi terus dilakukan, kekerasan seksual kian merajalela – bahkan dilakukan oleh oknum unsur pendidik. Inilah yang kemudian disebut sebagai degradasi moral, kondisi dimana menurunnya kondisi tingkah laku seseorang akibat tidak mengikuti hati nurani karena kurangnya kesadaran diri akan kewajiban mutlak.
Demoralisasi Berakar dari Pendidikan yang Salah?
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, degradasi moral atau demoralisasi memang menjadi fakta lapangan yang sedang dan masih terjadi di negeri yang katanya religius ini. Padahal setiap agama mengajarkan kebaikan dan bagaimana berkehidupan yang baik begitupun dengan Islam.
Maka dalam melihat kondisi semacam ini, hal tersebut sangatlah berkenaan dengan karakter, nilai, dan moral seseorang yang tentunya tak akan lepas dari latar belakang pendidikan yang diembannya selama ini.
Karena pada dasarnya sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 yang artinya, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Kutipan ayat diatas secara jelas menerangkan bahwasannya kita manusia pada dasarnya tidak mengetahui apa-apa, sehingga baru dengan pendengaran, penglihatan dan hati lah yang kemudian diproses atau diaktifkan melalui yang namanya pendidikan – sebagaimana pengertian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yakni menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya – sehingga selanjutnya manusia menjadi tahu.
Dalam proses pendidikan inilah kemudian manusia menjadi berpengetahuan atau menjadi orang yang tahu, tahu mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Idealnya ialah semacam itu, namun fakta lapangan yang terjadi justru masih marak sekali kita jumpai bukan perilaku-perilaku yang asusila ataupun amoral.
Maka jika ditarik sedikit kebelakang bukanannya negeri ini telah lama menyelenggarakan dunia pendidikan? Lantas jika sejauh ini saja kasus-kasus tak bermoral masih tak asing sejauh mata memandang, apakah ada yang salah dengan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini? Dalam hal ini tentunya instrumen-instrumen pendidikan baik sekolah maupun guru di dalamnya patutlah menjadi perhatian pula selain dari sistem yang dibentuk di atasnya.
Karena jika proses penyelenggaraan pendidikan di negeri ini toh tak membuahkan hasil yang konkrit sebagaimana tujuan dari pendidikan itu sendiri, itu akan sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mark Twain ketika pendidikan formal tak lebih baik dibanding sebuah pengalaman hidup sehari-hari, “Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya”.
Reaktualisasi Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan
Kondisi realitas saat ini yang berkenaan dengan kemerosotan moral di berbagai kalangan sudah seharusnya mendorong kita tuk kembali melirik perihal tujuan dari penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Berangkat dari UUD 1945, kita akan menemukan kalimat “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” yang merupakan salah satu tujuan besar dari negeri ini sekaligus cita-cita bangsa pasca kemerdekaan. Hal tersebut kemudian diejawantahkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendidikan/pengajaran nasional.
Yang mana terkait dengan penyelenggaraan tersebut, tujuannya tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3 yang bunyinya, “… bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Jika ditinjau kembali, jelas nampaknya bahwa aspek yang pertama dicantumkan dalam tujuan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini ialah perihal konsep ketauhidan. Yang mana baru setelah itu terciptalah insan-insan yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan disempurnakan dengan sikap tanggung jawab.
Maka patut menjadi bahan peninjauan bersama apakah penyelenggaraan pendidikan yang ada sejauh ini telah menekankan konsep ketauhidan dalam prosesnya? Karena tentunya jika aspek utamanya saja perihal keimanan dan takwa luput, maka tak salah jika saat ini tindakan-tindakan yang tak bermoral dan non-etis masih saja terus marak terjadi.
Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Tafsir, seorang guru besar UIN Bandung bahwa kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah kesalahan para konseptor kurikulum pendidikan. Menurutnya, para konseptor tersebut telah melupakan unsur keimanan sebagai inti dari kurikulum pendidikan.
Sehingga cita-cita untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa melalui penyelenggaraan pendidikan nasional pun terkesan hanya sekedar angan-angan belaka yang tertulis dalam Undang-Undang jika hal ini terus larut dibiarkan.
Maka dari itu perlu rasanya reaktualisasi kembali dari tujuan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dengan menguatkan poros keimanan dan ketakwaan setiap peserta didik. Sehingga kemudian terbangun karakter insan yang bermoral, cakap, mandiri, demokratis, serta bertanggung jawab yang berlandaskan ketauhidan dan ketakwaan yang telah dibentuk sejak awal. Bukannya justru malah mendikhotomi pendidikan dengan memisahkan ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, yang tentunya akan bertentangan dengan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri.
Pengajaran agama maupun umum yang diajarkan di sekolah sudah seharusnya tidak berhenti pada pembacaan atau penghafalan siswa terhadap teks saja, melainkan sebagaimana kutipan surat An-Nahl diatas, bahwasannya pembentukan sikap/karakter harus didasari dengan penginderaan, yakni mengaplikasikan semua panca indera dengan membaca teks-teks ataupun penyampaian dari seorang pendidik. Maupun dengan membaca segala fenomena yang terjadi di sekitar atau melihat percontohan (uswah).
Post Comment