Ilusi Kepahlawanan (I)
Dalam setiap episode penting perjalanan bangsa, mahasiswa kerap berada di garis depan. Sejarah bangsa ini mencatat dengan tegas peran mahasiswa dalam setiap momentum besar. Dari Budi Utomo 1908 yang menjadi cikal bakal kebangkitan nasional, hingga Reformasi 1998, mahasiswa selalu hadir sebagai motor penggerak perubahan sosial dan politik.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, muncul sebuah pertanyaan yang melintas dari benak penulis: apakah gerakan mahasiswa saat ini masih memegang teguh nilai-nilai kemurniannya, ataukah justru telah kehilangan arah dan relevansinya di tengah arus zaman yang semakin kompleks?
Pertanyaan ini bukan untuk merendahkan, sebab penulis juga mahasiswa yang cukup intens mengikuti aktivitas seperti demonstrasi maupun gerakan perlawanan lain. Tetapi sebagai refleksi atas perjalanan panjang yang telah dilalui oleh gerakan mahasiswa pasca-reformasi.
Keresahan ini dilatar belakangi dari pengamatan penulis terhadap dinamika gerakan mahasiswa masa kini, yang seringkali terasa jauh berbeda dari apa yang terjadi di masa lampau. Demonstrasi besar, orasi politik yang menggema di jalanan, hingga unggahan-unggahan yang viral di media sosial, seolah menjadi bentuk ekspresi mahasiswa terhadap ketidakadilan atau pemerintahan yang dianggap tidak pro-rakyat.
Tak bisa dipungkiri, memang, zaman telah berubah. Akses informasi yang begitu mudah melalui media sosial memberikan dampak besar terhadap cara mahasiswa beraktivitas dan berprotes. Namun, perubahan ini juga menghadirkan tantangan tersendiri.
Layaknya pedang bermata dua, di satu sisi memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan pendapat dengan lebih cepat dan luas, tetapi di sisi lain, sering kali ditunggangi tren sesaat daripada isu-isu substantif. Bahkan, bisa saja gemuruh riuh itu dijadikan celah masifnya penyebaran hoax yang kini kian susah dibedakan.
Memahami Akar Gerakan Mahasiswa
Untuk memahami kondisi hari ini, baiknya kita mempelajari dan menengok jauh ke belakang terlebih dahulu. Gerakan mahasiswa di Indonesia memiliki sejarah yang sangat kaya dan berakar kuat dalam perjuangan moral dan intelektualisme.
Pada masa Orde Baru, mahasiswa menjadi garda terdepan dalam melawan otoritarianisme dan ketidakadilan. Diskusi berlarut-larut, pembacaan karya-karya magis, hingga kajian filosofis menjadi ciri khas yang tak terpisahkan. Intelektualitas seperti inilah yang membuat gerakan mahasiswa memiliki resonansi kuat dengan suara masyarakat.
Lagi-lagi, zaman berubah. Pasca-reformasi, kebebasan berekspresi yang diperjuangkan dengan susah payah justru menjadi pedang bermata dua. Ia membuka ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Tapi di sisi lain memunculkan banyak ancaman, politisasi kampus salah satunya.
Secara diam-diam, kepentingan politik praktis meracuni beberapa sendi gerakan mahasiswa. Fragmentasi dan polarisasi mulai muncul, memuat celah daripada gerakan mahasiswa yang kian kehilangan fokus.
Ambil contoh, dalam penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Sri Alfirah, Muhammad Havis, dan Tsalitsa Kurnia Fasa dari Universitas Negeri Semarang, dengan judul Apatisme Mahasiswa Ilmu Sosial terhadap Kontestasi Politik di Indonesia dan Implikasinya dalam Pemilu 2024, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa, terutama dari jurusan Ilmu Sosial, yang bersikap acuh dan tak peduli terhadap beragam isu politik.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena mereka berkeyakinan bahwa politik berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kepentingan dan tujuan kelompok, tanpa memperhatikan cara-cara yang mereka tempuh, baik itu baik atau buruk. Karenanya, mereka beranggapan bahwa politik selalu terkait dengan hal-hal negatif.
Meski penelitian ini tidak dapat dikategorikan mewakili mahasiswa secara keseluruhan, namun secara signifikan fenomena ini dapat menjelaskan bagaimana mahasiswa telah kehilangan fokus dan arah seiring dengan politisasi kepentingan kampus yang memecah soliditas.
Penulis analogikan seperti sebuah orkestra. Jika pada masa lalu gerakan mahasiswa adalah simfoni yang harmonis, kini ia menjadi seperti sebuah orkestra tanpa konduktor yang jelas. Suaranya masih ada, tetapi kehilangan arah dan keharmonisan. Pada akhirnya, bukan hanya gerakan mahasiswa yang terdampak oleh perubahan ini, tetapi juga kualitas serta integritas perjuangan mereka.
_____
Zarkasy Bilal Arafat, aktivis muda.
Bagikan artikel ini :


Post Comment