Dari Arkhé ke Tauhid: Jejak Pemikiran Filsuf Miletos
Sejarah pemikiran manusia tentang alam semesta dan penciptanya telah melewati perjalanan panjang yang menarik. Salah satu titik awal yang signifikan dalam perjalanan ini adalah konsep arkhé yang dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno dari Miletos. Menariknya, kita dapat melihat benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka dengan konsep tauhid dalam Islam, meskipun keduanya dipisahkan oleh jarak dan waktu yang cukup jauh.
Para filsuf Miletos, seperti Thales, Anaximander, dan Anaximenes, hidup pada abad ke-6 SM di kota Miletos, Ionia (kini bagian dari Turki). Mereka dikenal sebagai filsuf alam pertama yang berusaha menjelaskan asal-usul dan sifat alam semesta tanpa mengacu pada mitos atau legenda. Konsep kunci dalam pemikiran mereka adalah arkhé, yang berarti “asal” atau “prinsip dasar” dalam bahasa Yunani.
Thales berpendapat bahwa air adalah arkhé, substansi primordial yang menjadi asal-usul segala sesuatu. Anaximander mengusulkan konsep yang lebih abstrak, yaitu apeiron (yang tak terbatas), sebagai sumber segala sesuatu. Sementara itu, Anaximenes menyatakan bahwa udara adalah arkhé. Meskipun berbeda dalam hal substansi yang mereka pilih, ketiganya sepakat bahwa harus ada satu prinsip fundamental yang mendasari keberagaman alam semesta.
Ide tentang kesatuan yang mendasari keberagaman ini memiliki kemiripan yang menarik dengan konsep tauhid dalam Islam. Tauhid, yang berarti “keesaan Allah”, adalah prinsip fundamental dalam teologi Islam. Konsep ini menekankan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah, sumber dari segala sesuatu, dan tidak ada yang setara dengan-Nya.
Meskipun para filsuf Miletos tidak berbicara tentang Tuhan dalam pengertian teistik, konsep mereka tentang arkhé sebagai prinsip tunggal yang mendasari semua eksistensi memiliki kesamaan dengan gagasan tentang Allah sebagai sumber segala sesuatu dalam Islam. Keduanya mencari penjelasan yang menyatukan tentang realitas, alih-alih menerima pluralitas dewa atau kekuatan yang saling bertentangan.
Lebih jauh lagi, pencarian para filsuf Miletos akan penjelasan rasional tentang alam semesta memiliki resonansi dengan penekanan Islam pada penggunaan akal dalam memahami ciptaan Allah. QS Ali ‘Imran ayat 190-191 mengajak manusia untuk merenungkan alam semesta dan menggunakan akal mereka untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Pendekatan ini mirip dengan semangat penyelidikan yang dipelopori oleh para filsuf Miletos.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ada perbedaan signifikan antara konsep arkhé dan tauhid. Arkhé adalah konsep filosofis yang berusaha menjelaskan asal-usul materi, sementara tauhid adalah konsep teologis yang berfokus pada keesaan Tuhan yang transenden. Para filsuf Miletos mencari prinsip imanen dalam alam, sedangkan Islam menekankan Tuhan yang melampaui ciptaan-Nya meskipun tetap dekat dan terlibat dekan-Nya.
Meskipun demikian, jejak pemikiran para filsuf Miletos dapat dilihat dalam perkembangan teologi Islam, terutama dalam tradisi falsafah. Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina mengintegrasikan elemen-elemen filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam mereka, menciptakan sintesis yang kaya antara wahyu dan akal.
Misalnya, konsep “Sebab Pertama” (al-‘Illah al-Ula) yang dikembangkan oleh para filsuf Muslim memiliki kemiripan dengan gagasan arkhé. Mereka berpendapat bahwa Allah, sebagai Sebab Pertama, adalah sumber dari segala eksistensi, mirip dengan cara para filsuf Miletos memandang arkhé mereka sebagai asal-usul segala sesuatu.
Lebih lanjut, pencarian akan prinsip pemersatu yang mendasari keberagaman alam semesta, yang dimulai oleh para filsuf Miletos, mencapai puncaknya dalam konsep wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh sufi-filsuf seperti Ibnu Arabi. Meskipun kontroversial dan sering disalahpahami, gagasan ini menekankan bahwa segala sesuatu pada akhirnya berasal dari dan kembali kepada Allah, mencerminkan tema kesatuan yang telah ada sejak zaman filsuf Miletos.
Dalam konteks modern, pemahaman tentang hubungan antara pemikiran Yunani kuno dan konsep ketuhanan dalam Islam dapat membantu menjembatani kesenjangan antara tradisi intelektual Barat dan Islam. Ini menunjukkan bahwa, meskipun ada perbedaan yang signifikan, ada juga titik-titik pertemuan yang menarik yang dapat menjadi dasar untuk dialog dan pemahaman bersama.
Perjalanan dari arkhé ke tauhid menggambarkan evolusi pemikiran manusia tentang realitas tertinggi. Ini menunjukkan bagaimana ide-ide dapat berkembang, bertransformasi, dan menemukan ekspresi baru dalam konteks budaya dan agama yang berbeda.
Sambil tetap menghargai keunikan masing-masing tradisi, kita dapat mengapresiasi benang merah yang menghubungkan pencarian manusia akan pemahaman tentang alam semesta dan penciptanya, dari pantai Ionia kuno hingga jantung dunia Islam.
__
Ali Rijwan, Mahasiswa Magister FIAI Universitas Islam Indonesia
Bagikan artikel ini :


Post Comment