Loading Now

Pengalaman Menikahkan Orang di Depan Jenazah Sang Ibu

Pengalaman Menikahkan Orang di Depan Jenazah Sang Ibu - AnakPanah.id

Satu pengalaman yang mungkin akan sulit lepas dari memori saya adalah melaksanakan pernikahan di hadapan jenazah. Anda tidak salah baca, karena yang saya tulis ini juga dialami beberapa rekan sejawat saya sesama Penghulu, wa bil khusus yang tinggal di daerah Cilacap-Banyumas.

Sudah tidak terhitung saya menghadiri proses ijab qobul model begini. Dan pengalaman pertama menjadi yang paling istimewa. Mengapa istimewa? Akan saya ceritakan sedikit di pembuka tulisan ini.

Selama ratusan kali saya hadir di majelis akad nikah, hampir semua hadirin memasang wajah bersuka cita. Senyuman bertaburan di mana-mana. Pakaian bagus, necis dan wangi, dekorasi yang indah, hidangan yang menggugah selera adalah pemandangan umum sebuah pesta pernikahan.

Dalam kondisi sedang berduka, akad nikah menjadi tidak seperti biasanya alias sedikit istimewa. Di momen ini, senyuman kebahagiaan menjadi barang asing. Iringan musik berganti dengan isak tangis keluarga.

Kotak amplop calon pengantin dan orangtua, menjadi kotak amplop yang berduka. Sakinah mawadah wa rahmah bergantian dilisankan bersama dengan kalimat semoga tabah dan insyaallah husnul khatimah.

Para pelayat merangkap menjadi saksi pernikahan. Sebelum memulai akad nikah, saya memastikan tidak ada pihak keluarga yang keberatan. Semua harus menjawab setuju tanpa paksaan.

Saat itu, pengantin wanita hadir di majelis akad, bersandar di tembok dekat keranda tempat almarhumah ibunya dibaringkan. Wali nikah, 2 orang saksi, dan calon pengantin laki-laki duduk mengelilingi meja tempat berkas dan mas kawin diletakkan.

“Hadirin yang berbahagia,” ucapan reflek saya malam itu. Seperti kilat menyambar, saya baru ingat akad nikah ini tidak sama dengan pernikahan yang lalu-lalu. Beberapa pasang mata yang awalnya menunduk, kemudian menatap saya sekejap, kemudian menunduk kembali. Saya baru sadar, dari pada berbahagia, di sini mungkin lebih banyak yang berduka. Kalimat sapaan ini harus saya revisi, “Hadirin yang dimuliakan Allah SWT.” Begitu seterusnya.

Tepat sesaat akad dilisankan, pecahlah tangis beberapa hadirin yang hadir. Segera saya tutup majelis, tidak lupa saya sampaikan untaian belasungkawa dan doa terbaik untuk almarhum dan keluarga yang ditinggalkan.

Hukum Mempercepat Prosesi Akad Nikah karena Ada Keluarga Dekat yang Meninggal Dunia

Saya menelusuri sebab musabab tradisi ini ada di masyarakat tempat saya bertugas. Bahwa ternyata, ada pemahaman di antara warga jika seseorang sudah mendaftarkan pernikahannya di KUA, dan sudah menentukan tanggal menikahnya, kemudian ada keluarga dekatnya yang meninggal, jika tidak dinikahkan sebelum jenazah dimakamkan, maka pernikahan mereka baru bisa digelar lepas tahun -hijriah- berganti. Istilahnya ganti tahun.

Kalau nekat menikah di tahun yang sama dengan tahun meninggalnya kerabat tersebut, menurut kepercayaan sebagian pihak, pernikahan yang dilakukan berpotensi mendatangkan berbagai keburukan. Baik bagi pasangan yang menikah, maupun orangtua atau kerabat lainnya.

Keburukan yang dimaksud beragam. Mulai dari rumah tangga penuh masalah, rezeki yang tidak lapang, sakit misterius yang urung sembuh, hingga yang paling parah adalah kematian mendadak.

Nah, bagaimana Islam melihat peristiwa ini? Begini, perihal akad nikah yang dilakukan, selama semua rukun dan syarat nikah terpenuhi, hukumnya adalah sah. Syariat Islam pun mengatur hal-hal yang perlu disegerakan. Salat jika tiba waktunya, menikah jika telah tampak jodohnya, memakamkan jenazah jika telah tiba ajalnya, juga membayar hutang saat sudah mempunyai kemampuan.

Tapi, apakah dengan adanya syariat ini kemudian Islam membenarkan praktik mempercepat pernikahan sebelum jenazah kerabat dimakamkan? Nanti dulu, bagi saya masalah pokoknya bukan pada praktik nikahnya, bukan pula pada maju atau tidak jadwal akadnya, tetapi pada pemahaman masyarakat yang ada di sekeliling praktik nikah tersebut.

Semisal, masyarakat berkeyakinan pasangan ini apabila tidak dinikahkan, maka harus berganti tahun. Jika tetap menikah di tahun yang sama dengan kematian keluarga dekatnya, maka sesuatu yang kurang baik dapat menimpa pasangan tersebut.

Apalagi dengan adanya kepercayaan tentang “takdir buruk” yang melekat jika pelaksanaan nikah tetep kekeuh dilangsungkan tanpa menunggu pergantian tahun. Pertanyaan saya, dari mana munculnya prediksi “takdir buruk” itu? Apakah lantas jika betul yang dikhawatirkan terjadi adalah akibat dari praktik adat yang tidak dilaksanakan?

Begini, keluar dari konteks syariat, saya ingin mengajak Anda membayangkan suasana suka cita dicampur dengan rasa duka dalam satu wadah yang sama. Bayangkan Anda hadir di sana.

Pernikahan sebagai momen kebahagiaan yang sakral, miitsaaqan ghaliida, perjanjian agung yang menggetarkan Arasy, bercampur dengan isak tangis keluarga dalam duka kematian. Saya sendiri yang terlibat dalam prosesi acara kehabisan kalimat untuk mendeskripsikannya. Dalam satu momen, saya menyampaikan selamat berbahagia, namun sekaligus turut berduka cita.

Bagi saya, di sinilah sejatinya salah satu ujian keimanan seorang muslim. Bahwa jodoh, rezeki dan kematian adalah suratan takdir yang dapat menimpa siapa saja sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Yang harus kita lakukkan adalah mengusahakan yang terbaik dan berbaik sangka atas segala ketetapan-Nya.

Jika tidak, keyakinan terhadap “takdir buruk” yang disematkan dalam suatu praktik adat tertentu berpotensi sebagai bentuk kita melangkahi ketetapan Sang Pencipta. Ini yang bahaya. Nauzubillah.

Menjalani Adat Sesuai dengan Porsinya

Agama manapun tidak alergi terhadap tradisi, termasuk Islam. Dengan catatan, tradisi yang dilakukan tidaklah bertentangan dengan syariat juga tidak mencederai akidah. Tradisi yang dilestarikan juga tidak menjerumuskan dalam praktik yang menyulitkan dan memberatkan pelakunya. Tradisi yang dikerjakan haruslah tetap mendatangkan kebaikan dan maslahat untuk manusia secara umum, bukan golongan tertentu saja.

Termasuk praktik menikah dalam pembahasan di tulisan ini. Apabila kedua keluarga calon mempelai sepakat dan tidak keberatan dengan tradisi ini, niscaya pernikahan masih dapat terselamatkan. Tetapi jika dengan adanya praktik adat ini membuat satu pihak merasa tidak nyaman, janggal dan tidak sreg secara nurani, maka potensi konflik antara kedua keluarga calon mempelai sangat mungkin terjadi.

Dalam kasus ini, Anda termasuk yang mana? Menikah sesuai jadwal kesepakatan awal dan berprasangka baik kepada Allah, atau memajukan akad nikah sebelum jenazah dimakamkan?

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech