Loading Now

Pilpres 2024 dan Kegaduhan Politik

Pilpres 2024 dan Kegaduhan Politik - AnakPanah.id

Politik adalah bahasan yang paling mendominasi pembicaraan saat ini, dari pagi hingga malam. Hal ini disebabkan oleh minat semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, dalam membahasnya. Seringkali, pertanyaan seputar pilihan politik menjadi perbincangan umum. Namun, penting untuk diingat bahwa kita tidak harus terjebak dalam perdebatan tersebut, apalagi kita bukan bagian dari tim kampanye pasangan calon.

Lebih baik untuk tetap menjaga privasi dengan menjawab ‘rahasia dong’ tanpa harus terlibat dalam perdebatan yang larut hingga kegaduhan antar sesama akibat berbeda pilihan. Padahal ada yang lebih penting, kita dapat mencari tahu lebih dalam masing-masing pasangan calon, seperti melihat rekam jejaknya, gagasan yang akan dijalankan ketika memerintah, dan siapa saja tokoh-tokoh yang ada di belakangnya. Dengan begitu, kita lebih mengenali setiap pasangan calon dan dapat memantapkan pilihan, tanpa hanya mengandalkan cuplikan video yang berseliweran di media sosial seperti Tiktok, Instagram, Twitter, dan media lainnya.

Pesta demokrasi atau pemilu ini, hal yang sangat di tunggu-tunggu oleh masyarakat, dengan harapan mendapatkan pemimpin yang mampu mensejahterahkan seluruh masyarakat, apalagi bagi para elite yang mempunyai kepentingan tertentu. Pesta demokrasi ini harusnya menggembirakan dan membahagiakan bagi seluruh masyarakat Indonesia, apabila semua bisa menyikapi perbedaan pendapat dan perbedaan dukungan dengan bijak dan dewasa. Namun, saat ini kita lihat melalui media sosial yang terjadi sebaliknya, antar pendukung saling berusaha menjatuhkan dengan cara-cara klasik, seperti menyebarkan berita bohong dengan potongan video dan masih terdapat banyak ujaran kebencian lainnya.

Kondisi politik belakangan ini

Pesta demokrasi yang seharusnya menggembirakan di tahun 2024 ini menjelma menjadi tahun kegaduhan politik, yang menjadi tontonan menjenkelkan dan membosankan, kalau tidak akan dikatakan tontonan memuaskan di negeri para bandit. Kondisi politik belakangan ini menjelang hari pemilihan terdapat sangat banyak kegaduhan, mulai dari sebelum pendaftaran pasangan calon presiden hingga saat ini.

Pertama, isu politik dinasti Jokowi. Politik dinasti merupakan sebuah usaha untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan. Anak pertama Presiden Jokowi menjadi Walikota Solo, menantunya menjadi Walikota Medan, anak bungsunya menjadi ketua umum partai politik peserta pemilu dan besannya menjadi ketua MK, yang akhirnya membantu jalan anak pertama presiden keluar sebagai cawapres.

Kedua, terbuktinya adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penanganan perkara 90 soal pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden, yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden yang sekaligus anak dari presiden Jokowi dan keponakan dari Anwar Usman, selaku ketua MK.

Ketiga, ketidakaknetralan para pejabat negara. Mulai dari Presiden Jokowi selaku ayah dari wakil presiden pasangan Prabowo-Gibran kerap kali memperlihatkan keberpihaakannya secara simbolik. Untuk menimalisir kesalahpahaman, sebagai seorang presiden mempunyai hak dalam berkampanye dan mendukung salah satu paslon yang ada. Tetapi, dengan syarat mengajukan cuti, terdaftar dalam tim kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara.

Juga terdapat banyak pejabat negara yang secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada paslon tertentu, tanpa mengindahkan prasyarat yang ada. Mulai dari dukungan kepada paslon Anis – Muhaimin, Prabowo – Gibran, dan Ganjar – Mahfud. Dan hal yang paling menonjol dari ketidaknetralan pemerintah juga adanya politisasi bansos yang terbukti menguntungkan salah satu paslon yang bisa kita lihat di berbagai media sosial.

Keempat, terdapat adanya pelanggaran kode etik kepada ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Hasyim Asy’ari. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu(DKPP) menjatuhkan sanksi keras terakhir kepada ketua (KPU) karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dalam aturan yang ada pada peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Temuan dari kegaduhan politik saat ini sebenarnya melebihi apa yang telah dijelaskan di atas, dan dapat di lihat di berbagai media terpercaya. Di antaranya, terdapat intervensi dari pihak kepolisian kepada masyarakat untuk mendukung salah satu paslon. Pemilu juga dipandang sebagai pertarungan para oligarki yang memiliki kepentingan tertentu. Kegaduhan yang terjadi dari apa yang telah dijelaskan tadi hanya menjadi sebuah pemantik yang kemudian menjadi bahan renungan bersama. Bahwa pemilu kali ini menjadi pemilu terburuk pasca reformasi 1998.

Bagaimana tidak, Presiden mencoba membangun politik dinasti sekaligus masih menjabat selaku kepala negara sering kali menunjukkan keberpihakannya dan mengerahkan fasilitas negara untuk memenangkan capres dan cawapres dari hasil buah pelanggaran etik Mahkamah Konstitusi. Ditambah dengan pejabat negara lainnya secara terang-terangan juga menunjukkan keberpihakanya kepada paslon tertentu tanpa mengikuti prasyarat yang telah ada.

Mengapa mahasiswa harus bergerak

Melihat kondisi negara yang sangat menyedihkan ini, saya teringat perkataan Wiji Thukul, yang menyampaikan bahwa “jika kita menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan”. Saya juga teringat perkataan Syahrir, yang mengatakan, “Penderitaanku hanyalah sebagian kecil dari penderitaan berjuta-juta rakyat yang lain”.

Dari dua tokoh populer di atas, saya kira penting bagi mahasiswa untuk terus bergerak dan turut campur dalam mengatasi permasalahan bangsa ini. Meskipun dalam kondisi kegaduhan saat ini, banyak anak muda yang berselimut dengan para pemangku kepentingan. Namun, hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi mahasiswa untuk diam melihat kondisi negara saat ini.

Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang merasa sangat kecewa pada masanya, menghadapi situasi di mana banyak teman-temannya memilih jalan aman dengan bersekutu dengan penguasa. Meskipun demikian, ia tetap teguh dan berdiri dengan keyakinan serta idealisme tinggi. Gie meletakkan idealisme di atas segalanya, dengan tujuan mengirimkan kritik tajamnya kepada rezim pemerintah saat itu karena pentingnya menyuarakan keadilan.

Sebagai mahasiswa atau kaum muda, perlu untuk tetap berdiri pada barisan terdepan ketika negara dalam kondisi yang memprihatinkan. Ketika kita mengingat sejarah Indonesia, pasti tak lupa kita mengingat peran bagaimana anak muda pada saat itu mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan negara kesatuan Indonesia. Tak ada alasan lagi bagi mahasiswa bungkam melihat kondisi hari ini.

Mahasiswa/kaum muda mempunyai peran yang sangat besar pada bangsa ini karena sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di lapisan masyarakat. Mahasiswa sebagai agen of change, memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat dan negara.

Dan yang paling terpenting ialah mahasiswa sebaagai Social control; artinya, peran mahasiswa saat ini sangat di butuhkan untuk mengontrol rezim yang berkuasa pada hari ini. Mahasiswa harus selalu mengontrol tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dengan memberikan kritikan dan bahkan perlawanan jika adanya penyelewengan kekuasaan. Hanya ada Satu Kata “Lawan”.
_____

Haryadi Agust Karya, Kabid Hikmah PK IMM FAI UMY 2023-2024.

Post Comment

Copyright ©2025 anakpanah.id All rights reserved.
Develop by KlonTech