Loading Now

Netral Gender, Kebebasan, dan Problem Sosial

Netral Gender, Kebebasan, dan Problem Sosial - AnakPanah.id

Persoalan gender senantiasa menghiasi perbincangan publik hingga hari ini dan selalu menuai kesimpulan beragam dari sudut pandang yang berbeda. Istilah gender tidak sama dengan jenis kelamin. Jenis kelamin sendiri dibedakan menjadi dua yakni laki-laki dan perempuan yang secara biologis dimiliki sejak lahir.

Adapun konsep gender adalah segala hal yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan serta selalu berubah dari masa ke masa. Mirisnya hal ini dianggap sebagai kebebasan, dimana seseorang berhak menentukan identitas gendernya atas dasar perasaan dan kecenderungan semu belaka.

Ada istilah rekonstruksi gender, dimana seseorang secara biologis terlahir sebagai laki-laki namun merekonstruksi dirinya dengan perilaku, sifat dan kecenderungan perempuan, begitupun sebaliknya. Budaya Nasional sendiri jamak dengan istilah banci untuk laki-laki yang ke-perempuan-an dan istilah tomboi untuk perempuan yang ke-laki-laki-an.

Persoalan gender secara lebih luas juga berkaitan dengan kecenderungan dan orientasi seksual. Istilah yang sempat muncul dan berasal dari kebudayaan Barat hingga menggegerkan publik pada masanya adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender).

Kegelisahan seputar identitas gender ini akan terus menimbulkan problematika tumpang-tindih dan tidak pernah berujung. Lagi, baru-baru ini muncul juga istilah netral gender sebagai bentuk normalisasi kebebasan dalam memilih gender yang juga sempat naik pembahasan.

Fenomena Netral Gender

Sempat viral polemik mahasiswa Universitas Hasanuddin atau Unhas Makassar yang menyatakan dirinya sebagai netral gender. Ini terjadi di sebuah acara saat seorang dosen bertanya perihal jenis kelamin yang tertera di KTP. Pengakuannya tersebut seketika menggegerkan khalayak.

Alhasil mahasiswa ini langsung diusir sang dosen dari tempat terselenggaranya acara karena dianggap tidak pantas. Mahasiswa yang diketahui bernama Muhammad Nabil Arif Adhitya ini mengaku bergender netral alias bukan laki-laki maupun perempuan.

Muncul juga fenomena toilet netral gender di sebuah sekolah Internasional Jakarta. Hal ini berdasarkan kesaksian Daniel Mananta saat menemani anaknya menengok salah satu sekolah Internasional di kawasan Jabodetabek.

Daniel menuturkan bahwa sekolah tersebut menyediakan tiga jenis toilet, for girls, for boys dan for neutral gender. Toilet ini diperuntukkan bagi semua jenis gender baik laki-laki maupun perempuan, atau bagi mereka yang tidak nyaman menggunakan toilet laki-laki maupun perempuan.

Apa itu Netral Gender

Dua contoh kasus di atas tentu saja merupakan alarm berbahaya bagi keberlangsungan eksistensi kehidupan manusia. Ini dapat dipastikan menimbulkan problematika berkepanjangan dikemudian hari yang dampaknya juga dirasakan semua kalangan.

Berdialog perihal gender memang tidak pernah ada habisnya, apalagi era informasi yang semakin mudah diakses dan siapapun berhak atas informasi tersebut. Sebelum pembahasan lebih jauh, kiranya perlu dipahami definisi netral gender sebagai upaya penyatuan persepsi.

Netral gender adalah istilah yang ditujukan kepada mereka yang tidak mampu mengidentifikasi dirinya secara eksklusif sebagai laki-laki atau perempuan. Ia bebas bersikap dan mengklaim dirinya sesuka hati atas dasar kecenderungan pribadi. Istilah ini lahir daripada kebudayaan Barat sebagai akar awal munculnya produk LGBT.

Netral gender sendiri adalah representasi daripada hadirnya fasilitas toilet netral gender yang awalnya berasal dari Barat. Toilet jenis ini dirancang untuk para transgender, yang artinya gender apapun bebas menggunakannya. Seseorang dengan gender netral menganggap bahwa pilihannya adalah bentuk kebebasan.

Fitrah Gender Menurut Islam

Fenomena dan isu netral gender tentu berseberangan dengan fitrah seksualitas manusia sebagai seorang Muslim, terlepas daripada perbedaan konsep gender dan jenis kelamin. Islam sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamin telah mengatur kehidupan pemeluknya secara kaffah, termasuk penegasan bahwa jenis gender hanya terbagi kepada laki-laki dan perempuan.

Penegasan ini merupakan representasi daripada anugerah Allah swt kepada manusia sejak lahir secara biologis. Juga karakteristik Islam yang melarang secara tegas berperilaku menyerupai lawan jenis atau tidak sesuai dengan fitrah gendernya. Ini menunjukkan bahwa hakikat seorang Muslim seyogyanya bersikap sesuai gender atau jenis kelaminnya, bukan atas dasar keinginan apalagi dengan dalih kebebasan.

Sebuah hadis menerangkan bahwa dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari). Hadis ini menerangkan bahwa menyerupai lawan jenis termasuk bentuk penolakan yang dampaknya adalah laknat Rasulullah saw. Juga menjadi dalil betapa besarnya dosa seseorang yang menolak hakikat gendernya sejak lahir, termasuk didalamnya adalah mengubah bahkan menciptakan jenis-jenis gender baru.

Persoalan Netral Gender

Segala hal yang melanggar norma, adat bahkan syariat akan memunculkan akibat dikemudian hari, disadari ataupun tidak. Sama halnya dengan persoalan netral gender yang sebetulnya telah melanggar syariat, bahkan keseimbangan sosial. Setidaknya ada dua hal yang barangkali timbul akibat netral gender.

Menyalahi kodrat. Meski netral gender berbicara tentang konstruksi sosial dan sangat bergantung pada ruang dan waktu, namun hal ini pasti berkaitan juga dengan jenis kelamin secara biologis. Hal yang sangat tidak wajar apabila seseorang menganggap dirinya bergender netral alias tidak merasa sebagai laki-laki maupun perempuan.

Dampaknya adalah tidak adanya penerimaan diri terhadap hal-hal yang secara sunnatullah dialami perempuan seperti hamil, melahirkan, menyusui bahkan menstruasi. Sebagai laki-laki ia juga merasa tidak mampu membuahi karena merasa tidak memiliki penis dan spermatozoa.

Problematika sosial yang dianggap sebagai kebebasan. Secara fakta, antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda baik fisik maupun psikis. Oleh sebab itu netral gender juga berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan peran sosial didalamnya. Dampaknya adalah tidak adanya kecenderungan memimpin, melindungi dan mengayomi sebagai laki-laki.

Adapun bagi perempuan adalah hilangnya kesadaran pada urusan domestik (rumah tangga) termasuk menjaga marwah dan muru’ah. Hal-hal tersebut lambat laun akan mempengaruhi rantai kehidupan dan keseimbangan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulannya bahwa sebagai seorang muslim terlebih manusia yang berakal hendaknya mampu menjaga kodrat dan berperan sebagaimana mestinya (perempuan sebagai perempuan dan sebaliknya).

Selain itu, hendaknya memilah dan memilih segala informasi yang diterima, terlebih berasal dari Barat. Adapun sebagai timbangannya tentu saja syariat, apabila sesuai maka diaplikasikan dan bila tidak sesuai hendaknya ditinggalkan.

Bagikan artikel ini :

Post Comment