Buya Hamka dan Nilai Kehidupan
Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Buya Hamka juga dikenal sebagai pahlawan nasional yang berjuang dengan pidato dan gerilya nya dalam mengusir penjajah dan menjaga kedaulatan negara.
Buya Hamka berkat kegigihan dan semangat juangnya, menjadikannya juga sebagai tokoh hebat Muhammadiyah yang jasanya selalu dikenang, bahkan namanya pun diabadikan untuk nama universitas yakni Universitas Muhammadiyah Hamka. Selain itu, dalam kiprah politiknya pun, Buya Hamka menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama.
Kesuksesan karier dan cemerlang ilmu yang Buya Hamka miliki tentu tidak terlepas dari perjuangan luar biasa nya dalam menuntut ilmu dan menghadapi dinamika kehidupan. Perjalanan hidup beliau sangat menginspirasi dan penuh dengan hikmah kehidupan. Salah satu yang patut disoroti ialah fase Buya Hamka muda. Dalam buku “Buya Hamka” karya Ahmad Fuadi. Menjelaskan bagaimana perjuangan burhani dan irfani beliau dalam menghadapi permasalahan demi permasalahan, hingga perjalanan perantauannya.
Buya Hamka dan Perantauan
Diceritakan, Buya Hamka muda atau Malik tumbuh menjadi pribadi yang lebih menyukai ilmu sastra dan cerita Hikayat dibanding mempelajari ilmu agama. Banyak buku sastra dan kisah Hikayat yang sudah beliau baca. Namun, tuntutan belajar ilmu agama oleh ayahnya yang merupakan seorang ulama besar, terkadang membuat Malik beradu argumen hingga kena marah.
Permasalahan besar mulai Malik hadapi ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai. Kejadian tersebut, membuat Malik merasa kehilangan sebagian daya hidupnya. Membuatnya tak berselera untuk sekolah, mengaji, dan membaca buku pelajaran. Ditambah ayahnya yang tidak peduli dengan perasaan Malik, tetap terus menyuruh Malik untuk belajar kitab-kitab agama yang tidak dia mengerti dan minati.
Niat hati ingin merantau ke pulau Jawa secara diam-diam, sebab tidak karuan dengan Susana yang ada, baru sampai di Bengkulu cacar dan malaria menyerang tubuh Malik. Membuat fisik Malik kurus, rambut rontok, dan penuh lubang-lubang cacar. Nasib apes yang menghampiri Malik, membuatnya semakin tertekan dan hilang percaya diri. Di situasi yang semakin terdesak dibawah inilah, yang lambat laun, membangkitkan kesadaran baru.
Kesadaran untuk bangkit dan maju. Kekurangan fisik, membuat Malik ingin tumbuh dengan caranya sendiri, yakni dengan mengasah kepandaian dan membaca. Maka mulailah Malik tenggelamkan dirinya dalam membaca. Setelah badanya sehat dari penyakit, dikumpulkanya niat dan tekad Malik, untuk meminta izin kepada ayahnya untuk merantau ke Jawa. Diizinkalah Malik dengan syarat memenui kakak iparnya Sutan Mansur di Pekalongan.
Singkat cerita, di Jawa Malik banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan dari guru-guru hebat, seperti ilmu tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo, sosialisme dari HOS Cokoroaminoto, ilmu agama dari H. Fakhruddin dan ilmu berpidato dari kakak iparnya Sutan Mansur. Selanjutnya pulanglah Malik ke kampung Halaman dengan kepala yang lebih berisi.
Berkat pengalamnya Jadilah Malik kini pemuda yang terkenal dengan gaya pidato yang penuh semangat dengan menggabungkan pantun dan syair yang Malik kuasai. Meski begitu, kehebatan Malik berpidato belum memuaskan ayahnya, bahkan berucap bahwa Malik hanya pandai berpidato tapi dada dan otak kosong seperti burung Beo.
Disamping itu, Umur malik yang sudah beranjak 17 tahun, tumbuhlah rasa ingin menikahi pujaan hatinya. Namun, dirogoh saku celananya, tidak ada uang yang Malik miliki. Dicobalah Malik melamar jadi pengajar di sekolah Muhammadiyah di kampungya.
Lamaran Malik ditolak sebab Malik tidak tamat kelas 7 Sumatra Thawalib sehingga tidak memiliki kertas diploma. Perasaan kecewa Malik rasakan. Ditambah lagi Malik mendengar bawah wanita pujaannya telah dilamar orang lain. Rasa pedih dan kecewa yang bertubi-tubi kini sedang Malik rasakan. Membuat Malik termenung tak tentu mau apa. Namun, tak kenalnya rasa menyerah. Dikumpulkanya tekad dan semangat, yang lama-kelamaan menyatu dengan dengan hatinya.
Kini diputuskannya ingin merantau Kembali, ketempat yang lebih jauh, yaitu Mekkah. Disanalah Malik banyak mendapat pengalaman baru dan bertambahnya wawasan dari berguru kepada para syeikh dan buku-buku para ulama. Serta, mendapatkan gelar yang istimewa yakni “haji”.
Setelah dirasa perantauannya di Mekkah cukup, pulanglah Malik ke kampung halamanya. Ketika Malik bertemu dengan ayahnya Kembali, disambutlah dengan baik oleh ayahnya. Diberikan olehnya jubah dan sorban simpanan ayahnya untuk Malik. Selain itu, mulai diakuinya Malik untuk menjadi penerus atau pengganti ayahnya dan kedalam ilmunya oleh Masyarakat kampungnya.
Hikmah Kisah Perjuangan
Dari kisah singkat yang penulis ambil dari buku karya A. Fuadi dan penulis paparkan, tentu ada hikmah mendalam dan keteladanan yang bisa kita ambil dan kita implementasikan dalam kehidupan. Semangat juang yang gigih dan pantang menyerah Buya Hamka perlu dijadikan teladan oleh umat muslim terkhusus bagi kalangan anak-anak muda.
Sikap mudah mengeluh, baperan, dan emosional anak muda perlu segera diatasi. Salah satu upayanya yakni dengan mengambil hikmah dari kisah perjuangan para tokoh hebat yang kemudian dijadikan suntikan semangat dalam menempuh kesuksesan. Namun, hikmah utama yang ingin penulis sampaikan ialah nilai perantaun.
Dengan merantau manusia akan mendapatkan wawasan, pengalaman, dan pandangan baru, serta dapat melatih kemandirian dan kebaranian untuk bertahan hidup. Hal tersebut selaras dengan perkataan imam Syafi’i yaitu “Orang berilmu dan beradab tak kan diam dikampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah kenegeri orang.
Merantaulah, maka kau akan mendapatkan pengganti dari apa yang kamu tinggalkan”. Oleh karennya penting bagi kita untuk mengimplementasikan nilai semangat juang, pantang menyerah dan nilai perantauan Buya Hamka dalam kehidupan, khususnya anak muda. Sehingga kelak dapat lahir para penerus bangsa yang hebat layaknya Buya Hamka.
Post Comment