Kaderisasi dan Monopoli Pahala
Istilah monopoli pertama kali saya dengar adalah nama salah satu jenis permainan yang sampai saat ini masih belum paham (dengan sebenar-benarnya) bagaimana cara bermainnya. Mungkin karena dulu saya hanya bertugas menghitung uang mainan tanpa dilibatkan dalam medan permainan. Apalagi beberapa tahun berikutnya ketika diberi tahu oleh salah seorang teman bahwa bermain monopoli itu tidak baik, mirip seperti judi, buang-buang waktu, seperti melumuri tangan dengan daging babi, najis, dosa.
Keras sekali dia, tapi apa boleh dikata, memang saya orangnya manutan. Kalau dikasih tahu tidak boleh ya tidak boleh, titik. Namun seiring waktu berputar, ada istilah menarik yang saya dengar, yaitu Monopoli Pahala, aiih… Mainan apalagi itu.
Rupanya saya harus membuka kamus untuk mencari arti monopoli. Dan akhirnya untuk kali pertama saya secara ‘ilmal yaqin tahu bahwa di Indonesia, yang dimaksud monopoli punya beberapa makna, antara lain hak tunggal untuk berusaha (KBBI). Dalam makna yang lain bisa diartikan sebagai upaya membuat sesuatu itu dikuasai oleh dirinya sendiri, baik sepenuhnya atau minimal sepertiga dari apa yang ada.
Sungguh bukan perbuatan mulia rupanya. Tapi bagaimana kalau dikaitkan dengan Pahala? Bukankah kita beribadah dan beramal shaleh itu salah satu tujuannya adalah mengumpulkan Pahala. Lantas Pahala itu apa? Lagi-lagi saya butuh bantuan KBBI. Tapi sebelumnya saya punya asumsi bahwa Pahala itu balasan kebaikan. Dan rupanya mendekati benar, KBBI menyebutkan bahwa Pahala ialah buah perbuatan baik, ganjaran Tuhan atas perbuatan baik manusia.
Nah, sekarang kita coba lebih kerucutkan, “monopoli pahala” contohnya ialah marbot masjid, yang sebelum salat berjamaah dimulai biasanya menyiapkan tempat, merapikan juga membersihkannya, setelah itu mengumandangkan adzan, sekaligus Imam.
Bukankah membersihkan tempat ibadah ada Pahala? Menjadi muadzin ada Pahala? Menjadi imam juga? Wuihhh… Betapa banyak Pahalanya. Kalaulah Pahala itu diganti menjadi tetesan air mungkin ia udah tenggelam 1000 meter kubik dalamnya. Tenggelam dalam kenikmatan maksudnya, siapa tidak mau?
Jika benar-benar ada model seperti itu, kita perlu mengelus dada, miris sekali di negeri dengan penduduk mayoritas muslim di seluruh dunia, namun sekedar menyeru untuk mendirikan shalat berjamaah saja sulitnya minta ampun. Sampai-sampai yang membersihkan masjid hingga menjadi imam hanya dilakukan seorang diri. Padahal mungkin bangunan ibadahnya begitu megah dan mewah.
Bagi seorang muslim yang ideal tentu urusan pahala semestinya bukan tujuan satu satunya. Pahala semestinya biarkan menjadi urusan Yang Maha Kuasa, urusan seorang Muslim itu sendiri ialah bagaimana agar setiap apa yang dilakukan, apa yang didengar, dilihat, dirasakan, dipikirkan, dan diucapkan, itu tidak melebihi batas syariat.
Batas syariat yang dimaksud ialah haram. Sebagaimana dalam suatu riwayat yang sahih bahwa setiap malik atau raja itu memiliki batasan, begitupun Allah juga memiliki batasan, dan batasan itu ialah apa yang diharamkanNya (Bukhari-Muslim). Kalau melihat keseluruhan riwayat tersebut akan mendapati ilmu bahwa syubhat ialah satu hal yang harus dijauhi, sebab orang yang terjerumus dalam syubhat akan semakin mudah terjerumus pula dalam yang haram. Sebaliknya yang menjaga diri dari yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Adanya kabar Pahala yang akan diberikan banyaknya sekian, sebenarnya hal itu menjadi dalil bahwa sah-sah saja seseorang termotivasi berbuat kebaikan karena berharap kuantitas Pahala tersebut. Namun tentu dalam suatu ayat bahwa rupanya balasan kebaikan itu bahkan ada yang tak terhingga, artinya begitu banyak dan begitu luas. Wallahu yudha’ifu liman yasyaa’, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.
Mereka yang beramal dan tidak lagi peduli dengan Pahala, kemudian melakukan perbuatan baik tidak lagi hitung-hitungan. Melihat orang susah, atau mendengar seseorang butuh bantuan, tanpa pikir panjang apa yang ada di saku, atau dipegang di tangan, dengan segera langsung diberikan. Pun kalau tidak ada sama sekali, maka segala daya upaya kemampuan akan diberikan pula. Ia sama sekali tidak ingin absen atas kesempatan berbuat baik itu. Jadi, apakah boleh memonopoli Pahala?
Pertanyaan yang sulit dijawab. Mungkin jika digeser sedikit maknanya, maka sebenarnya esensi dari pertanyaan tersebut ialah FASTABIQUL KHAIRAT (QS.2: 148), yakni berlomba-lomba dalam kebaikan. Sekiranya orang tahu kemuliaan apa yang ada dalam mengumandangkan adzan, juga dalam shaf pertama salat berjamaah, tentu mereka akan berebut. Bahkan jika diminta untuk melakukan undian, pasti akan dilakukan juga (Bukhari-Muslim).
Apakah karena pahala yang banyak itu, seorang tokoh agama di kampung begitu karisma, begitu dicintai masyarakat, begitu terlihat tenang, teduh, dan menyejukkan?. Satu jawaban yang tidak diperdebatkan ialah, bahwa Allah SWT memberikan karunia kepada orang tersebut. Karena Allah, melalui RahmatNya, kasih sayangNya, maghfiroh, dan taufiq yang diberikan sehingga ia dibimbing jalannya. Itulah yang kita semua harap.
Agar tidak terjadi monopoli pahala, namun kebaikan yang diperoleh juga tetap banyak dan untung besar, maka perlu dilakukan kaderisasi, menciptakan generasi yang mampu mewarisi ilmu, dan kemampuan. Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa suatu yang tidak akan terputus Pahalanya ada tiga hal, satu di antaranya ialah ilmu yang bermanfaat (Muslim).
Bukankah mengkader generasi itu ada transfer ilmu yang bermanfaat?
Salam hormat untuk para pendidik, musyrifun aw mudabbirun, dan siapapun yang terlibat dalam nuansa regenerasi yang akan datang. Kalau ingat teman saya yang dulu ikut kegiatan DAM (Darul Arqam Madya) lalu ikut LI (Latihan Instruktur), buntutnya menjadi instruktur, tugas utamanya mengkader, duhai besar Pahala mereka. Semoga istikomah, dan kita harus sadar bahwa isti-komah itu berat, yang mudah namanya istirahat.
Post Comment