Pak Pace: Gurita Kapitalisme Menuai Hedonisme
Mamad dan Maman duduk termangu. Entah apa yang dilamunkan. Sudah agak lama mareka tidak bertemu dengan Pak Pace sang dosen idola. Saat ini mereka berdua sudah sama-sama bekerja. Mamad bekerja di perusahaan yang bisa dibilang bonafit. Perusahaan tempatnya bekerja sudah berdiri pada pilahan abad terdahulu serta memiliki banyak pegawai dan anak perusahaan.
Jangan ditanya di mana dan di bidang apa perusahaan ini bergerak. Tanpa harus menyebutkan secara rinci, semua orang akan kenal perusahaan tempat Mamad bekerja. Sedang Maman kini aktif di gerakan pendampingan masyarakat di bumi Celebes sana. Sehari-hari Maman hidup bersama masyarakat di pesisir pantai dengan program pendampingan pelestarian terumbu karang.
Sejak di bangku kuliah, mereka selalu berdoa agar diberikan kesehatan dan kesuksesan serta selalu dikelilingi orang-orang baik di tempat mareka beraktifitas. Walaupun tinggal berjauhan dan tidak saling bertemu sesering dulu, keduanya masih sebagai sahabat yang tak bisa dipisahkan oleh ruang dan waktu. Perjuangan semasa kuliah telah mengikat mareka tak ubahnya seperti saudara. Itulah yang menyebabkan komunikasi keduanya tetap terjalin erat.
Pagi ini Maman masih membaca buku setebal 412 halaman yang ditulis George Ritzer. Buku berjudul Ketika Kapitalisme Berjingkrang bukanlah buku baru. Bagi mahasiswa angkatan 2000an, buku ini bisa menjadi pelampiasan kejenuhan untuk memicu adrenalin. Buku ini mengulas bagaimana gelombang McDonaldisasi kala itu mencengkram dunia.
Mareka berdua tetap seperti dulu, masih gemar membaca dan berdiskusi terkait banyak hal. Petuah dan doktrin Pak Pace benar-benar membekas. Pertemuan keduanya biasanya membahas hal-hal baru serta pengalaman di lingkungan kerja masing-masing.
Sambil sandaran di pilar balok dan meletakkan buku yang dibacanya, Mamad angkat suara, “Mainstream paradigma sistem ekonomi di dunia seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang di atas, dan selalu menggelinding melintasi waktu. Ketika kapitalisme di atas, otomatis sosialisme di bawah, begitu seterusnya”.
Mendengar apa yang disampaikan teman karibnya itu, Maman langsung menimpali “Apa yang kau sampaikan kok senada dengan apa yang ada dalam buku yang sedang ku baca,” sambil menunjukkan buku berjudul “Ketika kapitalisme Berjingkrang” seraya berkata “kini kapitalisme dan sosialisme telah melangsungkan “perkawinan” yang melahirkan keterpurukan. Penghulunya adalah para penguasa dan pengusaha rakus.” Timpal Maman.
Waktu telah menunjukkan pukul 12.20 WIB. Selepas Zuhur kedua anak muda ini telah terikat janji dengan Pak Pace. Sudah hampir 5 bulan keduanya tidak bertemu langsung dengan sang idola. Selama ini pertemuan hanya sebatas lewat telpon semata.
Pertemuan kali ini direncanakan di sebuah mall Yogyakarta. mall yang menjadi tonggak awal pusat perbelanjaan modern di Yogyakara. Dua sahabat ini langsung meluncur ke tempat yang telah direncanakan. Tak lama berselang mareka telah sampai. Ternyata Pak pace sudah lebih dahulu datang.
Salah satu Gerai Coffee franchice yang terletak di lantai dua Mall di bilangan Malioboro mejadi pilihan Pak Pace. Dari buku yang pernah dibaca, Maman faham betul sejarah warung kopi berlogo gadis dengan rambut terurai ini. Gerai franchice yang berasal dari negeri Paman Sam ada sejak tahun 1971. Awalnya toko ini hanya melayani jual beli kopi. Kini berubah menjadi tempat nongkrong kalangan atas. Nama gerai ini sendiri diambil dari novel klasik karya Herman Melville yang berjudul Moby Dick. Kini gerainya telah mencapai 33.833 yang tersebar di 60 negara.
Setelah saling sapa, Pak Pace menyodorkan daftar menu. Ada empat katagori menu paling laris yang bisa dipilih. Ada espresso Beverage, brewed coffee, blended beverages, dan chocolate and teavana. Setelah secara seksama akhirnya keduanya menjatuhkan pilihan pada caramelmMacchiato. Kabarnya ini merupakan minuman best seller dan terenak di warung kopi ini, tapi jangan tanya berapa harga satu gelasnya.
Sambil menunggu pesanan datang, Pak Pace menanyakan kabar Maman dan Mamad. Ketiganya sengaja mengambil tempat duduk di tepi luar gerai. Dari sana mareka bisa melihat seksama lalu-lalang pengunjung yang lewat, bahkan juga yang naik turun eskalator mall.
Pak Pace bertanya pada Maman dan Mamad, apa kalian yakin semua yang ke Mall mau belanja? Banyak yang hanya jalan-jalan semata, tapi kalau di sini kadang juga ada yang tergiur membeli barang walau sebenarnya tidak dibutuhkan. Motif membelinya bisa karena diskon, hadiah, atau bahkan hanya karena keinginan memanfaatkan voucer padahal bukan kebutuhan mendesak.
Di era serba praktis dan mudah seperti sekarang ini, masyarakat makin dimanja untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan. Kemudahan itulah yang kemudian memicu daya sikap konsumtif. Saat ini membeli dan memakai barang bukan semata untuk memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi kepemilikan dipicu oleh, tren, gaya, sampai menaikkan prestise serta gengsi semata.
Fenomena gaya hidup hedonisme benar-benar telah menjadi gaya hidup. Cengkeraman kapitalisme juga tak terbendung. Menghabiskan uang untuk memiliki barang yang seharusnya tidak diperlukan atau bahkan sudah dimiliki sebelumnya bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan tidak jarang barang yang dibeli juga tidak pernah dipakai
Menariknya sikap hedonisme ini juga seperti diskenariokan oleh penguasa yang telah berselingkuh dengan kapitalisme. Kadang kala penguasa hadir di tengah masyarakat dengan membelai mesra kapitalisme dan mengajak serta mengunjungi masyarakat dengan berbagai macam bujuk rayu.
Epikorus, seorang filsuf Yunani, pernah menyatakan “Bersenang engkau hari ini, puaskanlah nafsumu karena esok engkau akan mati”. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi aliran filsafat baru yang di sebut epikurenisme. Menurutnya orang-orang yang bijak tidak takut pada kehidupan karena dewa tidak memperhatikan manusia. Aliran filsafat ini memberika arahan dan jaminan kebahagiaan pada manusia.
Islam telah mengajarkan kita semua untuk menjauhi sikap hedonisme atau bermegah megahan. Jadi sudah sepantasnya kita sebagai seorang mukmin untuk terus menjaga diri kita agar terhindar dari hal-hal yang dibenci Allah SWT.
Pak Pace kembali meneruskan ulasannya. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemui orang yang membelanjakan barang yang sebenarnya secara fungsi bisa membeli barang yang lebih murah. Barang tidak perlu mahal apalagi harus bermerek, yang penting fungsinya sama, apalagi barang yang kita beli jarang digunakan.
Tetapi semua itu berpulang kembali pada diri sendiri. Mau menjadi budak kapitalisme dan tercebur hanyut dalam sikap hedonisme dengan membeli barang yang sebenarnya belum kita butuhkan atau tetap hidup sederhana seperti dicontohkan Sang Baginda.
Setelah berdikusi, Mamad sambil tersenyum bertanya pada Pak pace “Pak apa pilihan tempat ngopi kita sore ini bukan bagian dari sikap hedonisme dan gaya hidup semata?” Dengan gaya khasnya, Pak pace menjawab pertanyaan Mamad “Saya hanya ingin sesekali ngajak kalian. Selama ini kan cuma lewat aja, mau mampir nongkrong takut belum mampu bayar.” Mareka bertiga pun tertawa lepas tanpa ada yang tersinggung atau tersakiti.
Mamad masih saja tertawa seakan menertawakan kekonyolan mareka hari ini. “Pak, terima kasih atas ilmunya hari ini. Kuliah hari ini luar biasa berharga bagi kami untuk semakin arif dalam bertindak serta terhindar dari sikap[-sikap yang menenggelamkan kami dalam kehidupan bermewah mewah.”
“Hari ini, semua saya yang traktir” tegas Mamad, “Insyaallah sudah bisa bayar, tidak seperti tahun tahun lalu…,” kebetulan perusahaan tempat saya bekerja lagi bagi-bagi voucer untuk seluruh pegawai agar bisa berbelanja sesukanya”, “syaratnya harus mahal dan jangan yang murah, beli tidak dipakaipun tidak apa apa. Itu syarat yang tertera saat voucer dibagikan. Yang penting dihabiskan.”
Pantas saat bertemu Mamad selalu memuji perusahaan di mana tempat ia bekerja. Semoga perusahaan tempat Mamad bekerja tidak sedang mengajari para pegawainya untuk belajar hidup bermegah-megah atau kini populer dengan istilah flexing. Semoga ini hanya bentuk penghargaan perusahaan kepada para pegawainya agar lebih happy, walaupun kabarnya banyak juga yang terperangah dengan kebijakan yang aneh ini.
Bagikan artikel ini :



Post Comment