Ibadah Haji Mencerahkan Semesta
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kewajiban melaksanakannya terikat ruang dan waktu serta ukuran mampu. Mampu tidak hanya dimaknai sebagai kemanpuan fisik serta finansial semata, akan tetapi mampu juga dimaknai dengan kapan peluang waktu untuk berangkat itu sampai. saat ini di Indonesia waktu tunggu untuk berangkat bisa mencapai 40 tahun, bahkan bila melirik ke Negara Malaysia mareka mempunyai masa tunggu lebih lama karena bisa mencapai 100 tahun lebih.
Ibadah haji merupakan rihlah jasmani sekaligus ruhani. Rihlah untuk meliterasi diri terhadap semua prosesi haji sebagai bentuk pengakuan ketidakmampuan hamba di hadapan Sang Pencipta dan yang berupaya menjadi insan paripurna yang senantiasa memberi manfaat.
Prosesi amalan yang ada dalam ibadah haji adalah wujud dari ketundukan dan kepatuhan seorang hamba. Seperti yang disampaikan oleh Quraish Shihab bahwa haji adalah ibadah hati dan badan. Ritual yang dilakukan selama ibadah haji adalah simbol yang mempunyai makna lebih luas dari sekedar ucapan serta tindakan.
Amalan ibadah haji haruslah dimaknai dalam lingkup yang lebih luas. Kala menjalankan ibadah haji ada ketentuan menggunakan kain ihram, khususnya bagi laki-laki, pakaian ihram yang digunakan adalah pakaian yang tidak memiliki jahitan serta warna putih senada. Itu berlakukan untuk semua jamaah tanpa pengecualian. Hal ini sebagai bentuk dari kesetaraan hamba di hadapan Tuhannya.
Mengenakan pakaian ihram saat berhaji harus dijadikan renungan akan kesamaan dan kesetaraan di hadapan Allah, menanggalkan segala keunggulan, kedudukan, serta sikap egoisme. Manusia semua berpakaian sama tanpa menilik dari kasta mana ia berasal.
Melaksanakan tawaf yang merupakan bagian dari rangkaian ibadah haji tidak semata sebagai kegiatan mengelilingi Ka’bah, tetapi jauh dari itu harus dimaknai sebagai bagian dari kepatuhan menghadapkan diri dari segala penjuru untuk beribadah kepada Allah. Tawaf merupakan wujud universalitas dan kemutlakan Allah sebagai Sang Pencipta yang tidak membeda-bedakan hamba dari penjuru mana menghadapkan jiwa pada-Nya.
Tawaf juga bisa dimaknai sebagai bagian dari cara kita membangun komunikasi untuk saling mengenal antar suku bangsa yang telah diciptakan Allah di atas muka bumi.
Sai perlambang dari kegigihan serta kewajiban manusia dalam menempuh serta memperjuangkan kehidupannya. Seperti halnya kala Siti Hajar yang mencari air untuk kehidupan Ismail dari bukit Sofa menuju Marwa dan selalu menggantungkan harapan pada Allah SWT semata.
Dengan harapan, ikhtiar, dan tawakal, Siti Hajar mendapatkan melebihi dari apa yang dimintanya dari harapan mendapatkan segelas air kemudian Allah memberikan sumber air yang melimpah, bahkan masih bisa dinikmati hingga kini oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Puncak dari segalanya, setiap insan yang berhaji harus melakukan wukuf di Arafah, di mana semua manusia berkumpul di padang yang luas tanpa pengecualian. Tanpa wukuf di Arafah, maka haji pun tidak ada nilainya. Dilanjutkan dengan bermalam di Muzdalifah menuju di Mina.
Jamaah haji juga melakukan lempar jumrah. Melempar jumrah bisa dimaknai sebagai lambang perlawanan manusia pada penindasan dan kebiadaban serta kesewenang-wenangan yang harus dilawan. Kesewenang-wenangan tersebut bisa berupa hawa nafsu yang berasal dari dalam diri maupun kemungkaran serta kesewenang wenangan serta keserakahan manusia.
Semua jamaah haji tentu mendambakan kemabruran terhadap pelaksanaan haji yang dijalaninya. Mabrur memiliki dua makna: pertama, mabrur berarti baik, suci, dan bersih. Dalam hal ini haji mabrur adalah haji yang tidak terdapat di dalamnya noda dan dosa.
Kedua, mabrur berarti maqbul yang berarti diterima dan mendapat ridha Allah.
Orang yang berhaji pada hakekatnya telah berjanji untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang selama melaksanakan ibadah haji. Larangan-larangan tersebut memiliki dimensi nilai spritualitas sosial yang tinggi sebagai wujud dari pengakuan keangungan, ketaatan, ketakwaaan, dan ketundukan hamba pada Rabb-nya.
Larangan selama berhaji untuk tidak membunuh binatang buruan harus dimaknai sebagai upaya manusia sebagai khalifah yang diamanahi Allah untuk menjaga harmoni alam agar tetap lestari.
Sebagai khalifah, manusia mempunyai kewajiban untuk merawatnya. Mareka yang berhaji juga dilarang untuk berprilaku buruk yang dapat menimbulkan perselisihan dengan orang lain, apalagi sampai berujung pada perkelahian. Larangan tersebut bisa dimaknai sebagai wujud bagaimana umat manusia bisa menjaga terciptanya kenyamanan serta kedamaian yang selalu mencerahkan dalam berkehidupan pasca kembali ke kehidupan sehari hari pasca haji.
Aturan selanjutnya adalah jamaah haji dilarang untuk memotong tumbuhan bahkan membunuh binatang kecil sejenis serangga sekalipun. Hal kecil tersebut bila dimaknai lebih jauh akan menjadikan fondasi yang kuat dalam membangun karakter pribadi Muslim yang paripurna selepas haji kelak.
Mabrur berasal dari kata barra yang mempunyai makna berbuat baik dan patuh. Makna tersebut menyatakan bahwa ibadah haji adalah bagian dari titik awal atau momentum bagi yang telah melaksanakannya untuk meningkatkan kepedulian serta terus berbuat baik terhadap sekelilingnya.
Orang yang telah melaksanakan ibadah haji dituntut mampu meningkat kesalehan sosialnya. Kesolehan tersebut akan teraplikasikan dalam kehidupan nyata bukan hanya terhadap sesama manusia akan tetapi juga terhadap alam raya.
Mabrur tidaknya seorang hamba pasca menjalankan ibadah haji merupakan kewenangan mutlak Sang Pencipta. Segenap kaum Muslimin terus memunajatkan doa allahummaj’al hajjan mabruuro, wa sa’yan masykuura, wa dzanban maghfuuro seraya berharap dan berdoa selepas haji nanti akan lahir insan paripurna. Senantiasa bermanfaat dan jauh dari sikap kesewenang-wenangan terhadap apa yang ada di muka bumi.
_____
Alfian Dj, Pengajar Mu’allimin Yogya, Sekretaris Majelis Hukum Dan HAM PP Muhammadiyah.
Bagikan artikel ini :


Post Comment