Buya Syafii Sebagai Malin di Minangkabau
Sebagai orang yang lahir di Sumatera Barat dan juga memulai aktifitas ke-Muhammadiyah-an di bumi Minangkabau, saya merasa malu karena baru mulai mengenali sosok Buya Syafii ketika beliau telah wafat. Sebenarnya, saya telah diberi kesempatan untuk mengenal Buya Syafii beberapa kali sewaktu beliau masih hidup. Namun, kesempatan itu tidak bisa saya tangkap dan syukuri. Kendatipun dua kesempatan yang saya dapatkan hanya melalui forum formal saja.
Semasa hidup Buya Syafii, saya pernah mendapatkan kesempatan itu sebanyak dua kali. Jika kata orang bahwa kesempatan tidak pernah datang dua kali, tapi itu tidak berlaku pada saya untuk satu pengalaman ini. Tapi sekali lagi, kesempatan yang datang malah tidak saya gunakan sebaik mungkin untuk mengenal sosok Buya. Bahkan, Ketika Buya wafat pada 27 Mei 2022 satu tahun lalu, hati saya belum terketuk untuk datang ke peristirahatan terakhirnya. Padahal saat itu, saya sudah di Jogja, tempat dimana Buya dimakamkan. Sebegitu tidak menariknya bagi saya untuk mengenali Guru Bangsa itu dulu.
Pertemuan Pertama dengan Buya Syafii
Pada 29 April 2019 di Hotel Grand Royal Denai Bukittinggi adalah kesempatan pertama bagi saya dipertemukan dengan Buya Syafii. Saat itu, Buya Syafii menjadi salah satu pembicara pada kegiatan Dialog Narasi dan Media Sosial dari Kementrian Komunikasi dan Informatika yang berkolaborasi dengan Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Selain Buya Syafii, hadir juga Bapak Rudiantara selaku Mentri Kominfo, Bapak Hamim Ilyas dari MTT PP Muhammadiyah, dan Bapak Widodo Muktoyo sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS. Acara itu bertajuk. “Menyatukan Perbedaan, Membangun Negri”. Kalau saya tidak salah, itu adalah masa-masa MTT PP Muhammadiyah menerbitkan buku Fikih Informasi.
Saya adalah seorang santri di salah satu Pesantren Muhammadiyah di Sumatera Barat kala itu. Tidak hanya sebagai santri, saya juga aktif di Ortom Muhammadiyah -IPM dan Tapak Suci- ketika mondok. Naifnya, saya tidak mengenal sama sekali siapa itu Buya Syafii. Seorang pembina asrama, mengantarkan saya pada kesempatan pertama bertemu Buya itu. Beliau mengajak saya dan seorang teman lainnya untuk menghadiri undangan pada kegiatan tadi. Selama ikut dalam kegiatan itu, saya hanya duduk dan sesekali mendengarkan. Maklum, saya sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dibahas, apalagi siapa yang berbicara. Yang saya ingat, saya senang karena mendapatkan buku dan beberapa merchandise kegiatan. Sungguh memalukan jika saya kenang.
Buya Syafii Bukan Malin Kundang
Namun, ada satu hal yang saat ini masih saya ingat pada acara tersebut. Meskipun ingatan itu sudah tidak utuh dan samar-samar. Ingatan saya tertuju pada salah satu penanya pada saat sesi diskusi. Seorang pemuda -praduga saya adalah anggota Pemuda Muhammadiyah setempat- mempertanyakan kepada Buya Syafii terkait kasus hangat yang beredar beberapa tahun sebelumnya. Terkait Buya Syafii yang mengambil jalan lain untuk menyikapi dugaan kasus penistaan agama oleh Basuki Cahya Purnama alias Ahok. Sebuah pertanyaan yang menurut saya tidak pantas dilontarkan dan dijawab oleh Buya Syafii, apalagi oleh kader Muhammadiyah di bumi kelahirannya sendiri -bagi saya.
Terang saja, orang Minangkabau memang dikenal dengan keislamannya yang kuat. Daerah yang menjadikan agama lebih tinggi dari adat sebagai filosofi kehidupannya. Corak keislaman masyarakat Minangkabau sangat unik, ada yang bercorak konservatif dan juga progresif. Salah satu corak konservatisme itu bisa dilihat dari ragam unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Sumatera Barat sebagai bentuk tidak terima atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Bersebarangan dengan mayoritas masyarakat muslim tanah kelahirannya, Buya Syafii memilih untuk bersilang pendapat. Sontak saja, hal ini membuat masyarakat muslim disana terngaga lagi terbelalak mata.
Uda Jumaldi Alfi menuturkan pengalamannya ketika sempat saya tanya perihal kejadian itu. Ketika itu, beliau sedang mendengarkan seorang Imam di sebuah masjid di daerah Lintau, Tanah Datar. Dalam orasinya, si Imam mencerca telak Buya Syafii karena telah mengemukakan pandangan yang diduga mendukung Ahok. Begitu lantang dan berapi-apinya si Imam mencela sikap Buya Syafii. Begitupun begitu naik pitamnya Uda Alfi mendengarkan si Imam. Begitu tutur Uda Jumaldi Alfi yang sama-sama kita tahu kenal dekat dengan Buya Syafii, tentu juga dengan pikirannya.
Sebagaimana yang kita tahu pada sekitar tahun 2016, Buya Syafii menjadi sosok yang kontroversial. Buya Syafii diaanggap mendukung Ahok yang telah menistakaan agama atau kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’an. Tentu saja, Buya Syafii melihat fenomena itu tidak berdasar pada akal yang pendek. Hal itu bisa dilihat dari Buya yang juga memberikan kritik terhadap Ahok. Namun, yang dilihat oleh orang banyak tidak pada poin kritik Buya Syafii terhadap Ahok. Melainkan hanya pengakuan Buya Syafii bahwa Ahok sebenarnya tidak menistakan agama.
Jika kita lihat lebih dalam, sebenarnya tidak ada yang salah dengan dialektika hangat itu. Buya Syafii hanya ingin ‘membakar’ suluh ditengah gelapnya pandangan umat Islam saat itu. Keinginan baik beliau untuk memisahkan yang hak dan batil dalam melihat sebuah fenomena mendapat respon yang negatif. Bahkan di kampung halamannya sendiri. Namun, apapun anggapan orang terhadap Buya Syafii, beliau lebih memilih untuk ‘bodo amat’, -istilah yang dilontarkan Mas Pipit dari Maarif Institut ketika berkesempatan bercerita tentang kejadian yang sempat viral itu.
Mungkin, Buya Syafii juga sadar bahwa setiap persepsi orang adalah subjektif. Tidak terkecuali dengan persepsi orang-orang di tanah kelahirannya. Saya kira, orang-orang yang terkenal kuat agamanya dan juga kebiasan dialektika yang telah mandarah daging dalam tubuh masyarakat Minangkabau menjadi pemakluman atas Buya Syafii. Lagi pula, Buya Syafii tidak mempersoalkan hal itu dengan serius, apalagi berkecil hati layaknya ‘Malin Kundang’ yang durhaka terhadap kampung halaman sendiri. Maka kiranya, kita perlu bersepakat atas apa yang diteriakkan oleh Uda Riki Dhamparan Putra dalam bukunya -Berdiang di Perapian Buya Syafii, bahwa Buya Syafii bukanlah Malin Kundang/
Pertemuan Kedua dengan Buya Syafii
Kesempatan kedua yang saya dapati adalah ketika menghadiri acara Launching dan Bedah Buku “Berdiang di Perapian Buya Syafii” yang ditulis oleh Riki Dhamparan Putra, salah seorang sastrawan kenamaan asal Sumatera Barat. Meskipun dalam acara tersebut Buya Syafii hanya bisa hadir secara online via zoom meeting. Kegiatan itu diadakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 5 Januari 2022.
Keikutsertaan saya dalam kegiatan itu adalah bentuk kesadaraan untuk mengenal sosok Buya Syafii. Walaun tidak dapat bersua langsung, tapi pengalaman itu telah membuat saya sedikit menjelajahi pikiran Buya dalam karya orang lain, yakni buku Uda Riki. Ya benar, saya belum pernah membaca karya-karya Buya Syafii langsung. Saya pertama kali mengenal Buya Syafii melalui tulisan Uda Riki. Dalam buku itulah saya mengenali Buya Syafii sebagai Guru Bangsa yang konsen terhadap isu-isu kemanusiaan, kebangsaan, dan keislaman. Sejak saat itulah yang mulai tertarik untuk mengenal pikiran-pikiran Buya Syafii. Baik itu dari buku yang dituliskan oleh orang lain ataupun dari cerita-cerita yang saya dapatkan langsung dari orang yang pernah bersinggunan langsung dengan beliau selama hidup -sebuah kesempatan ketiga yang mustahil akan saya dapatkan.
Buya Syafii Adalah Malin Adat
Ada satu hal menarik tentang Buya Syafii yang baru saya ketahui dari obrolan singkat dengan Mas Sidiq -seorang anak panak yang diutus Buya Syafii untuk menelusuri perkembangan Muhammadiyah di Sumpur Kudus, Sijunjung. Hal menarik itu adalah bahwasanya Buya Syafii tidak mempunyai gelar adat sebagai orang Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui dalam adat matrinilineal Minangkabau bahwasanya laki-laki yang telah menikah akan diberi gelar adat.
Ketek Banamo, Gadang Bagala (Kecil diberi nama, besar (sudah menikah) diberi gelar) begitu bunyi pepatah mengatur panggilan untuk kaum lelakinya. Ternyata, sebagai lelaki Minangkabau, Buya Syafii tidak memiliki satu hal ini. Lain Lubuak, Lain Ikannyo (Beda lubuk, maka beda pula ikannya) kira kira begitulah kiasan yang tepat untuk menjawab penasaran saya ketika bertanya ke Mas Sidiq sebab Buya Syafii tidak diberi gelar adat. Melalui frasa mungkin, Mas Sidiq menuturkan bahwa Buya Syafii tidak mengambil gelar adat itu di daerah asalnya. Dan hal itu, diperbolehkan di adat tempat tanah kelahiran Buya Syafii. Mungkin, karena beda nagari dengan tempat saya dibesarkan, maka beda pula aturan adatnya. Begitu kira-kira kesimpulannya.
Namun, dimata saya sebagai orang Minang. Agaknya Buya Syafii adalah seorang Malin Adat. Malin yang menjadi suluh dalam gelap, menjadi pasak kunci dalam masyarakat, orang yang paham tentang ilmu agama, menyadarkan masyarakat, memberitahukan mana yang hak dan yang batil, dan menjadi tempat mengadu umat dalam masalah sosial-keagamaan yang dihadapi. Tentunya ini sangat tidak berlebihan untuk disematkan pada Buya Syafii.
Buya Syafii adalah tokoh bangsa yang memiliki integritas, takahya ditandai dengan perkataan dan perbuatan yang tidak pernah pecah kongsi, dan ‘tageh’nya ditujukan pada kemaslahatan umat, kemanusiaan. Mas Erik Tauvani telah menceritakan banyak hal tentang kehidupan yang tidak diketahui banyak orang dalam bukunya, bahwa Buya Syafii adalah sosok penuh teladan dan kesederhanaan.
Akhirul kalam, ditengah merosotnya spirit keilmuan dan gersangnya kehidupan beragama dan berbangsa hari ini. Buya Syafii patut untuk dijadikan role model kehidupan. Apalagi hari ini, kita sulit untuk mencari sosok yang dapat kita jadikan teladan, panutan, dan contoh, baik itu sebagai seorang muslim ataupun sebagai warga negara. Pada hakikatnya, Buya Syafii yang wafat pada 27 Mei 2022 adalah sosok yang masih dekat dengan kita, masih banyak waktu untuk menjelajahi pikiran beliau dan mencontoh tindakan beliau. Bagi saya, Buya Syafii tidak hanya seorang Guru Bangsa, tapi beliau juga adalah Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai suluh bendang dalam nagari. Wallahu A‘lam.
Post Comment